"Kalau aku kehilangan suara, apakah aku masih tetap diriku?"
Pertanyaan itu bergema di dalam kepala Serana saat ia membuka matanya perlahan, disambut oleh permukaan lantai kayu yang mengkilap dan dingin di bawahnya. Kepala dan tubuhnya terasa berat, seperti baru saja melewati mimpi yang sangat aneh.
Namun, yang membuatnya lebih bingung adalah pemandangan di sekelilingnya. Tirai-tirai hitam legam menjulang tinggi di keliling panggung raksasa yang tampak seperti auditorium megah namun kosong. Udara di sana dingin dan sunyi, hanya diisi oleh dentingan lembut suara piano yang entah datang dari mana. Dentingan itu mengalun pelan, penuh misteri, menyelinap ke dalam relung jiwanya.
Serana duduk perlahan, berusaha mengingat apa yang terjadi. Tadi malam, ia masih gadis SMA biasa, terjebak dalam tumpukan PR Bahasa Korea dan Matematika yang membuatnya hampir gila. Ia ingat memakan tteokbokki pedas di kantin, tertawa bersama teman-teman sebentar, lalu pulang dengan kepala penuh stres.
Tapi pagi ini... semua berubah.
Ia kini berdiri di sebuah dunia yang asing, memegang sebuah mikrofon biru dingin yang berdenyut pelan di tangannya, seakan memiliki nyawa sendiri.
“Ini pasti mimpi... atau aku keracunan makanan,” gumam Serana, suara hatinya bergema tanpa keluar dari mulutnya yang terasa kering dan kelu.
Ketika ia mencoba bicara, mulutnya bergerak, tapi tak ada suara yang keluar. Tenggorokannya bergetar seperti berusaha mengeluarkan sesuatu, tapi hampa. Bahkan batuk pun gagal terdengar.
Panik mulai menyusup perlahan. Apa yang terjadi padaku? Apa aku kehilangan suaraku?
Tiba-tiba, mikrofon biru yang dipegangnya mulai menyala lembut, memancarkan cahaya hangat ke seluruh tubuhnya. Sebuah suara bergema, bukan dari mulutnya, melainkan langsung ke dalam pikirannya.
"Selamat datang, Penyanyi Terpilih. Suaramu telah disegel. Hanya dengan menemukan harmoni sejati, kau bisa bernyanyi kembali."
Serana menelan ludah. "Harmoni sejati? Maksudnya... seperti apa?"
Tepat saat itu, langit di atasnya terbuka seperti tirai, dan dari celah cahaya yang berkilauan itu, tujuh sosok pria berjatuhan, masing-masing mendarat dengan gaya yang sangat berbeda-beda.
Salah satu pria yang paling besar badannya mengeluh, "Ow! Jin hyung, kenapa kamu mendarat tepat di kepalaku?!"
Pria lain dengan senyum nakal menyahut, "Bukan aku! Itu Jimin yang dorong aku duluan!"
Keributan kecil mereka membuat Serana tersenyum samar, meskipun kebingungan dan rasa takut masih menempel di dadanya.
Dia mengamati dengan seksama. Ketujuh pria itu tampak berbeda—ada yang memakai jaket kulit, ada yang mengenakan sweater santai, dan beberapa dengan rambut warna-warna cerah yang tidak biasa. Namun yang paling menarik perhatian Serana adalah pria tinggi dengan rambut biru keperakan yang memungut mikrofon dari lantai.
Serana mencoba bicara lagi, "Si...siapa kamu?" tapi sekali lagi, suaranya tidak keluar.
Pria berambut biru itu menatapnya dengan mata tajam, dalam, dan penuh arti. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata dengan suara tenang dan penuh wibawa,
"Aku Namjoon. Dan kamu... seharusnya tidak berada di sini."
Serana menatapnya penuh tanya. "Di mana ini? Kenapa aku di sini? Aku cuma... aku cuma siswa SMA biasa."
Namjoon menghela napas panjang, matanya menerawang ke arah langit yang kini tampak seperti malam berbintang, meskipun atmosfer panggung tetap terasa aneh dan magis.
"Ethereal. Dunia antara. Tempat di mana suara yang hilang dan yang tersembunyi bisa ditemukan. Namun hanya mereka yang terpilih yang bisa sampai ke sini," jelas Namjoon.
Serana merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. "Apa maksudmu suara yang hilang? Suara ku... bagaimana aku bisa kehilangan suara?"
Seorang pria lain, yang memperkenalkan dirinya sebagai Jin, maju dengan senyum ramah. "Jangan khawatir, kami ada di sini untuk membantumu menemukan suara itu kembali."
Pria yang disebut Jin itu terlihat dewasa, dengan mata penuh ketulusan dan suara yang menenangkan.
Jimin, si kecil ceria dengan rambut pirang, menambahkan dengan nada bercanda, "Kalau aku kehilangan suara, aku pasti sudah mati kedinginan di sini, haha!"
Serana tersenyum tipis, sedikit lega dengan kehadiran mereka, tapi rasa takut masih melekat di hatinya.
"Kalau aku kehilangan suara, apakah aku masih aku?" Serana akhirnya memikirkan pertanyaan itu. Ia ingin mengucapkannya, tapi bibirnya tetap bisu.
Suara lembut kembali bergema di pikirannya, “Pertanyaan itu adalah awal dari perjalananmu.”
Namjoon menatapnya dalam-dalam. "Suara bukan hanya alat untuk berbicara atau bernyanyi. Suara adalah bagian dari jiwamu, dari siapa dirimu. Tapi suara juga bisa disegel, hilang, atau disembunyikan jika hati dan jiwa belum siap.”
Serana memandang mikrofon biru yang kini berdenyut pelan di tangannya. Rasanya aneh, tapi juga menenangkan.
"Jika kamu ingin mendapatkan suaramu kembali, kamu harus menemukan ‘harmoni sejati’. Bukan hanya tentang bernyanyi, tapi menyelaraskan dirimu sendiri—perasaanmu, keinginanmu, dan keberanianmu."
Langit di atas mereka mulai berubah lagi. Tirai hitam menghilang, digantikan oleh pemandangan luar biasa—sebuah langit malam dipenuhi bintang berkelap-kelip, dengan kabut tipis berwarna ungu dan biru yang beriak perlahan.
"Aku tak mengerti," ucap Serana lirih.
Namjoon tersenyum tipis, "Tak perlu mengerti sekarang. Yang penting, kamu percaya pada dirimu sendiri."
Ia mengulurkan tangan ke Serana, memberi semangat tanpa kata-kata.
Serana menghirup napas dalam, berusaha menenangkan hatinya yang berdebar kencang. Dengan perlahan, ia meraih tangan Namjoon dan menggenggamnya.
"Baiklah... aku akan mencoba," bisiknya dalam hati.
Ketujuh pria itu mengelilinginya, siap membimbing Serana melewati perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan, rahasia, dan pengorbanan.
Panggung itu pun berubah menjadi tempat latihan, ruang belajar, dan arena pertarungan batin. Ethereal bukan hanya sekadar dunia antara, tapi juga tempat di mana Serana akan menemukan siapa dirinya sesungguhnya—jika dia mampu menghadapi bayang-bayang masa lalunya dan menaklukkan ketakutannya.
Ketika malam kian larut, dan denting piano mengalun pelan, Serana tahu satu hal pasti: perjalanan menemukan suara dan jati dirinya baru saja dimulai.
Ini juga bikin ngakak
Comment on chapter Lost