Mati-matian Molly menahan diri untuk tak berlari cepat hingga membuat para pelayat menaruh perhatian padanya. Sayang kemunculannya siang ini sukses membuat gempar, tidak hanya Powell dan Joyce—berdiri dengan mulut menganga—juga seluruh hadirin di rumah duka.
"Itu kan Molly."
"Dia kembali pulang?"
"Astaga, lalu di mana kakaknya?"
Mereka menoleh serempak, tak menduga akan kedatangan Molly. Keheningan menyertai, seluruh tamu pelayat menarik napas tajam bersama-sama, memandang penuh keheranan pada sosok Molly. Kemudian, ketika perempuan berambut emas itu melangkah maju, para pelayat terbelah seperti lautan, memberikan jalan baginya.
Pandangan Molly tertuju pada satu titik lurus, yaitu peti mati kayu yang setengah terbuka yang berada di ujung ruangan. Dia bersumpah mengalami kesulitan untuk berjalan lurus, seolah lantai yang dipijaknya terbuat dari tanah liat yang lembek. Setiap melangkah, kakinya seolah tenggelam dalam sela-sela lantai yang empuk.
Semakin Molly mendekat, semakin berat pula langkah kaki dan helaan napasnya. Tangannya yang kurus gemetaran ketika menyentuh permukaan peti kayu itu. Matanya mengerjap beberapa kali, menahan rasa panas yang mulai meradang di sekitar rongga mata. Susah payah Molly menarik napas dan menghembuskannya melalui mulut.
Molly ingat betul bagaimana penampilan adiknya semasa hidup. Seperti sekarang ini. Hanya saja, tubuh Pandia kini terbaring kaku tak bernyawa. Wajahnya yang polos dan manis terlihat damai seolah tengah tertidur di malam hari.
Seingat Molly, bibir Pandia dulu berwarna merah muda, sering tersenyum ketika bersamanya, sering sekali terbuka dan mengeluarkan kata-kata yang dipenuhi oleh imajinasi. Namun, kini berubah pucat, teramat pucat, dan bibir itu telah terkatup rapat-rapat.
Dulu, ketika Molly mendengarkan Pandia membicarakan tentang hobi, rona merah muda selalu muncul di kedua pipi adiknya. Kini, rona merah muda itu juga lenyap, digantikan oleh warna pucat mirip bulan di langit cerah Nevervale. Mata yang sering terbuka lebar, berkilat penuh rasa penasaran dan kebahagiaan, kini terpejam.
"Pandia-ku yang manis," lirih Molly serak, bibirnya bergetar ketika menyebutkan nama adik kecilnya. "Apa yang telah terjadi padamu, sayang?"
Seolah mengesahkan keraguannya, tangan Molly menyusul pada bagian pergelangan tangan Pandia, jari-jarinya mencari-cari denyut nadi. Hatinya meraung-raung memohon agar dapat menemukan tanda-tanda kehidupan, sedikit saja.
Namun, tidak ada apa pun di sana.
Tak ada lantunan kehidupan dalam tubuh Pandia.
Hanya ada keheningan.
Tersisa kekosongan.
Dan memori yang semakin menyesakkan batin.
"Dia meminum racun," Powell berbisik dari belakang. "Dia mencarimu, Mol. Pandia sangat murung tanpamu."
Mendengar itu, hancur sudah pertahannya. Molly jatuh ke lantai dingin. Air mata yang telah ditahan membuncah, mengalir deras membasahi wajah cantiknya. Hatinya yang serapuh kaca seolah terhempas ke batu, hancur berkeping-keping berhamburan menjadi debu. Mulutnya terbuka sedikit, seolah tengah meneriakkan nama Pandia, namun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia terjebak dalam kebisuan, isakan demi isakan terperangkap dalam tubuhnya dan kata-katanya tertahan.
Dia marah, berduka, sedih, sakit, dan kecewa pada dirinya sendiri. Sebagai anak tengah dari tiga bersaudara, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menyatukan kakak dan adiknya.
Molly kira, dia telah mengambil keputusan yang tepat.
Molly kira rencananya semudah membalikkan telapak tangan.
Molly kira usahanya tidak akan mengkhianati hasil.
Namun, setelah apa yang terjadi terhadap Agatha, sekarang Pandia yang pergi meninggalkannya.
Tanpa ampun, kenyataan tengah mencemooh Molly, menertawakan kegagalannya, menikmati kesengsaraannya.
Ya, Molly benar-benar gagal menjaga mereka.
Joyce berjalan cepat, menekuk lututnya dan menarik Molly ke dadanya. Isakan keduanya bersatu padu, menjadi puisi yang tak berwujud, menggantung di udara, dihiasi rasa duka yang mendalam.
***
Langit cerah kebiruan, bersih tanpa awan, membentang luas di Nevervale. Matahari tersenyum penuh kebahagiaan, menawarkan rasa hangat dan kebahagiaan bagi Neverian. Namun, semuanya tidak berhasil membuat hati Molly kembali pulih.
Setelah pemakaman dilaksanakan, hingga beberapa jam setelah para pelayat berpamitan pulang, Molly tetap terduduk lesu. Air matanya telah mengering. Wajah cantiknya kotor oleh air mata yang tertumpah. Matanya yang memerah, menatap teduh penuh duka.
Di hadapannya kini adalah batu nisan dari seseorang yang tidak pernah Molly sangka-sangka akan bergabung bersama orang tuanya. Bertuliskan:
Berbaring penuh kedamaian. Keponakan dan adik bungsu yang paling dicintai. Semoga kita bisa menjadi saudara kandung di kehidupan yang selanjutnya. Pandia Edagon. 1212 EV-1231 EV.
Hingga langit berubah jingga, matahari memancarkan cahaya keemasannya, dan bayangan kegelapan mulai menyusup di antara semak-semak dan pepohonan rindang, Molly masih tetap di sana, tak berpindah sedikit pun.
Angin berhembus membisikkan rasa duka, gesekan dedaunan menyanyikan sajak-sajak kehidupan Edagon bersaudara. Kebersamaan bertahun-tahun di bangun, senyuman, semangat, canda dan gurau itu ... semuanya kandas, hanya dalam hitungan beberapa hari.
Entah berapa lama Molly ada di sana, sampai akhirnya Powell menjemputnya. Pria tua itu membawakan selimut tebal, lantas membantu Molly berdiri dan menuntunnya pulang.
Tidak ada pembicaraan apa pun yang keluar dari mulut keduanya.
Mereka membisu.
Tenggelam dalam kesunyian.
Berbagi rasa duka dalam diam.[]