Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Snow That Slowly Melts
MENU
About Us  

Sepanjang rapat tadi, Minhyuk sama sekali tidak dapat fokus sepenuhnya. Tak jarang dia sampai disikut pelan oleh editor Moon agar kembali fokus. karna pikirannya melayang ke surat yang ia terima dari Eunhee tadi.

Hingga dia sampai di rumahpun, matanya masih tertuju pada amplop itu. Terpikirkan untuk membukanya, tapi sedetik kemudian dia menarik tangannya lagi. 

Tidak jadi membukanya. 

Sepertinya sudah tiga sampai empat kali dia seperti itu.

Rasanya dia tidak tau apa yang dapat ia lakukan saat ia membuka amplop itu. 

Terakhir dia tau kenyataannya, dia mengurung diri selama seminggu, semua barangnya ia lempar ke sembarang arah hingga membuat kapal pecah di kamarnya.

Sekarang, setelah dia merasa dia bisa agak melupakannya, ternyata dia ingatkan lagi.

Pusing, tangannya mengusap wajahnya gusar. 

***

Langkah demi langkah, suara bersahutan dari derap kaki para dokter muda mengisi koridor bangsal bedah anak. Yura, dengan snelli putih dan tablet di tangannya, berjalan cepat mengikuti alur visite pagi ini. Wajahnya serius, tapi ada sedikit gugup di matanya, ikut visite bersama Profesor Choi.

"Selamat pagi," sapa Profesor Choi hangat begitu memasuki ruang pasien ketiga hari ini. Suaranya penuh ketenangan. "Bagaimana keadaannya? Apakah ada keluhan lain?"

"Tidak ada sih, dok. Tidak demam juga. Semua aman saja," jawab sang ibu pasien sambil menoleh ke anak laki-lakinya yang sedang duduk bersandar lemah di tempat tidur.

Profesor Choi mengangguk pelan. "Mari kita lihat bekas lukanya, ya. Maaf saya buka sedikit ya."

Dengan gerakan hati-hati, beliau mengangkat baju si anak kecil yang baru saja menjalani operasi transplantasi hati karena sirosis. Kulit di sekitar luka masih tampak kemerahan, tapi garis jahitannya bersih, tanpa tanda infeksi. Yura dan para residen mendekat sedikit untuk melihat lebih jelas.

"Lukanya tampak bagus," ujar Profesor setelah memastikan semuanya terlihat normal. "Sekarang saya akan periksa perutnya sedikit, ya."

Ia meletakkan tangannya dengan lembut di atas perut si kecil, menekan perlahan di beberapa titik. Tatapannya awas, memperhatikan apakah ada reaksi nyeri atau ketidaknyamanan.

"Apakah perutnya terasa sakit?" tanyanya lembut.

Anak itu menggeleng pelan. Matanya sedikit cemas, tapi dia tampak kuat.

"Bagus. Bagaimana dengan buang air kecil dan besar?"

Ibunya menjawab, "Pipisnya lancar, tidak ada masalah. Tadi pagi juga sudah BAB sedikit."

Profesor mengangguk puas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Yura, yang menegakkan tubuhnya cepat-cepat begitu namanya dipanggil.

"Han Yura, kondisi?"

"Saat ini stabil, tidak ada demam. Tanda vital dalam batas normal," jawab Yura dengan suara yang sedikit bergetar tapi jelas. "Intake dan output cairan seimbang. Laboratorium pagi ini menunjukkan SGOT dan SGPT sedikit meningkat dibanding kemarin, tapi masih dalam batas wajar."

Profesor Choi mengangguk, lalu menoleh pada salah satu residen. "Jung Nayoung, majji? Jelaskan bagaimana kita memastikan tidak ada reaksi penolakan." (Namamu Jung Nayoung, kan?)

Residen bernama Nayoung tampak menelan ludah, lalu menjawab dengan hati-hati. "Kita memantau fungsi hati dengan pemeriksaan bilirubin, SGOT/SGPT, dan albumin. Jika ada peningkatan signifikan atau pasien mulai menunjukkan gejala seperti demam atau ikterus, kita bisa mempertimbangkan biopsi hati."

"Bagus," balas Profesor sambil mengangguk. "Tapi selain itu, jangan lupa pemeriksaan USG Doppler untuk memastikan aliran darah ke hati baru tetap baik. Kita juga harus waspada terhadap efek samping imunosupresan."

Yura dan residen lain mengangguk cepat, jari-jari mereka sibuk mencatat di tablet masing-masing.

"Untuk sekarang, kita lanjutkan pemantauan fungsi hati setiap hari, ya, Eomeonim, Abeonim. Kalau pasien bisa toleransi diet oral dengan baik, kita bisa mulai mempertimbangkan pengurangan cairan IV secara bertahap," jelasnya kepada orangtua pasien.

"Kalau begitu, kami pamit dulu," tambahnya sambil menundukkan kepala sopan, diikuti dengan para peserta visite lainnya.

Namun sebelum meninggalkan ruangan, Yura sempat menoleh kembali. Senyum hangat mengembang di wajahnya saat ia membungkuk sedikit ke arah pasien kecil itu.

"Kerja yang bagus! Semoga kau bisa cepat sembuh ya!" katanya sambil mengangkat tangannya untuk high-five.

Tangan mungil itu menyambut malu-malu, tapi berhasil membuat senyum muncul di wajahnya.

"Gomawoyo, seonsaengnim!"

***

Setelah visite bersama Profesor Choi selesai, barulah Yura bisa bernapas sedikit lebih lega. Di nurse station, ia duduk di sebelah Kepala Suster Joo sambil membuka bungkus cokelat dan menggigitnya pelan. Manisnya sedikit membantu menenangkan pikirannya yang sempat tegang selama visite.

Tak lama kemudian, Suster Min datang dengan wajah yang tampak sedikit murung.

"Ada apa, Min-ssaem?" tanya Yura sambil menoleh, alisnya terangkat heran.

"Yura-ssaem..." suara Min terdengar pelan, seolah ragu, "Aku sedih sekali dengar kondisi pasien baru di kamar 502, bangsal bedah jantung. Aku dengar tadi dari Suster Ha waktu di café."

Nada bicaranya membuat Yura langsung menegakkan tubuh. Cokelat di tangannya belum sempat habis.

"Tiga hari lalu, anak itu masuk. Anak perempuan, lima tahun. Kardiomiopati. Sekarang dia pakai VAD dan lagi nunggu donor jantung. Rasanya nggak tega lihat dia sekecil itu..."

Deg.

Jantung Yura seakan terjatuh ke perutnya. Napasnya tercekat sesaat. Nama penyakit itu—kardiomiopati—muncul seperti hantaman keras. Ingatan tentang teman kecilnya, alasan ia memilih menjadi dokter bedah anak, muncul begitu saja di benaknya.

Tanpa berkata apa-apa, Yura langsung bangkit berdiri. Langkahnya cepat menuju bangsal jantung. Bahkan panggilan Suster Min tak ia hiraukan.

Dari luar ruangan, Yura berdiri terpaku. Matanya tertuju pada anak kecil yang terbaring lemah di tempat tidur. Tubuh mungil itu dipenuhi selang dan alat bantu, namun wajahnya tampak damai... terlalu damai untuk seorang anak yang sedang menunggu keajaiban.

Astaga. Hatinya mencelos.

Pemandangan itu bagai membawa Yura kembali ke masa kecilnya. Ke saat dia memeluk teman kecilnya yang kini hanya tinggal dalam ingatan. Matanya mulai berkaca, dan dalam sekejap—setitik air mata jatuh ke pipinya. Ia buru-buru menyekanya dengan kasar.

"Han Yura. Kau lagi apa di sini? Kenapa jalanmu cepat sekali tadi? Bahkan tidak—"

Suara yang akrab menghentikan lamunannya. Rowoon berdiri beberapa langkah di belakangnya, alisnya berkerut saat melihat wajah Yura.

"...Kau menangis?"

Yura cepat-cepat menggeleng dan melangkah menjauh dari bangsal. Tak ingin terlihat rapuh di depan siapapun—tapi tentu saja Rowoon mengikuti dari belakang.

Mereka akhirnya duduk di kursi taman belakang rumah sakit. Tempat itu sepi, hanya terdengar suara angin yang berbisik di antara dedaunan. Yura menunduk, tangannya gemetar, dan air matanya kembali jatuh. Tak deras, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa sesak.

Rowoon mengeluarkan tisu dari saku snelli-nya dan menyodorkannya tanpa bicara.

"Kau mau cerita?"

Yura menarik napas panjang. Matanya menerawang jauh sebelum akhirnya membuka suara.

"Aku... Ada alasan kenapa aku memilih jadi dokter bedah anak," suaranya pelan, hampir berbisik. "Temanku waktu kecil meninggal karena kardiomiopati. Waktu itu aku masih kecil,  cuma bisa diam, bahkan nggak ngerti apa yang terjadi. Tapi sejak itu... aku janji pada diriku sendiri, aku akan jadi dokter. Supaya aku bisa bantu anak-anak kecil seperti dia. Supaya... mereka nggak perlu ngerasain sakit kayak gitu sendirian."

Dia terdiam sebentar, berusaha menelan emosi yang menyesak di tenggorokan.

"Dan sekarang... aku bertemu pasien dengan penyakit yang sama. Tapi aku masih belum bisa melakukan apa-apa. Dia bukan pasien di bangsalku. Rasanya walaupun aku sudah menjadi dokterpun... aku nggak berguna."

Rowoon diam sejenak, lalu menepuk bahu Yura dengan lembut. "Jangan menangis lagi. Dia pasti akan dapat jantung baru. Dan teman kecilmu... dia pasti sudah tenang di sana. Dia akan bangga padamu."

"Aku... dia bisa dapat jantung baru, kan?" bisik Yura, matanya bergetar. "Dia bisa sembuh, kan? Tapi aku merasa kejam... seolah menunggu seseorang meninggal untuk menyelamatkannya."

Rowoon menghela napas. "Itu di luar kemampuan kita, Yura-ya. Tapi kita masih bisa melakukan satu hal—berdoa. Itu bukan hal kecil."

Yura mengangguk kecil. Tapi hatinya masih terasa berat. Anak sekecil itu, harus menunggu jantung baru... kenapa?

***

Hari-hari berikutnya, Yura seperti tak bisa jauh dari bangsal jantung. Setiap hari dia menyempatkan diri datang ke kamar 502. Kadang hanya untuk duduk sebentar, kadang membawa boneka kecil agar bisa bermain dengan si pasien kecil.

"Yura-ssaem. Hari ini kau juga akan periksa Kim Yohan hwanja?" tanya Suster Min suatu siang sambil tersenyum.

Yura mengangguk. "Nanti siang aku ke sana." Tangannya masih sibuk mengisi rekam medis. "Nah, selesai. Aku pergi dulu ya. Mau istirahat sebentar. Tapi mampir café dulu sih, ehehe."

Dengan kopi di tangan, dia berjalan santai ke ruang jaga. Tapi langkahnya terhenti saat ponselnya bergetar. Layar menampilkan nama, Suster Ha - Bangsal Jantung.

Deg. Bolehkan dia berharap?

Yura cepat-cepat mengangkat telepon.

"Halo?"

"Yura-ssaem! Yohan dapat jantung baru!"

Dunia seperti berhenti berputar sesaat.

"Operasinya sore ini. Profesor bilang, kalau kau tidak ada jadwal, kau boleh ikut masuk untuk memperhatikan."

"Astaga! Aku senang sekali! Aku pasti ikut! Hari ini aku nggak jaga malam!"

Begitu telepon dimatikan, jantungnya berdebar kencang. Senyumnya lebar. Rasanya seperti ingin melompat kegirangan. Bahkan... memeluk seseorang.

"Han Yura."

Seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh cepat.

"MINHYUK-SSI!" serunya.

Refleks, Yura melompat dan memeluk tubuh Minhyuk erat. "Aku senang sekali hari ini!!"

Berbanding terbalik dengan Yura yang masih melompat-lompat dalam pelukannya, Minhyuk justru terdiam. Untuk sesaat, ia lupa caranya bernapas.

Namun tak lama kemudian, tangannya perlahan terangkat. Ia membalas pelukan Yura, dengan sangat sadar. Senyum lembut muncul di wajahnya. Senang... karena bisa melihat Yura tertawa dan bahagia seperti sekarang.

Ia tak tau pasti perasaan apa yang mulai tumbuh di hatinya, tapi ia tau satu hal.

Dia suka merasakannya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
God's Blessings : Jaws
1849      847     9     
Fantasy
"Gue mau tinggal di rumah lu!". Ia memang tampan, seumuran juga dengan si gadis kecil di hadapannya, sama-sama 16 tahun. Namun beberapa saat yang lalu ia adalah seekor lembu putih dengan sembilan mata dan enam tanduk!! Gila!!!
Cute Monster
669      383     5     
Short Story
Kang In, pria tampan yang terlihat sangat normal ini sebenarnya adalah monster yang selalu memohon makanan dari Park Im zii, pekerja paruh waktu di minimarket yang selalu sepi pengunjung. Zii yang sudah mencoba berbagai cara menyingkirkan Kang In namun selalu gagal. "Apa aku harus terbiasa hidup dengan monster ini ?"
Bloody Autumn: Genocide in Thames
9447      2128     54     
Mystery
London, sebuah kota yang indah dan dikagumi banyak orang. Tempat persembunyian para pembunuh yang suci. Pertemuan seorang pemuda asal Korea dengan Pelindung Big Ben seakan takdir yang menyeret keduanya pada pertempuran. Nyawa jutaan pendosa terancam dan tragedi yang mengerikan akan terjadi.
Semesta Berbicara
1045      644     10     
Romance
Suci adalah wanita sederhana yang bekerja sebagai office girl di PT RumahWaktu, perusahaan di bidang restorasi gedung tua. Karena suatu kejadian, ia menjauh dari Tougo, calon tunangannya sejak kecil. Pada suatu malam Suci memergoki Tougo berselingkuh dengan Anya di suatu klub malam. Secara kebetulan Fabian, arsitek asal Belanda yang juga bekerja di RumahWaktu, ada di tempat yang sama. Ia bersedia...
Love Rain
20527      2763     4     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...
Between Us
2782      1258     5     
Romance
Song Dami jelas bukanlah perempuan yang banyak bicara, suka tersenyum. Oke, mungkin iya, dulunya, tapi sekarang tidak. Entahlah, dia juga lupa alasan kenapa dia lebih banyak menyembunyikan emosinya dan memilih untuk melakukan apa yang disuruh padanya. Dan karna itu, Sangho, oppanya meminta dia untuk berhenti dari pekerjaannya yang sekarang karna Dami ternyata ditindas oleh sunbaenya. Siapa ya...
Contract Lover
12503      2657     56     
Romance
Antoni Tetsuya, pemuda mahasiswa kedokteran tanpa pengalaman romansa berusia 20 tahun yang sekaligus merangkap menjadi seorang penulis megabestseller fantasy komedi. Kehidupannya berubah seketika ketika ia diminta oleh editor serta fansnya untuk menambahkan kisah percintaan di dalam novelnya tersebut sehingga ia harus setengah memaksa Saika Amanda, seorang model terkenal yang namanya sudah tak as...
My Brother Falling in Love
37561      3752     8     
Fan Fiction
Pernah terlintas berjuang untuk pura-pura tidak mengenal orang yang kita suka? Drama. Sis Kae berani ambil peran demi menyenangkan orang yang disukainya. Menjadi pihak yang selalu mengalah dalam diam dan tak berani mengungkapkan. Gadis yang selalu ceria mendadak merubah banyak warna dihidupnya setelah pindah ke Seoul dan bertemu kembali dengan Xiumin, penuh dengan kasus teror disekolah dan te...
My love doctor
298      251     1     
Romance
seorang Dokter berparas tampan berwajah oriental bernama Rezky Mahardika yang jatuh hati pada seorang Perawat Salsabila Annisa sejak pertama kali bertemu. Namun ada sebuah rahasia tentang Salsa (nama panggilan perawat) yang belum Dokter Rezky ketahui, hingga Dokter Rezky mengetahui tentang status Salsa serta masa lalunya . Salsa mengira setelah mengetahui tentang dirinya Dokter Rezky akan menja...
I N E O
6468      1374     5     
Fantasy
âťťJadi, yang nyuri first kiss gue itu... merman?âťž