Dia tidak siap dengan apa yang terjadi di hadapannya, apa konsekuensinya, dan bagaimana caranya beradaptasi dengan kondisi yang baru. Sebab sejauh yang Molly tahu, segalanya terasa hampa tidak berujung.
Gangguan tidur telah menjadi makanannya selama tiga hari belakang, dan selama itu pula, Molly hanya bisa duduk di pinggiran ranjang, menghela napas berat dan terduduk memandangi lilin di atas meja nakas. Dia tidak beranjak dari ranjang sekali pun sejak pemakaman Pandia.
Nafsu makan Molly berkurang. Meskipun Joyce membuatkan makanan kesukaannya, sup krim manis, sayang di lidahnya terasa hambar. Ia hanya menganggukkan kepala sebagai bentuk penghargaan, dan tersenyum tipis untuk menenangkan wanita tua itu.
"Powell hari ini menuju ke kediaman Vince," Joyce berkata, memecah keheningan.
Molly mengulum bibir bawahnya. Pegangannya pada sendok kayu itu semakin menguat, rahangnya dikatupkan rapat-rapat, bahunya menegang, mengantisipasi pernyataan Joyce selanjutnya.
"Dia ingin membatalkan perjanjian."
Cepat-cepat, Molly menolehkan kepalanya.
"Setelah pemakaman Pandia, Vince mendatangi rumah dan mengatakan niatnya untuk menikahimu. Dia sangat bersemangat untuk menjadikanmu istrinya, mengatakan kalau dia mengubah pikirannya, memilih istri yang memiliki pemikiran matang, yaitu kau."
Molly menggigit bibir bawahnya.
Joyce menambahkan, "Tapi, Powell yakin untuk membatalkannya. Kami kira kau juga menghilang. Setelah kepulanganmu, kami sadar, kau terlalu berharga bagi kami, Mol. Kejadian Agatha dan Pandia menjadi tamparan keras bagi kami berdua. Hugo yang membantu perekonomian keluarga kita, dia sedang menabung membayar utang-utang pamanmu."
Joyce mengusap air mata yang membasahi wajah keriputnya. Ia berdeham untuk mengembalikan nada bicaranya kembali tenang dan datar.
"Kau tidak perlu khawatir, pamanmu tahu apa yang dilakukannya," sambung Joyce kembali. "Dan aku mendukung keputusannya, begitu juga mendukung keputusanmu untuk ke depannya, Mol."
Diguyur oleh perasaan lega dan cinta, bahu Molly merosot jatuh, napasnya berhembus berat, dan dia bangkit dari kursi. Tangannya terbuka lebar-lebar, memeluk Joyce erat penuh rasa syukur. Dia menenggelamkan wajahnya pada leher si bibi.
"Terima kasih, Bibi," isak Molly tertahan. "Terima kasih. Sungguh, terima kasih."
Tangan keriput Joyce mengusap kepala Molly perlahan. "Tidak, kami yang seharusnya berterima kasih padamu, Mol. Terima kasih telah bertahan bersama kami, tolong maafkan keputusan lancang kami. Sungguh, kami melakukannya karena kami menyayangimu, nak. Tapi, kami telah dibutakan oleh keputusasaan. Maafkan kami."
"Kalian adalah keluarga satu-satunya yang kumiliki, aku percaya kalian menyayangiku. Terima kasih telah berubah untukku." Molly tersenyum, seraya mengusap air mata di wajahnya. "Terima kasih telah memilih percaya padaku."
***
Molly telah terbebas dari tanggung jawab pernikahan, serta mendapatkan cinta dan kasih dari paman dan bibinya kembali, harusnya hal itu membuat hatinya diliputi oleh kelegaan. Akan tetapi gangguan tidur itu masih tetap muncul di malam harinya.
Dia bergulung, mengganti posisi tidurnya perlahan beberapa kali. Lalu membuka mata cepat dan terduduk di pinggir ranjang. Tangannya mengusap-usap dadanya tanpa sadar, mendesah seolah sedang gelisah.
Masih dalam kondisi rindu dan duka, Molly mendorong pintu kamar Pandia, mengamati seluruh barang-barang dalam kamar kecil itu. Semuanya masih tetap pada posisi semula, tidak ada yang berubah. Kecuali adanya botol kecil asing di atas meja belajar.
"Ini botol racun yang diminum Pandia," gumamnya datar seraya menyentuh permukaan mulut botol kaca.
Ya, Pandia tidak ingin menikahi Vince. Ia terlalu takut bertemu orang asing yang jauh lebih tua darinya. Tidak ada yang membelanya, melindunginya, ataupun menenangkannya. Merasa terperangkap dalam ketakutan, Pandia memutuskan menenggak racun yang dibelinya di pasar gelap.
Molly mengingat cerita Joyce, tentang bagaimana wanita tua itu menemukan Pandia di kamarnya, terbaring di atas lantai dingin, dengan mulut yang terkatup rapat dan tubuh yang kaku. Ruangan ini menjadi saksi bisu Pandia mengakhiri hidup, begitu pun tanaman kecil di dekat jendela, yang kini telah mengering dan mati.
"Pandia, maafkan aku," gumam Molly dengan mulut bergetar. "Maaf, aku terlambat."
Pandia telah menunggu Molly selama tujuh hari, sudah pasti adiknya merasa kesepian, takut, serta hampa. Mirip yang dirasakannya sekarang.
Biasanya, Molly yang membantu Pandia dari belakang, melindunginya, dan memberikan bahunya agar si adik merasa tenang. Sayangnya, semua itu hanyalah kenangan.
Kini, Molly memilih duduk di kursi belajar Pandia. Tangan-tangannya menyusuri pinggiran meja, mencari-cari sedikit kenangan. Lalu, ia membuka laci pertama di sebelah kiri.
Pandangannya beralih pada kotak kayu yang tersimpan dalam laci. Berharap dapat menemukan sketsa wajah Pandia, Molly mengambil kotak itu dan membukanya. Di luar dugaan, rupanya kotak itu berisikan kumpulan surat-surat yang dilipat menjadi bagian terkecil.
Molly ingat, dulu, sewaktu mereka masih kanak-kanak, Pandia sering menuliskan surat untuk mendiang ayah dan ibu mereka, meskipun adiknya tidak pernah berniat untuk mengirimkannya. Ia tidak menyangka jika suratnya telah sebanyak ini.
Malam itu, Molly habiskan untuk membaca surat-surat yang ditulis Pandia selama sebelas tahun ini. Surat-surat itu hanya ditulis di hari ulang tahun ketiganya, menceritakan tentang kekompakan dan cinta. Pandia juga menggambarkan sedikit coretan gambar Agatha dan Molly.
Tanpa terasa, fajar menyingsing dari ufuk timur, Molly masih terduduk membaca surat-surat itu sampai tuntas. Surat-surat itu berjumlah tiga puluh buah, ditambah satu yang ditulis oleh Pandia di hari ulang tahun Molly minggu lalu. Berisikan Agatha yang memilih pergi dari rumah, dan tentang Pandia yang mengkhawatirkan kakak-kakaknya.
Tak sanggup membaca surat yang satu itu, Molly memilih untuk mengembalikannya. Namun, keningnya berkerut ketika melihat dua buah surat yang masih tersisa di dalam kotak. Dua surat yang entah mengapa membangkitkan rasa penasaran Molly.
Pandia selalu menuliskan surat di hari ulang tahun mereka bertiga selama sebelas tahun. Karena ulang tahun Molly yang lebih dulu di tahun kesebelas, seharusnya surat yang ditulis ada berjumlah 31, bukan 33. Lalu, dua surat terakhir ini apa?
Penasaran, Molly mengambil satu surat pertama dan membukanya perlahan. Dia bergumam membacakan isi surat itu.
Kepada Nona Pandia Edagon,
Saya telah menerima surat Anda sore ini. Perlu diketahui karena meracik ramuan ini akan menimbulkan bau tajam, yang hanya dapat dicium oleh para essentor. Mohon untuk dilakukan secara hati-hati:
Pertama, saya akan menggiring Agatha untuk menemui saya di Kedai Anyelir Merah. Kami akan membicarakan Keajaiban Bilena semalam suntuk, menggugah keingintahuannya. Gunakan momen ini untuk mencari bahan-bahan ramuan di pasar gelap. (Saya lampirkan resepnya.)
Kedua, jika Anda ingin meracik ramuan di rumah, Molly, kakak Anda, akan mencurigai usaha Anda. Kecuali jika Anda meyakinkannya untuk menyusul Agatha pergi. Jika Anda berhasil, gunakan momen ini untuk meracik ramuannya sesempurna mungkin.
Ketiga, begitu dia kembali ke Nevervale, Anda boleh menenggak ramuan itu. Namun, pastikan tak ada yang tersisa, karena setetes ramuan dapat tercium oleh essentor.
Keempat, tiga hari setelah hari pemakaman, saya dan rombongan akan menggali kuburan dan mengirim tubuh Anda pergi dari desa ini. Begitu Anda sadar, Anda telah berada perjalanan ke tempat tujuan Anda.
Salam, Farcloud.
Catatan: Bakar surat ini setelah Anda membacanya.
Molly tercengang membacanya, air mata yang sempat berkumpul di pelupuk matanya mendadak mengering. Ia cepat-cepat mengambil surat berikutnya, membacanya perlahan-lahan dalam hati.
Ramuan Tidur Panjang
Ramuan ini adalah salah satu ramuan berbahaya, apabila dikonsumsi akan terus tertidur dalam mimpi indah yang tak berujung.
Bahan-bahan yang diperlukan:
3 kelopak Bunga Mawar Hitam
2 kelopak Bunga Sedap Malam
1 helai Daun Pudar
5 sendok Air Mata Bulan
3 helai Rambut Bintang
2 cangkir air Sungai Berlian
Cara pembuatan:
1. Haluskan rambut bintang dengan menggunakan alu, lalu masukan ke dalam wajan.
2. Tuang air sungai berlian ke dalam wajan. Aduk sampai air mendidih dan tercium bau seperti kacang almon.
3. Setelah mendidih, tambahkan bunga mawar hitam, bunga sedap malam, dan daun pudar. Aduk sampai ramuan mengeluarkan cahaya lembut kebiruan.
4. Terakhir, tambahkan air mata bulan. Aduk merata hingga ramuan berubah warna menjadi ungu dan rebus sampai setengah gelas.
Ramuan siap untuk dikonsumsi.
Peringatan: Ramuan ini masih belum ditemukan penawarnya, untuk itu diharapkan kebijaksanaan bagi pengonsumsinya.
Membaca resep itu, Molly cepat-cepat mengambil botol kaca yang tak jauh darinya. Ia mengecek, memindainya, menajamkan pandangan juga istingnya sebagai seorang Pembisik Daun. Namun, ia tidak melihat apa pun. Sampai akhirnya Molly memilih untuk mencium aromanya.
"Almon," gumamnya.
Matanya melesat memandangi dua surat yang telah dibacanya. Surat dari seseorang misterius yang bernama Farcloud untuk Pandia.
"Apa maksudnya? Siapa Farcloud sebenarnya? Apa hubungannya dengan Pandia?"[]