“Nenek, itu Mbak Ncis punya pacar!”
Baru saja kaki Siska menapak lantai depan pintu hendak keluar rumah, teriakan adik bungsu Amel yang berumur lima tahun membuatnya membatu di tempat. Siska panik, dia buru-buru menghampiri sepupunya tersebut dengan cepat.
“Ih, bukan pacar tapi teman doang.”
“Bohong!” Bola mata Siska berputar jengah, ini kenapa anak kecil ini sok tahu sekali?
“Tristan—“ Siska berjongkok demi menyamakan tinggi badannya dengan Tristan dan perlahan mulai mengusap-usap kepala anak itu. “Nggak boleh asal nuduh aja, nggak baik, nggak sopan. Tahu, kan, kamu?”
“Dunno.”
“Itu yang di depan gerbang teman Mbak, cuma teman bukan pacar—“ tunjuk Siska pada arah Reza yang masih menunggu di depan gerbang rumahnya. “Tristan juga punya teman cewek, kan?”
“Nabilla?”
“Nah, Nabilla itu pacar atau teman?”
“Teman.”
“Ya sama, Mbak sama teman Mbak yang di sana juga temanan, bukan pacaran. Ngerti?”
Tristan mengangguk-angguk, rupanya dia sedikit paham dengan penjelasan Siska.“ Ngerti.”
“Ya udah bagus, nanti jangan bilang kayak gitu lagi ke nenek ya. Kalau kamu bisa jaga rahasia, nanti Mbak Ncis kasih permen pulangnya.”
“Yeay asiiiiik.”
Siska tersenyum lebar dengan langkah ringannya meninggalkan Tristan. Ia membuka pintu gerbang untuk keluar dan berdiri di sebelah motor besar milik Reza. Laki-laki itu terkejut ketika Siska mencolek lengannya karena asik merokok, dan setelah melihat Senyum manis Siska, Reza membuang rokoknya yang masih panjang ke jalan dan menginjaknya.
“Lo ternyata…. Perokok?”
Reza mengangguk, lagi pula dia ingin jujur sejak awal daripada nanti menyesal. “Lo nggak suka?”
“Gue nggak peduli soal itu kok. Setiap orang berhak memilih jalan hidupnya masing-masing, it’s okay!”
“Kalau lo nggak suka gue bakal belajar berhenti ngerokok.” Reza tersenyum sambil mengulurkan helmnya pada Siska. “Gue akan berusaha, buat lo.”
Kalau ada kamera tersembunyi di sekitarnya, Siska yakin sekali siapapun pasti sudah melihat kedua pipinya yang memerah.
***
“And we start from here, our home.” Raya menyanyikan part akhir dari lagu yang sedang ia dengarkan di rumah pohon.
“AAA RENJUN SUMPAH LO GANTENG BANGET SIH? YA ALLAH JADIKAN DIA JODOH HAMBA, PLEASE…”
“Goblok sekali aing punya kawan.” Nita menendang pantat Raya, padahal gadis itu sama sekali tidak perduli tadi Nita berisik karena main game. Raya juga tidak merasa berisik, mereka punya kesukaan masing-masing, namun ternyata suara Raya mengganggu juga.
“Eh Nit, itu si Siska jadi jalan sama Reza?” tanya Raya.
“Yah goblok! Aduh mati, sialan!” Nita mengumpat pada ponselnya saat karakter yang dimainkannya tertembak lawan.
Dia kemudian mengubah posisi rebahannya menjadi duduk bersila, dua gadis itu pun kini berhadapan di dalam rumah pohon. “Iya jadi kayaknya.” Raya mengangguk sambil ber-oh ria. “Semoga aja Siska bisa tahu dia sukanya sama siapa ya.”
“Kalau Kak Ray sendiri gimana? Lebih suka Reza apa Fazri?”
Raya mencoba berpikir sejenak, kalau dari pandangan Raya sendiri si Reza juga baik. Raya tidak begitu mengenal Fazri. Hanya sekedar tahu saja, mereka juga tidak kenal. Jadi wajar kalau Raya lebih setuju pada Reza daripada cowok itu.
“Reza aja deh, lagian gue nggak tahu si Fazri itu orangnya kayak gimana.”
“Sama siapa aja yang penting gue ntar dapat pajak jadiannya hehe.”
Raya terkekeh sambil menepuk-nepuk bahu Nita. “Hahaha… ya sama.”
***
Sejak pagi Fazri mengirimkan banyak pesan pada Siska, yang membuat gadis itu merasa tidak enak pada Reza. Mana mungkin dia sibuk berbalas kabar dengan Fazri sementara dirinya sedang bersama Reza. Jadi Siska memutuskan untuk mematikan ponselnya, demi menghindari hal-hal yang tidak diharapkan juga. Mendadak hal itu membuatnya menjadi seperti seorang gadis yang tengah berselingkuh.
“Kok HP-nya dimatiin?” tanya Reza yang baru saja kembali setelah mengambil popcorn jumbo dan dua minuman yang mereka pesan.
“Biar gak ganggu aja, hehe…”
“Oh… ini minumnya.” Siska mengambil satu minuman dari tangan Reza dan membantu laki-laki itu duduk di sebelahnya karena kesulitan membawa popcorn dan minuman.
“Mau masuk sekarang aja, apa nanti?”
“Filmnya mulai jam berapa emang?”
“Lima menit lagi sih.”
Siska mengangguk. “Ya udah, yuk masuk sekarang aja.”
“Baru duduk padahal.”
“Haha sorry sorry.”
“Enggak apa-apa, yuk.”
Mereka masuk ke dalam teater dan langsung duduk di kursi yang sesuai dengan angka yang ada di tiket. Film yang mereka tonton kala itu film horror, karena mereka sama-sama suka menonton hal-hal yang mistis. Sebelum film dimulai, Siska sudah sibuk memakan popcorn dan asik menonton iklan yang tengah ditampilkan.
“Siska.”
Cekrek. Siska yang baru saja menoleh dibuat terkejut saat mendengar suara kamera dari ponsel yang Reza arahkan padanya. “Ngapain fotoin gue nggak bilang-bilang?”
“Hahaha… nggak apa-apa, lo lucu.”
“Lucu dari mana, gue yakin muka gue udah komuk banget, njir.”
“It’s ok, cantik kok.”
“Syukur deh.” Siska buru-buru memalingkan wajahnya, sebelum Reza melihat wajahnya memerah malu seperti kepiting rebus. Diam-diam Siska dan Reza tersenyum bersamaan, meskipun tanpa keduanya tahu satu sama lain.
Film yang diputar berhasil menantang adrenalin Siska hingga gadis itu sesekali menyembunyikan kepalanya di bahu Reza, itu terjadi tanpa sengaja. Setelah sadar dengan sikapnya yang terlihat seperti mencari perhatian Reza, Siska kembali menegakkan kepala setelah mengatakan maaf. Namun, adegan itu berulang sampai beberapa kali hingga film pun berakhir.
“Katanya nggak takut hantu, tapi kok ngumpet di ketek gue sih, siapa tuh orangnya?” ledek Reza, ia terus saja menyindir Siska sejak mereka keluar dari dalam teater.
“Ih, ya siapa suruh setannya muncul pakai ngagetin segala. Sorry ya gue tuh nggak takut, cuma kaget doang.”
“Sis.” Siska tidak ingin melihat wajah Reza untuk beberapa menit ke depan, karena ia sangat malu sekali. Ini pertama kalinya dia memperlihatkan sisi lemahnya di depan orang yang baru dia kenal. Meskipun Reza sudah lumayan dekat dengannya, tetap saja entah kenapa itu memalukan bagi Siska.
“Sis, tungguin kenapa sih?” Kini Reza berhasil menghentikan langkah Siska yang sudah sampai di depan eskalator. Reza membawa Siska menepi untuk menghindari orang-orang yang akan menaiki eskalator.
“Za, please… jangan ledekin gue terus. Gue malu benget sama lo, njir.” Reza terkekeh selama beberapa detik, dan itu membuat Siska semakin bertambah kesal. “Nggak usah malu, di mananya yang malu-maluin sih?”
“Ngumpet di bahu lo, inget Za, bukan ketek.”
“Iya iya, Siska.”
“Ya udah.” Pandangan Siska jatuh pada lengannya yang masih digenggam oleh Reza. Pantas sejak tadi dia merasa tidak biasa, ternyata tautan tangan mereka masih belum putus. “Za, ini kita gandengan terus emangnya mau nyebrang ya?”
“Oh iya, sorry sorry. Tadi soalnya gue, kan, mau nyetop lu yang ngeloyor aja sendirian kayak anak hilang.”
“Tahu ah, udah jangan dibahas lagi.”
“Makan yuk, lo laper, kan, pasti?”
“Ya jelas, bayangin aja berapa kali gue teriak di dalem tadi. Energi gue habis sumpah, Za.” Reza tertawa saja mendengar Siska menggerutu. Gadis itu terlihat semakin manis saat sedang emosi seperti itu. “Yuk ke lantai satu, gue mau geprek, traktir ya, Za?”
“Iya, yuk,” ajak Reza setelah mengusak puncak kepala Siska.
***
Setelah menghabiskan makan siang, mereka tidak langsung pulang ke rumah. Reza meminta Siska menemaninya membeli hadiah untuk adiknya. Merekapun masuk ke area mainan anak-anak dengan Siska yang setia mengekori langkah Reza.
“Menurut lo gue mesti beli hadiah apa ya, Sis?” Reza bertanya saat mereka berdiri di depan rak berisi bola mainan, dari yang kecil sampai yang besar pun ada di sana.
“Ya adik lo sukanya apa, Za? Masa nanya gue, kan, gue nggak tahu.”
“Makanya kenalan sama adek gue dong.”
“Ya, nanti kenalan.”
“Asik main ke rumah, kapan Sis?”
Siska meraih bola sedang di rak sebelahnya kemudian menoyor kepala Reza dengan benda itu. “Beli bola aja hayu.”
“Sis.” Reza membawa bolanya dan mengejar langkah Siska yang sudah berpindah ke rak yang lain. Banyak boneka-boneka tersusun di sana. Siska berhenti berjalan dan melihat satu boneka anggur yang berukuran sedang.
“Kayaknya gue beli bola ini aja deh, adek gue lumayan suka main bola juga sih.”
Siska menoleh pada Reza. “Ya udah, yuk ke kasir.”
Tanpa Siska sadari, Reza meraih boneka berbentuk buah anggur itu dalam pelukannya bersama dengan bola pilihan gadis itu. Saat itu Siska melangkah lebih dulu jauh di depan Reza, ia tidak tahu bahwa selama Reza berjalan, senyumannya tidak pernah luntur meskipun melihat punggung gadis di depannya.
Bagi Reza, perasaan yang timbul saat ia bersama Siska lebih spesial daripada saat ia bersama mantan kekasihnya yang dulu, yang kata Siska berkhianat. Perasaan nyaman ketika bersama Siska itu lain, Reza tidak tahu pasti seperti apa. Namun, bersama Siska apapun terasa sangat menyenangkan.
Siska menoleh ke belakang saat menyadari langkahnya meninggalkan Reza. “Lama banget sih lo, buru—lo beli boneka?”
“Tadi ada yang lihatin boneka ini sampai serius banget, gue mau beliin, kasihan.”
“Gu-gue?”
Reza tidak menjawabnya secara langsung, laki-laki itu hanya mengedikkan bahu sebelum menghadap sang kasir dan menyerahkan dua benda yang akan ia beli di atas meja kasir. “Ini aja, Mas?”
“Iya, Mbak.” Mbak-Mbak kasir itu mengemas barang yang dibeli Reza, kemudian mengulurkannya dengan senyuman. “Ini Mas, totalnya jadi 640 ribu rupiah.”
“Iya, Mbak in—“ Siska dengan cepat mencekal lengan Reza sebelum cowok itu menyerahkan sebuah kartu. Siska tahu cowok itu orang kaya, tetapi untuk membelikan dia sesuatu yang semahal itu—tidak mungkin.
“Za, gue nggak minta dibeliin apapun. Tadi gue lihatin boneka itu ya karena boneka itu lucu aja, bukan ngekode kok. Balikan nggak?”
“Gue yang pengin beliin lo, ikhlas Sis," ujar Reza lembut sambil berusaha melepaskan cekalan tangan Siska di pergelangan lengan kanannya, namun sesulit itu karena Siska dengan kuat menahan cekalannya.
Siska itu gadis yang keras kepala, dia tetap mempertahankan pendiriannya tanpa bujukan apapun. “Za balikin, gue nggak akan terima.”
“Ikhlas Sis, anggap aja gue lagi sedekah.”
“Gue tetap nggak akan terima sedekah lo.”
“Dosa!”
“Nggak apa-apa, gue mati juga ntar jalur neraka dulu kok masuknya, balikin!”
“Sis, cuma bonek—“
“Balikin sekarang atau gue musuhin lo?!”
Reza menghela napas kemudian, “Iya, oke oke.”
“Hmm.. ini jadi gimana ya, Mas?” tanya Mbak kasir pelan. Jujur saja, mendadak Mbak-Mbak kasir itu jadi takut melihat kedua pelanggannya bertengkar.
“Sorry Mbak, kayaknya yang boneka nggak jadi,” ringis Reza.
“Za, gue tunggu di luar ya.” Siska menepuk pelan bahu Reza dan izin keluar dari toko terlebih dahulu. Setelah tadi berdebat, mendadak ia menjadi kegerahan.
“Ini Mbak uangnya," kata Reza sembari mengulurkan uang pecahan senilai seratus ribu rupiah.
“Sabar ya, Mas. Cewek emang nggak semuanya suka dibeliin sesuatu yang mahal, takut dibilang matre," ujar Mbak kasir tiba-tiba. Reza membalasnya dengan anggukan kecil. “Pacarnya cantik Mas, cocok sama Mas-nya.”
Pacar?
“Ini belanjaannya, dan ini kembaliannya. Terima kasih sudah berbelanja di toko kami.” Mbak kasir mengulurkan kantung kresek dan uang kembalian pada Reza.
“Makasih, Mbak.” Reza berlalu meninggalkan meja kasir. Tetapi begitu kata-kata Mbak kasir tadi terulang kembali dalam otaknya, Reza membalikkan badan dan melompat dengan cepat di depan kasir itu.
“Ya Allah ya gusti!”
“Eh, sorry Mbak sorry.”
Mbak kasir itu menarik napas dengan cepat, meskipun dia sudah bersiap akan meledak kalau saja yang membuatnya terkejut tadi bukan pelanggan di toko itu. Auto dipecat dia kalau sampai ketahuan membentak dan memarahi pengunjung.
“Ada apa ya, Mas?”
Reza menggaruki tengkuknya dengan senyum yang terlihat canggung. “Hmm… kata Mbak tadi cewek nggak semuanya suka dibeliin barang mahal, selain itu biasanya cewek suka apa lagi ya Mbak?”
“Beliin es kelapa muda sama rujak Mas.”
“Oh, oke makasih ya Mbak.” Reza langsung melompat dari hadapan Mbak kasir dan berlalu keluar toko.
“Owalah percaya aja, dasar amatir haha.”
***
Mata Siska berkedip-kedip lucu sejak Reza mengajaknya mampir ke penjual es kelapa muda. Katanya itu bentuk traktiran lain, pengganti sedekah boneka anggur yang mahal tadi. Walaupun Siska tidak mengerti kenapa harus dengan es kelapa muda?
“Lo suka?”
“Apanya?”
“Es kelapanya atuh, atau lo maunya suka gue?”
“Iya suka kok, suka!" jawab Siska sambil memasukkan sedotan ke dalam mulutnya.
“Kalau guenya? Suka juga nggak?”
“Uhuk—“ Siska mengeluarkan air kelapa muda yang akan ia telan di depan wajah Reza. Begitu membuka kedua matanya, dan sadar dengan perbuatannya itu Siska buru-buru mengusap wajah Reza dengan kedua telapak tangannya. “Sorry Za, sorry banget. Nggak sengaja sumpah.”
“Iya, nggak apa-apa kok.”
“Demi Allah Za, gue benar-benar nggak sengaja.”
“Sis—“ Reza menghentikan pergerakan tangan Siska dengan menurunkan lengan gadis itu. “Gue tahu, nggak apa-apa kok.”
“Duh, lagian pertanyaan lo apaan banget sih, lo mau ngerjain gue ya? Sengaja gitu biar gue keselek?” Reza menggeleng, ia melepaskan lengan Siska dan berganti menggenggam telapak tangannya. Gadis itu mematung dengan perlakuan Reza yang mendadak melakukan skinship dengan tangannya. “Kata-kata gue nggak bercandaan kok, gue jujur. Sis, gue suka sama lo. Boleh nggak gue berusaha menangin hati lo?”
Siska menoleh ke kanan dan kirinya, untungnya penjual es kelapa tidak mendengar percakapan mereka karena Reza dan Siska duduk di kursi panjang yang agak jauh dari kedai jualan. “Za, gue… gue nggak tahu. Ada orang lain yang—“
“I know, Fazri, kan?—teman sekolah lo?”
Kedua mata Siska melebar sempurna detik itu juga. “Lo tahu dari mana?”
“Teman-teman lo—Teh Raya, Rena, Nita, Amel.”
Siska menggerutu dalam hati dan bersiap untuk menyusun rencana akan memarahi mereka semua. Namun, Reza membuat rencana itu menguap ketika mengusap lembut punggung tangan Siska yang masih ia genggam. “Jangan marahin mereka, gue yang minta kok. Gue tahu, Fazri udah lebih dari teman buat lo. Lo udah kenal dia lama, jauh sebelum lo kenal gue. Mungkin lo sama dia udah jalin komitmen atau bahkan hampir pacaran, tapi gue tahu kalau status kalian masih belum jelas. Jadi, gue boleh, kan, ikut bersaing buat menangin hati lo?”
“Gue nggak tahu, Za. Gue bahkan nggak tahu hubungan gue sama Fazri itu kayak gimana.”
“Nggak apa-apa, gue malah senang. Setidaknya lo masih belum mihak siapapun, baik Fazri maupun gue. Jadi, gue akan tetap berusaha menangin hati lo dan menunggu sampai lo bisa suka sama gue juga.”
“Terserah lo, tapi Za… kalau lo emang udah nggak kuat nunggu lagi, udahan aja. Lo cowok baik, pasti dapat yang lebih baik.” Reza tersenyum dan lantas mengusap-usap sisi kepala Siska. “Gue butuhnya lo, dan menurut gue lo itu udah yang terbaik buat gue.”
“Kenapa?”
“Karena lo yang udah berhasil buat gue move on dari Dela.”
Malam itu, di bawah sinar rembulan dan dua buah es kelapa muda sebagai saksinya bahwa Siska sudah benar-benar jatuh pada cowok itu. Reza berhasil membuatnya lupa akan Fazri, sekaligus membuka pintu hatinya yang hampir diketuk oleh cowok lain.