Adalah Siska yang sedari sepuluh menit lamanya sibuk menghitung pembeli yang datang ke cafe Bintang. Jauh dalam hatinya siapapun dapat menebak dengan tepat bahwa gadis itu sedikit gugup akan bertemu dengan Reza. Bayangkan saja, yang setiap hari berbalas pesan lewat sosial media, tidak jarang saling curhat apapun, tiba-tiba tiada angin tiada hujan cowok itu mengajak Siska bertemu.
“Seratus dua, seratus tiga…”
Raya menekan tombol enter di laptop yang sejak tadi ia gunakan untuk mengetik dan fokus memperhatikan Siska. Gadis tujuh belas tahun itu memainkan gelas jusnya dengan pandangan yang tertoleh ke arah pintu.
“Seratus empat, seratus lima…”
“Coba lo jumlahkan juga sama jumlah pesanan mereka, wah… kira-kira pemasukan Peby tiap hari berapa ya?” sahut Raya.
“Kita buka cafe juga yok, Kak”
Raya mengangguk dengan semangat. “Pakai tema-tema ala K-Pop gitu, ngadain give away, live musik. Gue yakin banget cafe kita laku keras.”
Jentikan jari Siska menjadi pertanda adanya salah satu pelanggan yang masuk ke cafe juga karena lonceng kecil di atas pintu terdengar.
“Itu tuh yang paling disukai anak-anak milenial zaman sekarang Kak, haha.”
Siska kembali meneguk jus miliknya sehingga tidak menyadari ada seseorang yang datang menghampiri meja mereka.
“Yo whats up, njing!”
Ternyata bukan seorang saja, Nita kemudian datang dan duduk di sebelah Raya.
“Sis, itu Reza udah datang.” Raya sengaja menendang sepatu Siska dari bawah meja untuk menyadarkan gadis itu dari keterdiamannya.
“MAS PEBY, GUE MINTA COKELAT PANAS SATU.”
“NGGAK SOPAN BANGET KAMU, SINI BIKIN SENDIRI!”
Sumpah, Raya sudah siaga satu menutup kedua telinga saat Nita berteriak tadi. Selanjutnya gadis itu tersenyum kikuk pada sekelilingnya dan meminta maaf karena sudah mengganggu kenyamanan mereka sebelum berjalan menghampiri kakaknya.
“Hai, Sis.” Reza menarik kursi di sebelah Raya dan Siska yang berhadapan langsung dengan kursi yang Nita duduki. Cowok itu duduk dengan senyum cerahnya yang sejak melihat Siska tadi tidak pernah luntur sedikit pun.
“Hai,” balas Siska.
“Oh ya, ini pasti Teh Raya, ya?” telunjuk Reza dengan sangat mendadak menunjuk ke arah Raya yang saat itu baru saja akan meneguk latte.
“Hai, Reza. Gue Raya, panggil nama aja juga boleh kok.”
“Biar lebih sopan aja sama yang lebih tua.”
“Sialan.” Raya terkekeh, mau marah tapi omongan Reza benar juga. Kata Siska cowok itu seumuran dengannya, jadi sama-sama masih tujuh belas tahun.
“Oh iya, ini naskah buat web series kita udah jadi. Jadi, nanti kita bagi jadi dua episode kayaknya. Sok atuh dibaca dulu aja, Za.” Siska memindahkan naskah yang terletak di sisi kirinya pada Reza.
Laki-laki itu mengangguk kecil kemudian mengambil kertasnya dari tangan Siska. Selama Reza sibuk membaca, Nita datang membawa satu gelas cokelat panas dan duduk menempati tempatnya.
“Lucu juga naskahnya, ini yang dapat peran Raja sama Melodi siapa?”
Raya menegakkan tubuh. “Terserah sih, tapi kalau dari kita-kita baru mutusin peran Melodi aja yang bakal diperanin Siska.”
“Rosul aja deh yang jadi Raja, dia lebih good looking dari gue.”
Siska tersenyum. “Apaan sih lo, merendah buat meroket?”
“Oh jadi gue lebih good looking dari Rosul nih?”
“Gak gitu, ya…. Sama ajalah kayaknya.”
“Muji jangan setengah-setengah, ntar pahala lo juga setengah-setengah dapatnya.”
Raya dan Nita saling berpandangan saat kedua orang itu malah asik bercengkerama sendiri. Bahkan kini Raya sudah memangku laptop dan berdiri dari tempat duduk bersamaan dengan Nita.
“Pindah hayu Nit, sebelum jadi nyamuk,” ujar yang lebih tua pelan.
“Hayu, Kak”
Reza dan Siska kemudian fokus kembali pada Raya dan Nita.
“Sorry sorry hehe… hayu lanjutin lagi.”
Raya dan Nita tidak jadi berpindah tempat dan memilih duduk kembali. Setelahnya mereka serius membahas pembagian peran dalam naskah yang Raya buat. Siska akan menjadi Melodi, Rosul menjadi Raja, Nita menjadi Clara, Reza menjadi Kevin—mereka akan terlibat cinta segiempat. Sementara Raya akan menjadi Mbak Google, Amel dan Rena akan merangkap sebagai sahabat Melodi dan Clara. Sisanya Reza bilang dia akan membawa beberapa dari temannya yang akan ikut meramaikan drama singkat itu.
***
Sepulangnya dari cafe Bintang, Siska merebahkan diri di tempat tidurnya sambil sibuk berbalas pesan dengan Fazri. Cowok yang ia kenal saat pertama kali masuk SMA itu merupakan cowok humoris, Siska nyaman mengobrol panjang lebar dengannya. Tetapi, Fazri sering melontarkan kata-kata yang sering membuat Siska sedikit sesak napas. Mengirim kata-kata bahwa dia suka pada Siska dan semacamnya, meskipun hanya gadis itu tanggapi sebagai lelucon. Namun akhir-akhir ini, Siska menjadi bimbang tanpa alasan.
Fazri Afrizal
Gue rasa gue suka sama lo.
15.27
Siska
Lo waras, Zri?
15.27
Fazri Afrizal
Kalo gue gila, gue nggak bisa ngetik Sis.
15.28
Siska
Oh ya bener juga.
15.28
Fazri Afrizal
Gimana kaosnya?
Lo suka nggak?
15.28
Siska
Sukaaaa.
Thanks ya.
15.29
Fazri Afrizal
Syukur deh.
Sis, besok jalan yuk?
15.29
Siska
Sorry gue ada syuting wkwkw.
15.29
Fazri Afrizal
Emang artis lo?
15.29
Siska
Buat konten YouTube.
15.29
Fazri Afrizal
Oh…
Ya udah, kapan-kapan aja deh.
15.30
Siska
Sorry ya, Zri.
15.30
Fazri Afrizal
It’s ok babe.
15.31
“Huwek… eneg gue liat isi chat lo!”
Siska segera mengubah posisi begitu mendengar suara Amel yang seenaknya masuk kamar dia tanpa permisi, tetapi mau bagaimanapun juga sepupunya itu memang sudah biasa seperti itu. Bahkan yang lebih parahnya lagi, gadis itu sering memotret Siska yang tengah tertidur dan mengirimkannya pada Fazri. Jadi tidak akan Siska masukan ke hati sikap Amel yang seperti itu.
“Lo mau numpang pakai skincare gue, kan, lo? Ngaku aja lo!”
“Ih ya udah kalau udah tahu.” Amel meraih botol scrub di atas meja rias Siska sembari duduk di depan gadis itu.
“Eh, Mel—“
“Ape?”
“Mau curhat nih gue.”
“Ya tinggal curhat aja buru,” kata Amel, sementara dia sendiri sibuk melumuri wajahnya dengan scrub milik Siska.
“Tapi lo jomblo.”
Bugh!
“Aw!” Siska meringis saat sebuah bantal yang Amel lempar mengenai kepalanya.
“Kalau nggak niat curhat mending diam, gue nih mau pake skincare dulu biar besok pas syuting muka gue glowing.”
Saat itu Amel sadar kalau Siska sudah memasang wajah jijik padanya. “Iya nih gue cerita nih—“ Siska mengambil bantal yang tadi menimpuk wajahnya dan dia pangku di atas kakinya yang bersila.
“Menurut lo kalau lo jadi gue, mending pilih Fazri apa Reza?”
“Kenapa harus pilih satu kalau bisa dua?”
“Wah parah lo, otak fuckgirl lo bisa disimpan dulu nggak sih, njing?!”
“Hahaha… sorry sorry canda,” kekeh Amel. Dia mendadak fokus menatap Siska dengan senyum penuh artinya. “Lo nggak akan milih Fazri kalau tiba-tiba bimbang gini. Lo sama dia udah kenal lama, mungkin itu yang bikin lo nyaman sama dia. Jadi menurut gue sih lo jalani dulu aja sama Reza, lo kenal dekat sama dia sampai lo tahu hati lo ntar milih siapa.”
“Iya juga ya.”
“Ya udah nggak usah dibikin pusing. Kasihan lo masih muda udah keriputan ntar.”
Iya juga, amit-amit deh…
***
“Mbak Google bantuin gue dong.”
“Siap bosku, ada yang bisa saya bantu?”
“Gue mau kirim apa—aduh sorry sorry lidah gue belibet.”
Raya dan Rosul kembali mengulang adegan yang mereka ambil di depan villa kosong milik Reza di sekitar cafe Bintang. Sementara Siska yang disuruh menghafal dialog malah asik memperhatikan Reza yang sibuk mengatur kamera.
Siska melirik ponselnya yang bergetar dan membaca nama Fazri di sana, namun ia enggan membalasnya. Tiba-tiba sebuah jawaban melintas begitu saja di otaknya bahwa ia harus memilih Reza, tapi entahlah—
“Sis, bantuin sini bentar.”
Siska berdiri dan lari kecil menghampiri Reza yang siap mengambil vidio untuk adegan Raja dengan Mbak Google. Reza mengeluh haus dan meminta Siska bergantian memegang kamera karena dia ingin mengambil air mineralnya di tas Amel.
“Yo Kak, Bangsul, siap ya?”
“Siaap!" koor Raya dan Rosul.
“Action!”
Hampir saja Raya akan tertawa akibat Siska mengatakan kata itu. Gaya dia sudah mirip seperti sutradara sungguhan saja, padahal ini mereka masih sangat abal-abal.
Beberapa kali mereka mengulang take karena alasan yang bermacam-macam. Selain itu, karena mereka semua mendapat peran masing-masing—ditambah teman-teman Rosul dan Reza yang datang sebanyak lima orang—jadi mereka bergantian merangkap sebagai seorang sutradara. Raya sendiri tidak mengenal kelima cowok yang datang dengan motor besar mereka masing-masing itu, lagi pula kelimanya serempak pulang lebih dulu setelah mengambil vidio. Sedangkan mereka berdelapan—satu tambahan cowok Rena yang ikut berperan—mengakhiri sore itu untuk pergi ke cafe Bintang.
“Lucu banget anjir kita take berkali-kali cuma dapet tiga adegan.” Rena tertawa ngakak sekali, untung saja pacarnya—Restu Angkasa—menjaga punggungnya, kalau tidak Rena pasti sudah terjungkal ke belakang.
“Empat adegan deh, Ren,” kata Amel membenarkan.
“Nggak tahu ah, nggak jelas.”
Raya ikut mengangguk, setuju dengan balasan Rena barusan. “Kecewa nih gue bikin naskah se-iya iya, eh, kalian justru malah pada out dari dialog yang udah dirancang. Tahu gitu, kan, kita nggak perlu pakai naskah segala, njir.”
Nita yang duduk tepat di sebelah Raya mengurut punggung gadis itu dengan lembut. “Uh, sabar Kak, sabar.”
“Lagian dialog punya gue panjang-panjang banget. Nggak hafal lah, sorry aja gue bukan aktor coy!” cerca Rosul.
“Ya maklum dong lo, kan, tokoh utama!” seru Amel.
“Dari semalem juga yang lain udah pada ngingetin lo di grup, Bangsul!” tunjuk Nita emosi.
“Ternyata lo nggak hapalin bener-bener, nge-game, kan, lo?!” tebak Siska. Yang ditanya pun menggaruk tengkuknya sambil cengengesan. Terlihat sangat santai sekali. “Santuy bro, gue hapalin kok beneran. Tapi nggak tahu kenapa pas udah di depan kamera malah hilang semua dialognya.”
“Si Rosul emang begitu, guys. Ya harap dimaklumi aja," kata Reza menengahi.
“Jangan buka kartu kenapa sih, Za?”
Raya menghela napas dan merebahkan punggung ke sandaran sofa. Untung saja spot meja paling besar di cafe ini belum ada yang isi, jadi mereka yang datang rombongan gini bisa dapat meja yang idealis. Menurut Raya meja yang letaknya paling dekat dengan kitchen bar ini sangat nyaman, mungkin memang karena menggunakan sofa kali, ya?
“Ribut aja kalian nih, pada pesen nggak?” Peby, si pemilik cafe datang membawa note kecil di tangannya.
Mereka berdelapan seketika fokus menatap cowok yang seumuran dengan Raya itu. Mereka kemudian menyebut pesanan mereka satu persatu dan Peby menuliskannya pada note. Seusai menyebutkan ulang pesanan, Peby pergi kembali untuk menyiapkannya.
Raya melirik Reza dan Siska yang tengah berbisik-bisik entah membicarakan apa, kemudian dua orang itu berdiri bersamaan.
“Kita di meja sana dulu ya, ada yang mau gue omongin khusus sama Siska," ujar Reza.
“Ya udah sana-sana," usir Rosul menepuk-nepuk pantat Reza yang tadi memang duduk tepat di sebelahnya.
***
Collab Kuy!
Meldong
Welkombek tu mai yutup cenel ges.
Kak Raya istri Baekhyun
Malu anjir ngomong apa sih lo?
Rosul Syahputra
Akibat corona anak makin buta huruf.
Siska Kim
Kirim foto coy.
Nitaaa
@meldong tuh, tadi dia yang mau pindahin ke laptop ceunah.
Meldong
Tahan masih dipilihin.
Reza Dominic
Syuting lagi kapan nih?
Rena
Jangan besok plis, aing mau jalan.
Restu (doi Rena)
Yang…besok aku jemput jam 8 @Rena
Kak Raya istri Baekhyun
Tolong jangan pacaran di sini woy.
Meldong
Tolong jangan pacaran disini woy. (2)
Nitaaa
Tolong jangan pacaran disini woy. (3)
Reza Dominic
Jalan juga yok @Siska
Siska Kim
Yok Jajanin es krim Yang @Reza Dominic
Reza Dominic
Siap yang.. @Siska
Meldong
Aing meninggoy berada di antara para human uwu.
Kak Raya istri Baekhyun
Bodo, diriku mau tidur aja ah.
Siska Kim
Jomblo tidur aja wkwkwk.
VC yok…
Reza Dominic
Skuy @Siska
Siska Kim
Yok…
Rena
Yang ayo kita VC juga @Restu (doi Rena)
Restu (doi Rena)
Ayok yang @Rena
Nitaaa
YANG PACARAN BUBAR BUBAR.
Kala itu Siska mengendap-endap ke arah pintu kamarnya dan menutupnya dengan perlahan. Setelah memastikan bahwa kakek dan neneknya sudah tidur, gadis itu mulai merapikan rambutnya sebelum panggilan vidio dari Reza masuk ke ponsel.
Setelah dua menit berlalu, ponsel Siska berdering. Tanpa pikir panjang lagi Siska segera mengangkat panggilan itu, tetapi dia pikir itu dari Reza, ternyata bukan. Mendadak gadis itu menyesal sudah mengangkat panggilan tersebut. Dia takut Reza menunggunya.
“Iya, hai Zri.”
“Hai, Sis. Lo besok ada syuting lagi?”
“Kenapa emang?”
“Mau ngajak jalan, kita, kan, lagi PDKT nih haha.”
Siska memangku satu bantal di atas pahanya kemudian berdeham sekali untuk menyusun kalimat yang pas untuk Fazri. “Sorry Zri, gue besok ada kumpul bareng temen-temen.”
“Oh… iya nggak apa-apa, kita bisa jalan lain waktu. Karena yang penting komitmen kita jalan, Sis.”
“Maaf ya.”
“It’s okay, oh ya lo—“
“Fazri, sorry udahan dulu ya nelfonnya. Ini Papa gue janji mau nelfon soalnya.”
Terjadi hening beberapa saat, kemudian suara berat Fazri terdengar sangat pelan. “Iya, night, Siska.”
“Iya.” Singkat, padat, namun Siska tidak menyangka itulah yang menyakiti hati Fazri.
Sebenarnya Siska merasa tidak enak pada Fazri, namun ia juga tidak bisa berlama-lama berbicara dengan laki-laki itu dan membatalkan janjinya dengan Reza. Meskipun ia harus bohong dengan menggunakan nama ayahnya, Siska merasa ia memang harus merahasiakan Reza dari Fazri untuk kebaikan mereka bersama.
Ternyata Reza menepati janjinya, laki-laki itu meneleponnya malam itu tepat waktu. Siska sedikit gugup, namun tetap menggeser ikon hijau.
“Siskaaaaa!" teriak Reza. Wajahnya memenuhi layar ponsel Siska, membuat gadis itu terkekeh kecil. Reza sangat lucu.
“Hai… bahagia banget lo, udah nggak galau sama mbak mantan?”
Reza menggelengkan kepalanya dengan kuat. “Udah move on, berkat lo.”
“Syukur deh.”
“Lo nggak ngantuk, kan, gue telfon jam segini?”
“Tenang aja, gue biasa tidur jam dua belas ke atas kok hehe…”
“Bagus deh.”
“Lho? Kok bagus?”
Reza menutup mulutnya sesaat, dia mungkin berdeham. “Bagus, bisa nemenin gue begadang.”
“Lah hahaha.”
“Bagi tips dong Sis.”
“Tips apa?”
“Tips deketin lo, kalau bisa jadi pacar hehe.”
Siska tertawa. “Jajanin aja yang banyak, Za. Soalnya si Siska ini suka jajan sembarangan.”
“Yes lampu hijau!”
“Hahaha.”
Malam itu Siska bahkan lupa membalas pesan Fazri yang masuk di ponselnya karena asik berbincang dengan Reza sampai pukul dua pagi.