Pak Atma sedang sibuk di meja kerja. Sejumlah rekaman medis dan hasil tes bertumpuk rapi, sedangkan layar komputer menampilkan beberapa data hasil tes darah dan genetika yang sedang beliau analisis. Pak Atma tampak sangat fokus pada pekerjaan.
Cahaya dingin dari lampu laboratorium memberikan sentuhan kontras pada wajah Pak Atma yang serius ketika Jaya masuk hati-hati, mencari sosok Bayu. Namun, dokter yang biasa mengisi hari Jaya dengan keceriaan itu tidak tampak. Jaya jadi sedikit gusar dan mendekati Pak Atma.
"Pak Atma," katanya dengan wajah cemas. “Bayu belum pulang dari konferensi di Yogya?”
Pak Atma menghentikan sejenak pekerjaannya dan mengangkat pandangandari angka-angka yang sedari tadi diamatinya. Meskipun sedikit terkejut, beliau segera menggeser perhatiannya ke Jaya dengan tulus.
“Betul, Mas Jaya. Ada yang bisa saya bantu, mungkin?” jawab beliau sambil tersenyum ramah.
"Aduh! Katanya hari ini sudah bisa masuk. Kok, belum datang?” sahut Jaya cemas sambil mengeluarkan selembar kertas dari amplop panjang yang sejak tadi dibawanya. “Saya butuh bantuan tentang hasil tes genetika ini."
Pak Atma mengernyit melihat kegelisahan yang melanda Jaya. Beliau yang selalu sensitif terhadap perubahan suasana hati Jaya, melihat ada sesuatu yang mengganjal di hati psikolog yang biasa tampil tenang itu.
Pak Atma pun menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah Jaya dan mempersilakan psikolog itu duduk agar lebih tenang. Pak Atma menerima lembaran yang disodorkan Jaya dan berusaha meneliti isinya sambil menyimak perkataan Jaya.
“Ini rekaman medis seorang pasien yang sedang hamil, yang telah didiagnosis menderita talasemia pada janinnya,” terang Jaya. "Saya harus memahami lebih lanjut tentang kondisi ini, Pak Atma. Saya ingin tahu lebih banyak tentang talasemia, bagaimana cara mengidentifikasinya melalui tes genetika, dan apa implikasinya bagi janin."
Pak Atma dengan sabar menjelaskan kepada Jaya segala jawaban dari tiap pertanyaan yang diluncurkan Jaya tentang talasemia, bagaimana kondisi ini terkait dengan mutasi genetik tertentu, dan cara tes genetika mengidentifikasinya.
Selama penjelasan tersebut, Jaya justru jadi teringat ibunya. Pikirannya melayang pada kenangan masa kecil yang penuh ketidakpastian dan ketakutan, bergantian dengan komentar ibu Tasya yang menyatakan bahwa masalah gangguan mental bisa terkait dengan genetik, serta komentar Bayu tentang ini.
Pak Atma menangkap gelagat tak biasa pada diri Jaya, tetapi beliau tetap berusaha menjelaskan pelan-pelan agar mudah ditangkap benak psikolog yang sejatinya sedang tersesat dalam pusaran waktu. Sesekali, Jaya menanyakan hal yang terlewat dari fokusnya tadi hingga merasa cukup.
"Baik. Terima kasih, Pak Atma,” ucap Jaya, meskipun kebingungan dan kecemasan di otaknya belum sepenuhnya teratasi. “Mungkin, kalau masih ada pertanyaan, saya hubungi Bayu saja nanti. Semoga dia ada waktu di antara kesibukan acara internasional itu.”
“Jadi, ini bukan kasus yang harus segera Anda tangani sekarang, Mas Jaya?” tanya Pak Atma hati-hati.
“Oh, tidak,” jawab Jaya segera, “Ibu Maya dan Pak Rizal jadwal konselingnya baru nanti sore.”
Pak Atma mengangguk-angguk penuh pengertian kemudian mengajukan usul, “Lima menit lagi jam istirahat. Bagaimana kalau kita bersantai dulu, Mas Jaya? Mungkin, sambil mengobrol? Mas Jaya lebih suka sambil makan di kantin, atau saya pesankan saja biar dibawa ke sini?”
Jaya menatap lekat-lekat ke Pak Atma, bergantian dengan lembar rekaman medik di tangan kanan dan ponsel di tangan kiri. Dia mengangkat kedua alis sambil menghela napas berat karena menyadari ketidaksopanannya.
“Duh, maaf Pak Atma. Saya bukannya tidak percaya dengan penjelasan Bapak tadi. Cuma, saya agak kurang fokus mendengarnya. Jadi, daripada terus merepotkan Pak Atma, mending saya ganggu teman saya itu. Bisa jadi kan, sebenarnya Bayu sedang memperpanjang acara di Yogya dengan jalan-jalan?” ungkap Jaya sambil berusaha mencairkan ketegangannya sendiri.
Pak Atma tertawa kecil dan berkata, “Iya, iya. Saya paham, Mas Jaya. Saya pribadi sudah melihat ada perubahan kok, dengan Mas Jaya beberapa hari. Seperti sedang memikirkan masalah serius, begitu. Kalau berkenan, boleh dibagikan ke saya, biar berkurang bebannya.”
Jaya tersenyum haru seraya menyahut, “Pak Atma ini baik sekali, ya. Tetap profesional, bahkan siap membantu siapa pun.”
“Yah, hitung-hitung agar tetap bisa memberikan layanan terbaik ke klien dan pasien kan, Mas Jaya? Kondisi psikolognya juga harus dijaga agar selalu prima,” canda Pak Atma, “Bagaimana? Mau ditemani nasi pecel dan es jeruk seperti biasa?”
Jaya tertawa lepas. “Hafal banget ya, Pak, kesukaan saya,” ucap Jaya takjub, “Boleh, Pak. Siang ini saya yang menraktir, ya.”
Pak Atma mengacungkan jempol dan segera menggunakan jempol itu untuk menghubungi ibu kantin. Setelahnya, beliau kembali menatap teduh ke Jaya untuk memberinya ruang berbicara dari hati ke hati.
Jaya mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara serius, "Pak Atma, saya tahu ini mungkin terdengar aneh. Tapi, saya perlu seseorang untuk berbagi rahasia yang beberapa hari ini saya simpan. Bahkan, saya masih ragu menceritakan ini kepada Bayu. Saya pikir, Pak Atma orang yang tepat."
Pak Atma mengangguk sambil tersenyum. Tangan kanannya menengadah dan disorongkan ke depan, tanda mempersilakan Jaya melanjutkan kata-katanya.
“Ini tentang ibuku," lanjut Jaya sambil menunduk. “Belakangan ini, saya merasa lebih tegang karena selalu memikirkan Ibu, dan merenungkan apa yang harus saya lakukan selanjutnya.”
Jaya menguatkan diri mengangkat kepala, menatap ke Pak Atma yang memandangnya penuh perhatian. Dengan nada terhenti-henti, Jaya mulai menceritakan segalanya. Tentang bagaimana ibunya selalu diam, proses hipnosis yang telah mereka lalui, dan ingatan yang muncul dari itu.
"Saya baru tahu bahwa mungkin Ibu telah menjalani perjalanan yang begitu sulit," aku Jaya miris. “Beliau mengalaminya saat berurusan dengan cinta, Pak. Coba Bapak pikir, cinta macam apa yang memberikan rasa sakit?”
Pak Atma mendengarkan dengan cermat, wajahnya mencerminkan simpati dan kepedulian. Beliau menyentuh bahu Jaya dengan lembut dan berkata, "Mas Jaya, cinta bisa membawa kebahagiaan, tetapi juga rasa sakit. Tentu, bukan kesakitan semacam yang dirasakan ibu Anda yang saya maksud. Cuma, seperti Mas Jaya sendiri, karena saking cintanya sama ibu, jadi merasa sakit begini, kan?”
Jaya hanya membisu. Bibirnya bergetar. Ada riak-riak bening bergoyang lembut meliputi kedua bola mata. Pak Atma memijat bahu Jaya, seakan-akan mengizinkan Jaya melepaskan segala emosi yang menguasainya saat ini. Jaya pun menyerah. Air mata itu tumpah.
Sejurus kemudian, Jaya menatap Pak Atma penuh kegetiran. Di antara celah kedua bibir yang gemetar, Jaya pun berucap dengan nada berat, "Terus terang, saya benci ayah saya, Pak Atma. Benci karena tindakan kasarnya yang telah menyakiti jiwa ibu saya selama bertahun-tahun. Saya tidak pernah bisa memaafkan apa yang dia lakukan.”
Pak Atma meresapi kata-kata Jaya dengan penuh pengertian. Beliau mengangguk perlahan. "Saya paham perasaan Anda, Mas Jaya. Terkadang, kekerasan yang dialami seseorang bisa meninggalkan luka yang sangat dalam. Apa lagi, jika itu menyangkut harta paling berharga bagi seorang makhluk sehalus perempuan," tutur Pak Atma yang matanya ikut berkaca-kaca.