"Kalau kamu bisa dengar suaraku sekarang... berarti kamu bukan Serana yang kemarin."
Gema yang Salah Frekuensi
Langit Aresia memantulkan warna ungu yang ganjil. Bukan ungu lembut seperti lavender, tapi ungu kelam, seperti trauma yang dicampur dalam blender dan ditumpahkan ke atas langit. Awan-awan melilit seperti tali suara yang kehilangan nadanya. Di pelataran Menara Aresia, Serana terduduk lemas. Tubuhnya menggigil seperti baru saja diceburkan ke kolam es kutub. Matanya kosong, menatap ke titik yang tak satu pun dari kami bisa lihat. Di tangannya, mic ungu-yang biasanya bersinar hangat seperti bintang kecil yang bergetar. Bukan seperti alat, tapi seperti makhluk hidup yang ikut panik.
"Aduh... kepalaku seperti habis dicekoki keroncong dari dimensi lain," gumam MarJuki. Ia baru sadar dari pingsannya, bangkit sambil menggosok pelipis. Dengan langkah sempoyongan, ia menatap ke arah Serana. "Serana? Kamu nggak apa-apa?"
Serana tak menjawab. Wajahnya tetap kosong. Namun, tiba-tiba, suara yang keluar dari mulutnya bukan miliknya.
"Juki... kenapa kamu ninggalin aku waktu itu?"
MarJuki kaget dan langsung mematung. Suara itu berat, dalam, dan serak. Seperti suara kaset tua yang diputar mundur. Bukan suara Serana.
"Serana? Itu kamu, kan?" tanya MarJuki, melangkah ragu.
Serana tersenyum. Tapi bukan senyuman yang sering ditunjukkannya selama ini. Senyum itu tipis, miring, seperti potret kenangan yang dipaksa tertawa. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan dengan kesedihan, lebih seperti luka yang disembunyikan terlalu lama dan kini ingin keluar. Mic ungu itu mulai bersinar samar menjadi merah muda. Frekuensinya tak stabil. Setiap kali berkedip, udara di sekitar terasa bergetar. Kemudian terdengar bunyi 'klik'. Suara seperti panggilan radio yang menangkap dua sinyal sekaligus. Dan dari arah Serana, muncul gelombang suara seperti nyanyian... tapi nyanyian yang lupa nadanya. Nyanyian yang mengundang ketidakwarasan.
Zhara Dalam Diri Serana
Dalam pikirannya, Serana tidak lagi berada di pelataran Menara Aresia. Ia berdiri dalam sebuah teater kosong. Lampu sorot jatuh tepat di atas panggung, menyinari satu kursi penonton. Di kursi itu, duduk seorang perempuan. Gaun merah menyala membalut tubuhnya. Ia memegang mic merah yang mengeluarkan percikan cahaya seperti api yang ditahan.
"Kamu tahu kenapa aku masuk ke tubuhmu?" tanya perempuan itu.
Suaranya lembut, bahkan merdu, tapi mengandung bahaya yang tak bisa dijelaskan. Seperti selongsong kayu yang menutupi mata pisau. Serana berusaha berbicara, tapi mulutnya seperti terkunci. Tidak ada suara yang keluar.
Sementara itu, sang perempuan masih berdiri. Rambutnya panjang, hitam, bergelombang seperti tinta yang mengalir. Ia berjalan ke arah Serana. Tumitnya berdetak di lantai seperti irama metronom yang tengah murka.
"Karena kamu ..., satu-satunya yang berani menyanyikan lagu kebenaran tanpa takut," lanjutnya.
"Siapa kamu?" Serana akhirnya bisa berbicara, meskipun suaranya serak dan terdengar pelan.
"Namaku Zhara," katanya sambil berhenti satu langkah dari Serana. "Dan aku adalah kamu yang dipendam dunia. Suaramu yang dibungkam. Kesedihanmu yang diredam."
"Tapi kenapa kamu masuk ke dalam diriku? Kenapa sekarang?"
Zhara memutar mic-nya di tangan, seolah sedang menimbang-nimbang.
"Karena waktunya sudah habis, Serana. Dunia sudah tuli terlalu lama. Dan kamu ..., kamu bukan lagi gadis yang hanya bernyanyi untuk menghibur. Kini kamu adalah resonansi."
Perempuan bernama Zhara, mengarahkan mic di tangannya kepada Serana. Mic itu terlihat mengeluarkan cahaya yang mengenai tubuh lemah Serana. Dalam sekejap saja, Serana pun terlempar kembali ke bumi.
****
Suara Serana Mulai Pecah
Di dunia nyata, tubuh Serana mulai berdiri perlahan-lahan. Tangannya terangkat, dan mic-nya bersinar semakin terang. Ia pun mulai memberanikan diri untuk bernyanyi. Awalnya pelan, lirih. Lalu berubah semakin menguat. Nada-nada yang keluar dari suaranya seperti dua lagu berbeda diputar bersamaan. Yang satu menenangkan, menyembuhkan. Yang lain-tajam, menyayat, seperti teriakan luka yang dikompresi jadi nada.
Mendengar suara itu, MarJuki panik. Ia mencoba mendekat. Namun, suara itu menciptakan gelombang udara yang mendorongnya mundur. Seolah setiap kata yang diucapkan Serana menjadi tembok tak terlihat.
"Serana! Hentikan! Itu bukan dirimu! Ini bukan suara yang aku ajarkan waktu kamu mau ikut lomba karaoke antar desa!"
Serana menoleh. Menatap MarJuki dengan sorot mata yang kosong dan dalam. Matanya menyala merah muda. Suara dari mulutnya menggema, seperti keluar dari dua dimensi sekaligus.
"Aku... adalah... resonansi."
BOOM!
Sebuah suara meledak dari tubuhnya. Bukan api. Bukan cahaya, melainkan suara. Meskipun ledakan itu berasal dari bumi, tetapi suaranya mampu menggungcang kota Aresia. Gedung-gedungnya melengkung seolah ditekuk oleh kekuatan yang tak terlihat. Debu dan batu melayang, bergetar dalam gelombang gema. Namun, yang paling aneh, orang-orang Aresia tampak gelisah. Kehebohan mulai terjadi di mana-mana. Mereka bukan takut oleh ledakan suara Serana. Mereka panik karena mulai mendengar suara mereka sendiri lagi. Suara yang telah mereka kubur selama ini.
****
MarJuki Bernyanyi Balasan
Meskipun lemah, MarJuki mencoba sekuat tenaga untuk berdiri. Napasnya tersengal. Ia tahu ia tak bisa melawan suara itu. Namun, satu tahu satu yang pasti, suara Serana sesungguhnya membutuhkan jangkar. Dan satu-satunya lagu yang pernah benar-benar menjadi milik mereka adalah lagu yang mereka tulis ketika Serana mendaftar menajdi peserta Village Idol. Lagu yang tak pernah mereka nyanyikan di depan siapa pun.
Ia mengangkat mic-nya. Dengan suara yang jelas-jelas tidak layak ikut ajang pencarian bakat, karena mic ungunya belum kembali, ia pun bernyanyi:
🎵
Di antara dunia dan suara,
Ada kamu yang tak bisa kupeluk,
Tapi bisa kudengar...
🎵
Suara itu fals. Tempo-nya kacau. Namun, dalam setiap nada, terdengar perasaan yang jujur dan tulus. Serana mulai goyah. Suaranya terputus. Gelombang cahaya di sekelilingnya bergetar tak beraturan.
Sementara itu, di langit Aresia, dua gema, yang satu merah muda, yang satu ungu, membentuk naga suara yang saling melilit dan bertarung. Mereka mengeluarkan semburan nada, menciptakan dentuman irama di udara. Serana menjerit. Kali ini bukan karena kekuatan. Namun, karena ia sedang melepaskan sesuatu.
****
Dalam benaknya, Serana seolah-olah kembali ke Aresia. Zhara tengah berdiri di panggung, dikelilingi cahaya retak seperti cermin yang mulai pecah.
"Kau ..., berhasil membuat dia menyanyi untukmu," kata Zhara dengan senyum tipis. "Bahkan dengan suara sejelek itu."
Serana menggertakkan gigi. "Pergi dari tubuhku. Dunia ini nggak butuh suara dendammu."
Zhara meletakkan mic merah di lantai. Cahaya mic-nya padam perlahan. Namun, sebelum ia menghilang, ia menatap langsung ke mata Serana dan berkata, "sayangnya ..., bukan aku yang kamu lawan selanjutnya."
Serana terbangun dengan napas yang memburu. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Namun, MarJuki sudah tidak ada. Yang tertinggal di tanah hanyalah sebuah catatan kecil. Kertas itu seperti baru saja ditulis, tintanya masih basah.
Serana... aku akan membawamu ke tempat semuanya bermula. Tapi tidak sebagai diriku sendiri.
Serana menatap tulisan itu dengan kaget. Bukan karena pesannya. Tapi karena gaya tulisannya. Ia mengenali tulisan itu.
Itu tulisan tangan ayahnya. Bukan Orpheus, melainkan Ayah yang ia kenal melalui cerita-cerita ibunya selama ini dan telah meninggal sepuluh tahun lalu. Dari kejauhan, angin terdengar berbisik, membangkitkan kembali rasa takut dalam diri Serana.
"Selamat datang di babak kedua, Serana."
Gelombang angin itu berwarna merah, lalu kembali membisikkan sebuah pesan menohok.
"Dendam bukan berasal dari masa kini .., tapi dari masa yang kamu hapus dari ingatanmu sendiri."
Serana mengacak-acak rambutnya frustrasi. Sorot matanya sayu, tubuhnya teramat sangat letih. Entah sampai kapan ia akan mengalami serangkaian peristiwa yang terus berulang tanpa henti, tiada jeda. Bahkan untuk bernapas lega dan beristirahat dengan tenang sejenak pun sepertinya tak sempat. Terdengar helaan napas berat yang dalam darinya. Entah kejadian panjang dan melelahkan apa lagi yang akan dialaminya di depan.
"Tuhan, tolonglah. Aku hanya ingin pulang, aku rindu makan nasi padang!" teriaknya dengan nada putus asa.
Mic dalam genggaman gadis itu berubah. Warna ungunya perlahan-lahan memudar. Seketika saja mic dalam genggaman Serana berubah warna, menjadi biru. Serana tercengang sekaligus bergidik ngeri. Kedua matanya melebar. Ini pertanda, ia akan kembali menghadapi hal-hal yang aneh serta lebih mengerikan. Ruangan di sekitarnya terasa bergetar hebat. Serana merasakan pusaran angin kencang menerbangkan tubuhnya. Dalam sekejap saja, tubuhnya terhempas dan berpindah ke tempat lain. Serana bukan lagi menjadi gadis desa. Ia kini menjelma menjadi seorang anak SMA.
Ini juga bikin ngakak
Comment on chapter Lost