Rowoon tiba di apartemen Yura dalam waktu singkat. Begitu pintu terbuka, matanya langsung menyapu wajah Yura dengan cermat.
Tanpa ragu, tangannya menangkup wajah perempuan itu, ibu jarinya menyentuh pelan di bawah mata Yura yang terlihat sembab.
"Apa yang terjadi?" suaranya dalam, penuh perhatian.
Yura menggigit bibir bawahnya sebelum dengan halus menyingkirkan tangan Rowoon. "Masuklah."
Rowoon tidak memilih sofa, melainkan menarik kursi di meja makan, matanya terus mengawasi Yura yang berjalan menuju dapur untuk menuangkan air.
Rambutnya masih setengah kering, beberapa helai menempel di leher dan pelipisnya.
"Kau kehujanan tadi?"
Yura hanya mengangguk kecil.
Rowoon menghela napas. "Kenapa kau tidak memberitauku? Aku bisa menjemputmu."
"Tidak perlu." Yura mendorong cangkir berisi air ke depan Rowoon. "Ada apa kau ke sini?"
Rowoon mendengus pelan. "Hei, aku khawatir denganmu. Kami semua khawatir, makanya aku datang. Bersyukurlah Minjun dan Hyena berhasil aku hentikan untuk ikut."
Yura mendecih, tersenyum miring.
"Apa maksudnya senyum miring itu, heh?" Rowoon mengangkat alis, pura-pura tersinggung.
"Tidak ada." Yura mengangkat bahu santai. "Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir. Aku hanya... sedih."
Rowoon menyipitkan matanya. "Sedih kenapa?"
Yura menghirup napas, lalu mengembuskannya pelan. "Karena anak-anak di panti asuhan tadi. Aku kasihan pada mereka."
Rowoon menatapnya lama, lalu tersenyum miring. "Tenang saja. Aku akan melakukan yang terbaik sebagai orang tua."
Yura hampir tersedak minumnya. "Apa?"
Tatapannya langsung berubah tajam, tapi Rowoon justru tertawa puas. "Hei, aku hanya bercanda! Kau tidak perlu menatapku semenyeramkan itu."
Yura memutar bola matanya.
"Tapi serius, kau yakin cuma karena itu?"
Anggukan kecil diberikan sebagai jawaban.
Anggukan kecil diberikan sebagai jawaban. "Kau kapan mau pulang?"
"Kau mengusirku sekarang?"
"Aku lelah. Kalau kau lupa, aku bisa dikatakan habis kerja juga loh ini."
Rowoon mendesah pendek. "Baiklah. Aku pulang sekarang. Tapi janji, kalau ada apa-apa, langsung beritau kami."
"Arasseo, arasseo! Ppalli jibe ga!"
Rowoon tertawa kecil sebelum akhirnya pergi.
Begitu pintu apartemen tertutup, Yura menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Dia pikir dia bisa langsung tidur, tapi ternyata ponselnya kembali berdering. Kali ini, Hyena.
Yura mengangkatnya tanpa basa-basi. "Ya? Aku baik-baik saja. Hanya butuh istirahat. Sudah?"
Di seberang sana, terdengar kekehan kecil.
"Bagaimana kau tau aku akan menanyakan kabarmu?"
Yura mendecih. "Sudah tertebak."
"Malhae." Suara Hyena terdengar lebih lembut sekarang. "Ada apa sampai matamu sembab?"
Yura mengusap wajahnya. Dia tau Rowoon pasti yang memberi tau.
Sambil membiarkan dirinya tenggelam dalam kenyamanan suara sahabatnya, Yura mulai bercerita.
"Malam ini aku... bertengkar dengan Minhyuk-ssi."
"Minhyuk-ssi? Maksudmu... Minjun-ie hyung?"
"Hm."
"Hah? Apa yang terjadi?"
Yura menelan ludah, mencoba mengurai apa yang baru saja terjadi. "Tadi aku ke apartemennya. Kami kehujanan, jadi dia memberikanku pakaian kering. Saat aku menunggu di ruang tamu, aku melihat ada figura foto yang sengaja diletakkan menghadap meja. Aku hanya... penasaran."
Hyena tidak menyela, membiarkan Yura melanjutkan.
"Aku membalik figura itu... dan melihat fotonya dengan seorang perempuan. Aku tidak tau siapa dia, tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, Minhyuk tiba-tiba muncul dan mengambilnya dariku."
"Lalu?"
"Dia... membentakku." Suara Yura bergetar sedikit, mengingat ekspresi Minhyuk tadi. "Dia menatapku begitu dingin. Marah. Aku tidak pernah melihatnya seperti itu sebelumnya. Aku terlalu kaget sampai tidak bisa bilang apa-apa. Aku hanya... pergi."
Keheningan mengisi jeda antara mereka.
Hyena akhirnya bersuara, suaranya terdengar hati-hati. "Mungkin... itu barang berharga untuknya."
Yura mendengus pelan. "Aku tau. Tapi... itu bahkan ditutup. Aku hanya ingin melihat."
Hyena menghela napas. "Justru karena ditutup, mungkin itu sesuatu yang tidak ingin dia perlihatkan."
Yura menggigit bibirnya. "Tapi, aku tidak bermaksud—"
"Aku mengerti," potong Hyena lembut. "Aku tau kau tidak bermaksud macam-macam. Tapi mungkin... lain kali, jangan terlalu penasaran, hm?"
Yura terdiam. Merasa disadarkan oleh perkataan temannya saat ini.
"Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Hyena.
"Sedikit."
"Bagus. Tidurlah. Jangan dipikirkan terlalu dalam."
"Hm. Gomawo, Hyena."
Telepon terputus.
Keheningan kembali menyelimuti kamarnya. Yura menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana dalam sisa percakapan barusan.
Perlahan, dia berbaring di kasur, menarik selimut hingga menutupi separuh wajahnya.
Dan saat itu juga, tanpa bisa dicegah, matanya kembali memanas.
***
Berbeda dengan Yura yang sudah menumpahkan perasaannya pada Hyena, Minhyuk justru menghabiskan malam dengan gelisah. Entah sudah berapa kali tangannya mengacak rambutnya sendiri, gusar dan menyesal. Rasa bersalah itu menghantui setiap sudut pikirannya, tapi di sisi lain, ego dan emosinya masih bertahan.
Ia ingin meminta maaf.
Tapi, di saat yang sama, ia juga tidak ingin.
"Kenapa juga harus membentaknya, kau bodoh!" gerutunya pada diri sendiri.
Dari tadi hanya helaan napas berat yang memenuhi kamarnya. Matahari sudah naik, tapi Minhyuk masih enggan meninggalkan kasur. Rasanya lebih baik kalau dia bisa menghilang saja untuk sementara.
Ting tong
Bel apartemen berbunyi. Minhyuk menghela napas panjang, sebelum akhirnya menyeret tubuhnya ke pintu. Begitu melihat siapa yang datang, dia langsung tahu kalau dia akan kena semprot habis-habisan.
Minjun berdiri di sana dengan ekspresi yang tidak enak dilihat. Wajah adiknya jelas-jelas menyimpan kekesalan. Tanpa berkata apa-apa, Minjun langsung masuk begitu saja.
"Tolong percepat kalau kau mau memarahiku," kata Minhyuk sambil berjalan menuju kamar mandi. "Tapi biarkan aku cuci muka dan sikat gigi dulu."
Minjun hanya menggeleng, sudah terbiasa dengan sikap santai kakaknya yang kadang menyebalkan.
Ketika Minhyuk kembali ke ruang tamu, dia sudah siap menerima ceramah pagi.
"Hyung." Minjun memulai, nadanya serius. "Kau sadar kalau kau keterlaluan?"
Minhyuk diam. Tidak membantah, tapi juga tidak menunjukkan reaksi.
"Kudengar dia hanya melihat figura itu. Dia tidak merusaknya atau mengotorinya, kan? Jadi kenapa kau harus membentaknya sampai dia menangis begitu?"
Minhyuk yang semula menatap lantai kini mengangkat wajahnya.
"... Menangis?"
Suara Minhyuk nyaris tak terdengar. Ada keterkejutan di sana, juga sedikit kepanikan. Tatapannya menuntut kepastian dari Minjun.
Dan Minjun tidak membual.
Seketika, dada Minhyuk terasa semakin sesak. Rasa bersalah yang sejak tadi ia tahan kini benar-benar menghantamnya.
"Kalau memang tidak mau disentuh, kenapa kau taruh figura itu di—"
Minjun tiba-tiba menghentikan ucapannya. Tangannya yang hendak menunjuk ke arah meja di samping sofa terhenti di udara.
Wajahnya yang tadi kesal kini berubah bingung.
"... Kok nggak ada?" gumamnya. "Kau membuangnya?"
Minhyuk menghela napas, lalu kembali mengusap wajahnya dengan frustasi. "Sudah kubuang."
Minjun terdiam, tak habis pikir lagi dengan hyungnya ini. Kalau memang mau dibuang, kenapa harus sampai membentak orang. Tapi di sisi lain, dia merasa tenang karna akhirnya Minyhuk bisa membuang foto itu. Setelah sekian tahun foto itu dibiarkan ditutup ke meja saja.
Sempat bingung harus bagaimana, akhirnya Minjun mengangkat tangannya yang sempat terhenti di udara, lalu memilih melanjutkan gerak tangannya dan menepuk bahu Minhyuk beberapa kali.
"Jalhaesseo, Hyung. Kau membuat keputusan yang baik dengan membuang foto itu. Memang sudah waktunya."
Minhyuk memilih diam saja.
Minjun menghela napasnya pelan, "tapi bukan berarti kau bisa membentak Yura karna hal itu. Biar bagaimanapun, dia tidak tau masalahmu. Jadi kau tidak bisa membentaknya. Ani, dia tau pun, tidak seharusnya kau membentak orang sesukamu. Kau dulu bukan orang yang seperti ini, Hyung. Kau.. akan minta maaf dengannya, kan?"
Minhyuk tetap diam, tapi dalam hatinya, ia tahu Minjun benar. Ia salah. Dan ia memang harus meminta maaf.
Tapi bagaimana? Dan kapan?
Saat Minhyuk masih mencari cara, Minjun tiba-tiba berkata, "Ngomong-ngomong, eomma bertanya kapan kau akan pulang lagi."
Seketika, sebuah ide melintas di kepalanya.