Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Snow That Slowly Melts
MENU
About Us  

Memang, Yura memang mengaku kalau dirinya baik-baik saja, tapi tiga orang dari empat sekawan itu —Rowoon, Minjun, dan Hyena— sangat tau kalau Yura tidak dalam mood yang baik. Hyena pun dengan serius meminta dua laki-laki itu untuk tidak mengganggunya dulu karena Yura sedang dalam mode garang.

Setiap hari, makan siang adalah waktu yang paling ditunggu oleh Yura. Waktu sejenak untuk mengisi tenaga, menarik napas, dan mempersiapkan diri menghadapi sisa hari yang panjang. Tapi hari ini, makanan yang tersaji di depannya sama sekali tidak terlihat menggoda. Nasi, lauk, dan sup hanya tergeletak begitu saja di nampannya, nyaris tak tersentuh.

Sudah tiga hari seperti ini. Bahkan kadang Rowoon sampai harus memaksa perempuan itu untuk makan.

Alasannya sederhana, agar Yura tidak pingsan karena rutinitas yang padat dan melelahkan. Apalagi kalau dia sedang dapat giliran jaga malam.

"Han Yura." Rowoon mengulurkan sendok berisi nasi dan irisan daging sapi ke depan mulut Yura. "Makan sesuap lagi. Aa~~"

Dengan malas, Yura mengambil sendok itu dan memasukkan makanan ke mulutnya sendiri, tanpa semangat.

Hyena yang duduk di depannya hanya bisa menggelengkan kepala. Ada kekhawatiran di matanya. 

Malam saat Yura bercerita, Hyena sempat bertanya dengan nada hati-hati. Pertanyaan yang membuat Yura terdiam selama beberapa menit.

"Kau tertarik dengan Minhyuk oppa, kan?"

Dan jawaban yang diberikan Yura malam itu —jujur, tanpa membela diri— menjadi alasan dari semua perubahan suasana hatinya beberapa hari ini.

Minjun pun hanya bisa menghela napas. Ia tau, ini bukan ranahnya. Ini adalah urusan antara Yura dan hyung-nya. Biarlah mereka berdua yang menyelesaikannya.

"Aku duluan." Yura tiba-tiba berdiri sambil mengangkat nampan makannya. Suaranya tenang, tapi ada nada datar yang tak bisa disembunyikan. "Mau belajar untuk operasi nanti."

Tentu saja tiga pasang mata langsung tertuju padanya.

Rowoon sempat ingin bangkit, tapi tangan Hyena menahannya. Sementara itu, tanpa banyak pikir, Minjun justru berdiri dan mengejar Yura.

Pada akhirnya... yaa... dia ikut campur sedikit.

Dia sadar ini bukan urusannya, dan mungkin terlihat terlalu mencampuri, tapi melihat Yura terus lesu seperti ini karena mood-nya hancur, rasanya jauh lebih menyedihkan daripada disalahpahami.

"Ya, Han Yura!"

Langkah Minjun yang panjang dengan mudah menyusul Yura di lorong rumah sakit. Yura yang berjalan pelan hampir tidak menyadari ada seseorang mengejarnya.

"Mwo?" tanyanya singkat, masih menunduk. Pandangannya kosong, menatap langkah kakinya sendiri yang bergantian menyentuh lantai. Bahkan tidak menoleh sedikit pun.

"Hm..." Minjun terdengar ragu. Lalu ia menarik napas. "Tolong maklumi hyung-ku. Foto itu... bahkan kalau aku yang pegang, dia juga pasti akan memarahiku. Jadi... uri hyung daesin-e, naega sagwahalke. Mianhae, Yura-ya." (Atas nama kakakku, aku minta maaf)

Langkah Yura langsung terhenti. Minjun ikut terdiam, terkejut melihat Yura menoleh dan menatapnya lurus-lurus.

"Aku tidak marah karena dia membentakku," ucapnya. "Lebih tepatnya, aku hanya kesal sih. Tapi aku sadar aku juga salah," koreksinya lagi.

Kemudian ia kembali berjalan. Minjun langsung mengikuti di sampingnya.

"Lalu kenapa mood-mu tidak baik seperti ini?" Minjun bertanya pelan.

"Aku kesal karena dia membentakku padahal aku juga tidak tau kalau tidak boleh menyentuh foto itu. Dia bisa saja bilang baik-baik." Nada suara Yura terdengar getir. "Apa foto itu memang sepenting itu buat dia?"

Minjun menatap Yura lama sebelum menjawab. "Kalau itu... aku pun nggak bisa jawab. Tapi yang aku tau, foto itu memang punya cerita sendiri buat dia."

Yura terdiam. Rahangnya sedikit mengeras, dan ia tampak menggigit bagian dalam pipinya. Di dalam diam, pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan yang tak ada habisnya.

Siapa perempuan itu sebenarnya?

"Kalau dia bilang baik-baik, aku juga nggak akan kesal seperti ini, kok. Asal kau tau, dia bahkan sepertinya nggak berniat untuk menjelaskan padaku. Nggak ada kabar, nggak ada pesan. Padahal aku nunggu... Aku udah nahan diri untuk nggak ngehubungin dia duluan."

Kata-kata itu nyaris tak terdengar. Suara Yura makin lirih, seolah menumpahkan isi hatinya hanya untuk dirinya sendiri — tapi cukup jelas di telinga Minjun.

Otak Minjun bekerja keras. Rasanya detak jantungnya ikut berpacu saat potongan-potongan sikap Yura dan percakapannya barusan mulai tersambung jadi satu pemahaman utuh.

Langkahnya mendadak berhenti.

"Wae?" Yura bertanya, bingung. Ia menoleh saat sadar Minjun tidak lagi berjalan di sampingnya.

"Neo..." Minjun menatapnya tajam tapi lembut. "Nae hyung hante gwansim ittji? Majji?"

Shibal.

Ketauan.

Yura langsung membuang pandangan ke arah lain. Tapi sudah terlambat.

Minjun bisa melihat semuanya dari ekspresi wajahnya. Dari matanya yang melebar, dari pipinya yang kini mulai memerah perlahan. Rasa malu menjalar cepat hingga ke telinga.

Wajahnya merona.

Kepalang ketauan.

"Iya," jawab Yura akhirnya, suaranya pelan, tapi mantap. "Siapa yang tidak akan tertarik kalau itu adalah hyung-mu? Aku penasaran, sudah berapa hati yang dia patahkan dengan sifatnya yang seperti itu."

Minjun terkekeh pelan, lalu tawa itu berubah jadi ledakan — tawa lepas yang menggema di lorong rumah sakit yang lengang. Tangannya memegangi perut, tubuhnya sedikit membungkuk karena geli yang tidak bisa dikendalikan.

Astaga, drama macam apa ini? Sepertinya lebih seru daripada drama yang biasa Hyena tonton dulu.

"Bagaimana bisa?" tanyanya di sela tawanya yang belum reda.

Yura baru saja membuka mulut, siap memberi jawaban yang mungkin akan lebih jujur dari yang ia kira. Tapi saat itu juga—suara yang sudah tiga hari ini mengisi pikirannya, yang diam-diam ia tunggu meski menolak mengakuinya—tiba-tiba terdengar dari belakang.

Sangat dekat.

Dekat sekali, seakan hanya berjarak beberapa inci dari telinganya.

"Go Minjun."

Suara itu rendah, siapapun seakan bisa tenang saat mendengarnya, tapi untuk Yura, seakan punya daya hentak yang mampu menghentikan segala yang sedang terjadi.

Minjun seketika membeku, tawanya terpotong begitu saja. Matanya membulat, lalu ia segera berdiri tegak.

"Hyung?"

...Apa katanya? Hyung?

Selama beberapa detik, Yura merasa tubuhnya kaku. Nafasnya tertahan. Bukan hanya sekadar terkejut—ini seperti panik. Otaknya langsung menstimulasi flight mode, tapi tubuhnya terlalu lambat bereaksi. Seolah sistem saraf simpatisnya berebut kendali, tapi tidak berhasil memberi perintah.

Paru-parunya seperti kehilangan fungsi ventilasi. Bukan cuma oksigen tak sampai ke alveolus—bahkan udara rasanya tidak bisa melewati orofaring.

Orang yang membuat hatinya berantakan tiga hari ini... kini berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya.

Ingin rasanya dia berbalik, menatap Minhyuk, mengajaknya bicara seolah tak terjadi apa-apa.

Tapi tidak. Tidak sekarang.

Gengsi.

Dengan cepat, Yura melangkah pergi. Bahunya sedikit menegang, wajahnya datar. Ia melewati Minjun dan Minhyuk tanpa menoleh sedikit pun.

Persetan dengan Minjun yang meneriakkan namanya dua kali.

Dia tidak sanggup menatap Minhyuk sekarang. Dia tau, kalau dia melihatnya — mendengar suaranya — dia bisa saja goyah. Bisa saja tersenyum lagi dan mengobrol seperti biasa. Padahal...

Padahal dia masih kesal.

Yang jadi pertanyaan sekarang, apa Minhyuk mendengar percakapan mereka tadi...?

Minjun hanya bisa menggeleng saat melihat kakaknya tetap diam di tempat. Tidak ada usaha untuk mengejar. Tidak ada langkah maju.

Minhyuk berdiri membatu, matanya terus mengikuti punggung Yura yang semakin jauh... lalu hilang di balik lorong.

"Hyung. Kau masih belum minta maaf pada Yura?" tanya Minjun, nada suaranya datar tapi tajam.

Minhyuk tidak langsung menjawab. Ia hanya menggumamkan sesuatu yang nyaris tidak terdengar, lalu menyerahkan tas makan ke tangan adiknya. "Dari eomma."

Minjun mengerutkan dahi, mengambil tas itu. "Tumben sekali kau mau mengantarnya? Tadi eomma bilang appa yang akan ke sini."

"Jangan banyak protes," jawab Minhyuk pendek, tapi matanya masih terpaku pada lorong yang tadi dilalui Yura. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari tatapan itu—penyesalan, frustrasi, keinginan untuk mengejar, tapi tertahan oleh keraguan.

Dia benar-benar menyesal tidak menahan Yura pergi tadi.

Minjun membuka tas bekalnya, sekadar penasaran apa isinya hari ini. Tapi pikirannya melompat ke satu kesimpulan lain.

Sepertinya... bukan cuma sekadar mengantar bekal.

"Kau juga mau melihat Yura, kan? Makanya kau mengambil alih tugas antar makanan dari appa?"

Minjun menatap kakaknya tajam. Wajah Minhyuk masih datar, tapi tidak menjawab. Dan itu... sudah jadi jawaban tersendiri.

Benar. Dia memang ingin bertemu Yura. Itulah satu-satunya alasan dia datang sendiri ke rumah sakit. Siapa tau, dia bisa menjelaskan. Tapi semua itu berakhir terlalu cepat. Yura sudah lebih dulu menjauh.

"Benar, kan, Hyung?"

"...Iya." Minhyuk akhirnya mengaku pelan. Kemudian menghela napas. "Sudah. Aku pulang dulu kalau begitu."

Hari ini gagal.

ARGH!

Minhyuk benar-benar ingin mengacak-acak rambutnya sekarang—kalau saja dia tidak sedang berada di tempat umum.

***

Sebenarnya, hari ini Minhyuk malas sekali keluar rumah. Entah karena mulai sakit atau hanya kelelahan, tubuhnya terasa berat dan tidak nyaman. Kepalanya sedikit pening, sendi-sendinya terasa lemas, seperti baru saja dilindas semalam suntuk oleh beban tak kasatmata.

Dia masih bersyukur karena tidak demam, batuk, atau pilek. Tapi tetap saja—dia tidak dalam kondisi terbaik. Sayangnya, ia tidak punya pilihan. Pameran pribadinya sudah dijadwalkan, dan hari ini ia harus bertemu dengan kurator dan Editor Moon di galeri tempat acaranya akan digelar.

Jadi, di sinilah Minhyuk sekarang. Bersandar lesu di dinding luar galeri, sambil menatap layar ponsel di tangannya. Jempolnya ragu menyentuh ikon pesan. Sudah seminggu berlalu, tapi pikirannya masih terus memutar ulang momen terakhir bersama Yura.

Haruskah ia menghubunginya? Minta maaf? Menjelaskan semuanya?

Tapi... bukankah sudah terlalu lama? Apa tidak aneh kalau ia tiba-tiba muncul hanya untuk bilang "maaf"?

Padahal, biasanya Minhyuk bukan tipe orang yang terlalu memikirkan hal-hal semacam ini. Kalau ingin bertemu, ya tinggal bertemu. Kalau ingin berhenti, ya berhenti saja. Tapi... Yura berbeda. Diam-diam, ada yang tidak bisa ia abaikan.

"Minhyuk oppa?"

Suara itu membuyarkan lamunan Minhyuk seketika.

Ia menoleh cepat, refleks menegakkan badan. Napasnya tercekat saat melihat siapa yang memanggilnya.

Lee Eunhee.

Jantung Minhyuk mencelos. Tubuhnya langsung tegang, seakan sedang menghadapi mimpi buruk yang nyata. Bukan sekarang. Belum waktunya. Ia belum siap.

Langkahnya sudah hampir ia ayunkan untuk pergi, tapi suara Eunhee kembali menahannya.

"Jangan pergi dulu, Oppa..."

Ia menelan ludah dengan susah payah. Tubuhnya berbalik pelan. Eunhee berdiri di sana, tampak dewasa dengan rambut yang kini panjang, tidak seperti terakhir kali mereka bertemu. Sudah lama sekali.

"Eo... annyeong," ucapnya kaku.

"Jal jinaesseoyo, Oppa?" tanya Eunhee lembut, menyodorkan sebotol air mineral sambil mengajaknya duduk di ruang galeri yang tenang. (Bagaimana kabarmu?)

"Mwo..." Minhyuk hanya menggumam pelan. Lidahnya kelu. Ia ingin bertanya balik—"Bagaimana kabar kalian?"—tapi kata-katanya seperti macet di tenggorokan.

"Kami juga mulai baik-baik saja sekarang," lanjut Eunhee, suaranya lirih. "Belajar merelakan kepergiannya. Dan... maafkan karena hal itu."

Minhyuk boleh saja mengangguk kecil, perlahan. Tapi tangannya tanpa sadar mencengkeram botol air lebih kuat, seperti pegangan di tengah pusaran memori yang menyeretnya kembali ke masa lalu.

"Aku tidak akan mengganggu waktumu," ucap Eunhee pelan. "Aku hanya ingin memberikan ini."

Ia menyodorkan sepucuk surat.

Minhyuk menatap amplop itu dengan bingung. Ada namanya tertulis di sana, dengan tulisan tangan yang tak asing.

"Apa ini?"

"Uri eonnie ga sseun pyeonji," jawab Eunhee. "Untukmu."

Minhyuk terdiam. Napasnya tercekat lagi. Sebuah surat... dari dia.

"Maaf karena aku baru bisa memberikannya sekarang. Aku tidak tau bagaimana caranya bertemu denganmu. Dan... aku tidak punya cukup keberanian, setelah apa yang eonnie lakukan padamu. Aku baru menemukannya tahun lalu, saat beberes kamar eonnie. Sejak itu... aku selalu membawanya di dalam tasku, berjaga-jaga kalau suatu hari kita bertemu."

Minhyuk masih terdiam, memandangi surat itu. Tangannya sedikit gemetar. Matanya mulai terasa panas, tapi ia tidak membiarkannya terlihat.

Kepalanya ringan, pandangannya berkunang-kunang. Seperti seluruh sistem keseimbangannya terganggu. Dunia terasa sedikit bergeser.

Dia menatap Eunhee, lalu surat itu, lalu kembali ke Eunhee.

Akhirnya, dengan suara serak, ia hanya mampu berkata, "Terima kasih."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
GEMINI
6372      1575     4     
Fantasy
Sang Raja tak terhentikan. Dia bermaksud menggunakan Blood Moon untuk menghidupkan istrinya dari kematian. Kehancuran total dipertaruhkan. Hanya keturunan asli kerajaan yang dapat menghentikannya. Namun, putra mahkota menghilang. Seorang gadis misterius muncul dan menyelamatkan nyawa putra mahkota tanpa tahu takdir mereka terkait. Siapa dia? Akankah gadis ini berperan penting untuk menghentik...
My Big Bos : Mr. Han Joe
632      384     2     
Romance
Siapa sih yang tidak mau memiliki seorang Bos tampan? Apalagi jika wajahnya mirip artis Korea. Itu pula yang dirasakan Fraya ketika diterima di sebuah perusahaan franchise masakan Korea. Dia begitu antusias ingin segera bekerja di perusahaan itu. Membayangkannya saja sudah membuat pipi Fraya memerah. Namun, apa yang terjadi berbeda jauh dengan bayangannya selama ini. Bekerja dengan Mr. Ha...
Silent Love
1505      970     2     
Romance
Kehidupan seorang Gi Do Hoon yang tenang dan tentram tiba-tiba berubah karena kedatangan seorang perempuan bernama Lee Do Young yang sekaramg menjadi penyewa di salah satu kamar apartemennya. Ini semua karena ibunya yang tiba-tiba saja -oke. ibunya sudah memberitahunya dan dia lupa- menyewakannya. Alasannya? Agar Do Hoon bisa keluar dari apartemennya minimal dua hari lah selain ke perpustakaa...
Flower With(out) Butterfly
431      298     2     
Romance
Kami adalah bunga, indah, memikat, namun tak dapat dimiliki, jika kau mencabut kami maka perlahan kami akan mati. Walau pada dasarnya suatu saat kami akan layu sendiri. Kisah kehidupan seorang gadis bernama Eun Ji, mengenal cinta, namun tak bisa memiliki. Kisah hidup seorang gisaeng yang harus memilih antara menjalani takdirnya atau memilih melawan takdir dan mengikuti kata hati
Love: Met That Star (석진에게 별이 찾았다)
1472      906     2     
Romance
Kim Na Byul. Perempuan yang berpegang teguh pada kata-kata "Tidak akan pacaran ataupun menikah". Dirinya sudah terlanjur memantapkan hati kalau "cinta" itu hanya sebuah omong kosong belaka. Sudah cukup baginya melihat orang disekitarnya disakiti oleh urusan percintaan. Contohnya ayahnya sendiri yang sering main perempuan, membuat ibunya dan ayahnya berpisah saking depresinya. Belum lagi teman ...
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
14863      2044     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
Hidden Path
5873      1567     7     
Mystery
Seorang reporter berdarah campuran Korea Indonesia, bernama Lee Hana menemukan sebuah keanehan di tempat tinggal barunya. Ia yang terjebak, mau tidak mau harus melakukan sebuah misi 'gila' mengubah takdirnya melalui perjalanan waktu demi menyelamatkan dirinya dan orang yang disayanginya. Dengan dibantu Arjuna, seorang detektif muda yang kompeten, ia ternyata menemukan fakta lainnya yang berkaita...
Bloody Autumn: Genocide in Thames
9446      2128     54     
Mystery
London, sebuah kota yang indah dan dikagumi banyak orang. Tempat persembunyian para pembunuh yang suci. Pertemuan seorang pemuda asal Korea dengan Pelindung Big Ben seakan takdir yang menyeret keduanya pada pertempuran. Nyawa jutaan pendosa terancam dan tragedi yang mengerikan akan terjadi.
Mistress
2537      1287     1     
Romance
Pernahkah kau terpikir untuk menjadi seorang istri diusiamu yang baru menginjak 18 tahun? Terkadang memang sulit untuk dicerna, dua orang remaja yang sama-sama masih berseragam abu-abu harus terikat dalam hubungan tak semestinya, karena perjodohan yang tak masuk akal. Inilah kisah perjalanan Keyra Egy Pillanatra dan Mohamed Atlas AlFateh yang terpaksa harus hidup satu rumah sebagai sepasang su...
Rumah Tanpa Dede
121      81     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...