Napasnya tersengal-sengal, tapi itu tak menghentikan Minhyuk. Dengan langkah tergesa dan jantung berdebar tak karuan, ia berlari dari parkiran menuju ruang IGD. Matanya mencari ke segala penjuru, memindai satu per satu bed pasien dengan panik. Tidak ada satu pun yang terlewat dari tatapannya yang cemas.
"Hyung. Di sini."
Suara itu datang dari arah paling ujung. Minjun berdiri di sana, separuh tubuhnya keluar dari balik tirai bed, melambaikan tangan saat melihat kakaknya muncul.
Minhyuk menarik napas panjang sebelum melangkah cepat menuju arah Minjun. Ia tidak bicara apa-apa, hanya menatap adiknya sekilas lalu segera memutar tubuh ke arah ranjang tempat Yura terbaring.
Jantungnya berdesir. Napasnya tercekat.
Wajahnya pucat, seolah darah menguap begitu saja dari tubuhnya.
Wajah itu... wajah perempuan yang entah sejak kapan begitu mengusik pikirannya, kini penuh luka. Di kepalanya ada perban, di tangannya gips putih mengikat rapat. Kakinya juga tampak memar.
Minhyuk mendekat perlahan, matanya menelusuri tiap inci tubuh Yura yang tampak begitu rapuh. Hatinya terasa diremas. Merasa ini adalah salahnya karna meminta bantuan pada perempuan itu.
Minhyuk menoleh pada Minjun, matanya menuntut penjelasan tanpa perlu kata-kata.
Minjun membalas tatapan itu dengan senyum tipis. "Tenang saja. Dia sudah diperiksa. Ada laserasi di kepala, jadi harus dijahit sedikit di samping. Mungkin itu akibat benturan waktu dia nabrak kap mobil. Tangannya patah, tapi ringan, nggak sampai bergeser. Barusan juga udah dirontgen sebelum digips." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Dia baru tidur sekitar sepuluh menit lalu. Habis minum obat pereda nyeri. Jadi... kau bisa tenang sekarang."
"Dokter yang mana?" suara Minhyuk rendah tapi tegas.
Minjun langsung tersenyum bangga dan menunjuk dirinya sendiri. "Dokter Go Minjun."
Minhyuk mengerutkan dahi dan langsung menggeleng. "Kalau begitu, panggil dokter IGD. Aku nggak percaya padamu."
Aduh. Kakaknya ini memang punya bakat alami untuk menyakiti perasaan orang.
"Hyung! Aku ini dokter juga, tau!"
"Hngg..."
Suara lirih itu menghentikan pertengkaran kecil mereka. Yura menggeliat pelan, mencoba membuka matanya. "Eo? Minhyuk-ssi?"
Minhyuk sigap mendekat dan membantunya duduk. "Kau seharusnya tidur saja."
"Aku barusan udah tidur, kan?"
"Kau... kenapa tidak memberitauku kalau kecelakaan?"
Yura menatapnya dengan wajah lemah, lalu menjawab datar, "Karena aku sedang sakit dan tanganku patah?"
"Tapi kau bisa... ah, sudahlah. Aku yang bodoh karena berpikir seperti itu." Minhyuk mengusap wajahnya frustrasi. "Padahal orang sakit mana bisa pegang ponsel. Maafkan aku karena membiarkanmu pergi sendiri. Harusnya aku yang menjemputmu."
Minjun dan Yura saling berpandangan, sama-sama terkejut. Tak satu pun dari mereka mengedip. Minhyuk, menyadari tatapan aneh itu, mengerutkan dahi. "Kenapa kalian melihatku seperti itu?"
"Hyung... kau bukan Go Minhyuk, kakakku, kan?" Minjun setengah bercanda, setengah serius.
"Kkabuljima!" Minhyuk meringis lalu memandang Yura, matanya lembut. Ia mengangkat tangan dan menyentuh luka di wajah Yura dengan sangat hati-hati. "Manhi aphayo?"
Napas Yura hampir berhenti saat tangan itu menyentuh kulitnya. Hangat. Menenangkan. Tapi ia buru-buru menggeleng. "Nggak terlalu."
Minjun hanya bisa berdiri terpaku. Apa yang sedang terjadi dengan kakaknya ini?
"Go Minjun."
"Ne?"
"Tolong urus semua pemeriksaan untuk Yura. Sekarang. Lengkap. Dan siapkan kamar rawat."
"Apa?" Yura membelalak. "Aku baik-baik saja! Tidak perlu diperiksa sampai seperti itu!"
"Kau perlu. Kalau masalah biaya, aku yang bayar. Aku punya uang." Ucapannya terdengar sungguh-sungguh—dan penuh kekhawatiran yang nyata.
Minjun mengelus dada. Rasanya ia ingin kabur dari tadi.
Yura menggeleng keras. "Pilryo eobseoyo. Aku tau kondisiku sendiri. Tadi juga waktu sampai IGD langsung diperiksa."
Tapi tatapan Minhyuk tetap gelisah. Yura lalu menepuk pelan tangannya, menenangkan.
"Aku benar-benar nggak apa-apa."
Minhyuk menggigit bibir bawahnya. Ia masih ragu. "Tapi kau tetap harus dirawat dulu."
"Ei, nggak perlu. Lagipula besok aku masih harus masuk untuk jaga."
"Ya, Go Minjun." Minjun yang sudah mau melipir, langsung berdiri tegak. "Memang profesormu ini setidak peduli itu, ya?"
Minjun mengerjap. "Hyung, tadi profesor dan teman-teman kami udah ke sini. Gyosunim juga udah nyuruh dia dirawat. Tapi dia yang nggak mau."
Minhyuk langsung menatap Yura. Kali ini, Yura tak bisa menghindar.
"Baiklah. Aku dirawat."
Senyum lega langsung menghiasi wajah Minhyuk. Minjun melihat itu dan hanya bisa menghela napas. Mungkin beginilah perasaan Yura dan Rowoon waktu lihat dia pacaran sama Hyena dulu.
***
Yura akhirnya dipindahkan ke kamar rawat. Kamarnya luas, dengan jendela besar yang membuat suasana tidak terlalu muram. Minhyuk bersikeras ikut mengantar sampai ke kamar, padahal kamar baru tersedia malam hari.
"Aku akan jagain kau di sini," katanya waktu itu.
Dan sekarang, Minhyuk benar-benar ada di ruangan itu. Ia sempat pulang sebentar, lalu kembali dengan ransel di punggungnya. Gerakannya cepat. Seolah tidak ingin membiarkan Yura sendiri terlalu lama.
"Kau terbang, ya?" tanya Yura heran.
"Nggak. Aku cuma bawa mobilku sendiri... dan nyetir agak cepat."
"Kau bisa nyetir?"
Minhyuk mengangguk. "Tentu."
Yura mengerjap. Ia pikir Minhyuk tidak bisa nyetir, mengingat waktu ke panti asuhan, Minjun yang menyetir. Ternyata ia salah.
"Kau yakin tidak mau pulang? Aku bisa jaga diri sendiri kok."
"Dengan keadaan seperti itu?"
"Apa salahnya dengan keadaanku?"
"Tanganmu digips. Kepalamu diperban. Aku nggak akan meninggalkan kau sendiri."
Dan Yura tau, Minhyuk sungguh-sungguh. Ia tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Tidak setelah hari ini.
Yura ingin membantah, tapi hatinya berkata lain. Sebagian dirinya merasa... tenang. Bahkan senang.
"Han Yura!"
Suara pintu terbuka keras membuat mereka terkejut.
Jung Rowoon.
Siapa lagi yang akan masuk seperti itu?
Lelaki itu langsung berdiri di samping tempat tidur Yura dan memeriksa wajahnya tanpa bicara.
"Bukannya kau sedang konferensi?" tanya Yura pelan.
"Sudah selesai. Bahkan kalau belum selesai pun, aku akan tetap datang." Suaranya berat, penuh kekesalan. "Kenapa kau nggak hati-hati, sih?!"
"Kenapa kau yang marah-marah. Ini bukan salahku, tapi yang bawa mobil ugal-ugalan itu."
"Ehem."
Minhyuk merasa waktunya untuk pamit sebentar. Ia berdiri dan hendak melangkah ke arah pintu, berusaha tidak mengganggu percakapan mereka.
"Oh? Dia siapa?" tanya Rowoon, baru sadar ada orang lain di ruangan itu.
Yura belum sempat menjawab ketika Rowoon menebak sendiri, "Seolma? Kau kakaknya Go Minjun, kah?" Ia langsung menyodorkan tangan. "Halo! Aku Jung Rowoon. Teman seperjuangan Minjun dan Yura."
Yura menahan napas. Ia khawatir Minhyuk risih. Tapi ternyata tidak.
"Halo. Aku Go Minhyuk," ucapnya singkat, lalu berpaling ke Yura. "Aku ke bawah sebentar. Kau mau titip sesuatu?"
Yura menggeleng. "Tidak. Terima kasih. Maaf sudah menyusahkanmu."
Minhyuk menggeleng ringan, memberi anggukan kecil pada Rowoon, lalu menutup pintu kamar dengan lembut.
"Mind to tell me about that?"
"Hah?"
"Kau pacaran sama Minhyuk hyung?"
"Eh? Nggak."
Tapi wajahnya sudah bicara lebih dulu. Merah, jelas.
Rowoon tersenyum. "Tapi kau berharap, ya?"
"Jung Rowoon. Kalau cuma mau ngomong ngelantur, lebih baik pergi."
"Yura, semua itu udah jelas banget dari ekspresimu. Dari pertama aku masuk, kau lihat dia dulu sebelum lihat aku. Tadi pas aku salamin dia, kau perhatiin wajahnya juga."
"Jinjja? Tina?" (Beneran? Kelihatan?)
Rowoon mengangguk. Seringai jahil muncul. "Cieee... udah nemuin orang yang disuka nih. Pantes aku ditolak. Ganteng sih..."
"Jangan ngomong sembarangan, apalagi sampai kedengeran suster atau dokter."
"Kenapa nggak boleh?"
"Karena itu urusanku."
"Ish, baiklah. Hyena dan Minjun udah ke sini?"
"Udah. Hyena malah langsung ke IGD tadi sore."
"Kalau begitu aku bisa pulang dengan tenang. Kau dijaga Minhyuk hyung, kan?"
"Seperti yang kau lihat."
"Kalau begitu, aku pamit dulu. Sampaikan salamku ke Minhyuk hyung ya. Besok aku harus ke Busan lagi."
Yura melambaikan tangan. "Hati-hati, ya."
Rowoon mengacungkan jempol dan menutup pintu pelan. Tapi baru beberapa langkah, jantungnya hampir copot.
"Eo? Minhyuk hyung?!"
Minhyuk bersandar di dinding depan kamar, memandang Rowoon datar.
"Cepat banget baliknya..."
Minhyuk hanya mengangkat bahu, lalu membuka pintu kamar inap.
Rowoon menatapnya sejenak, lalu berkata, "Han Yura... jal butakhaeyo, Hyung. Aku titipkan dia padamu. Aku pamit dulu. Sampai jumpa."
Minhyuk tidak menjawab. Hanya melirik sekilas dan masuk ke dalam kamar.
"...Memangnya Han Yura itu barang apa," gumamnya datar.
Tapi siapa pun bisa lihat—Go Minhyuk benar-benar berniat menjaga Han Yura sepenuh hati.