Semenjak Siska dekat dengan Reza, gadis itu jadi lebih sering mengabaikan Fazri. Frekuensi mereka chattingan, melakukan panggilan vidio, dan bertemu, kini tidak lagi dilakukan setiap hari. Setiap Fazri menanyakan alasannya, Siska akan menjawab dirinya sibuk melakukan syuting untuk konten YouTube barunya. Memang itu tidak salah, tetapi hal itu berhasil melukai sebagian hati Fazri. Siapa saja pasti tahu dari bagaimana cara laki-laki itu menghela napas pasrah ketika Siska baru saja menolak ajakannya.
"Maaf Ya, Zri. Tuh lihat, gue aja dateng ke sini bareng Kak Raya. Kita udah janjian mau take vidio. Nggak apa-apa, kan?"
Raya semakin tidak enak harus mendengarkan obrolan mereka, padahal sekarang posisinya sudah duduk di halte depan sekolah Siska, di tempat yang paling ujung. Ngomong-ngomong mereka bertemu di depan gerbang sekolah Siska, karena Raya baru saja dari apotik di sebelah sekolah Siska. Lalu dua gadis itu bertemu dan memutuskan pulang bersama.
"Nggak apa-apa, gue juga nggak mau ngehalangin lo sama temen-temen lo buat sukses bareng. Jalan, kan, bisa kapan aja, tapi Sis, gue mau nanya sebenarnya tuh gue ganggu lo nggak sih?"
Siska menggeleng cepat, senyumnya bahkan terbit semakin lebar. "Mana ada ganggu, hubungan kita nggak secanggung itu buat ganggu kesibukan satu sama lain."
"Kita masih bisa jalin komitmen, kan?" tanya Fazri. "I-iya," jawab Siska.
Raya menghela napas agak sulit begitu mendengar hal yang baru saja ia ketahui itu. Maaf, Raya memang nguping, tapi bagaimana tidak dilakukan jika sahabatnya saja tengah menyembunyikan sesuatu. Jujur saja Raya takut, Siska bertindak yang tidak sesuai dengan hatinya.
"Berarti, kalau misalnya gue bilang gue cemburu lo dekat sama temen collab lo, boleh nggak?"
"Zri, kita—"
"Sorry Sis, gue nggak bermaksud ngelarang apapun. Tadi gue cuma—nggak tahu deh, kemarin gue lihat foto-foto lo sama teman-teman lo di Facebook-nya Amel. Sorry."
"Maaf Zri, komitmen kita—"
"Eh, itu teman lo udah nunggu. Gue juga buru-buru udah harus pulang. Duluan ya, selamat bersenang-senang." Fazri memotong kalimat Siska dengan cepat. Seperti ada yang tengah ia hindari.
Laki-laki itu berlari memasuki gedung sekolah, mungkin menuju parkiran untuk mengambil motornya. Kemudian Siska berjalan dengan lesu menghampiri Raya dan ikut duduk di sebelah kiri, sembari menunggu angkot lewat.
Di antara keduanya masih belum ada yang berbicara, padahal Raya gemas ingin menanyakan banyak hal pada Siska. Tetapi rasanya lancang jika Raya menanyakan hubungan Siska dan Fazri. Oleh karena itu, Raya akan diam menunggu gadis itu berbicara sendiri padanya.
"Gue... bingung banget ini, Kak." Akhirnya Siska berbicara setelah dua menit hening.
Raya menoleh. "Maaf gue tadi dengar, lo sama Fazri beneran berkomitmen? I mean, selama ini tahunya lo sama dia cuma teman aja soalnya."
"Iya, sebenarnya nggak seserius itu sih. Lo, kan, tahu gue nggak dibolehin pacaran, jadi Fazri bilang kita bisa pegang komitmen. Ya udah deh gue setuju."
"Sejak kapan? terus Fazri tahu lo dekat sama Reza nggak? Reza gimana?" tanya Raya cerewet karena Siska mendadak seperti menyimpan banyak rahasia dari gadis itu.
"Belum lama, kayaknya baru satu mingguan deh. Kayaknya Fazri tahu, Reza juga tahu. Nggak tahu ah, pusing."
Raya berdecak sembari menepuk-nepuk bahu Siska. "Lo sebenarnya mihak siapa sih? Reza atau Fazri? lo tahu, kan, Sis, lo nggak bisa terus-terusan ngegantungin keduanya. Selain nyakitin mereka, lo juga nyakitin hati lo sendiri."
Siska mengangguk. Tatapan matanya terlihat sangat sendu, dia seperti orang yang benar-benar tengah dilema. "Gue nggak tahu. Sebelum ada Reza, gue nggak pernah sedilema ini."
"Itu berarti pilihan lo lebih berat ke Reza, sih. Lagian kalau lo emang nggak ada rasa sama Reza, hubungan lo sama Fazri nggak mungkin terganggu sama masalah ini."
"Lo benar Kak, tapi gue nggak tahu. Gue nggak bisa lepasin Fazri, rasanya berat."
Raya berdiri ketika melihat ada angkot yang akan melewati mereka bertepatan dengan kalimat Siska tadi. Dan di antara keduanya tidak sadar bahwa waktu itu Fazri mendengar pembicaraan mereka di halte.
"Lo ngerasa bersalah kalau harus ngelepasin Fazri ya?"
"Dahlah, hayu pulang." Siska kemudian berdiri dan lebih dulu masuk ke dalam angkot.
***
"Heh, Melodi! lo tuh benar-benar ya. Makan temen banget, tahu nggak sih lo?"
Siska menarik napasnya terlebih dahulu karena dibuat terkejut ketika Nita datang dari arah depan dan mengempaskan tautan tangannya dengan Rosul.
"Maksud lo apa, Ra?"
"Nanya lo? gue kali yang harusnya nanya, lo ngapain mesra-mesraan sama Raja? lo nggak tahu kalau Raja sama gue lagi dekat?!" Nita melirik boneka beruang kecil yang dipeluk Siska. Perasaannya sakit dan hancur dalam beberapa menit.
Tapi dia tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, baginya yang salah adalah Siska.
"Ini maksudnya apa ya, Ja?" Siska menoleh pada Rosul.
"Gue bisa jelasin, Mel," kata Rosul sembari menggamit kembali telapak tangan Siska.
"Ih Raja, lepasin Melodi."
"Nggak, nggak mau."
"Raja, lepasin gue!" pekik Siska.
Siska, Nita, dan Rosul sedang berperan untuk web series mereka. Sedangkan Reza bersama Amel menjadi bagian pengatur kamera. Sesekali mereka tertawa dan mengulang adegan, juga Siska beberapa kali disemangati oleh Reza.
Suasana siang ini lumayan terik, matahari bersinar dengan semangat. Sama halnya dengan semangat mereka yang rela menghabiskan waktu di luar hanya untuk membuat film. Sejatinya bukan untuk meraup popularitas, mereka hanya senang menemukan banyak teman baru dan pengalaman baru.
"Kenapa Teh sendiri aja? mau boker ya lo?"
"Apaan sih lo?" elak Raya sambil melirik sekilas siapa yang duduk di sebelahnya, ternyata Reza. Kemudian pandangan gadis itu kembali mengarah ke depan dan melihat bagaimana Siska, Nita, dan Rosul tertawa bersamaan.
"Boleh tanya sesuatu, Teh?"
"Tanya aja, masih gratis, Za. Nggak tahu tuh kalau besok."
"Dih." Reza terkekeh, tangan sebelah kanannya meraih botol minuman rasa buah yang dia beli dan membuka penutup botolnya sebelum diserahkan pada Raya. "Thanks," kata yang lebih tua.
"Gue suka sama Siska."
Raya tidak terkejut mendengar pengakuan Reza, ya siapapun pasti sudah paham ke mana arah pembicaraan ini nantinya. "Tahu kok."
"Menurut lo, gue harus gimana?" Raya tertawa setelah mendengar suara Reza.
"Apaan sih lo, ya tembak aja."
"Udah, gue bilang kalau gue mau berusaha buat menangin hati dia. Tapi, menurut lo, gue sama Fazri levelnya tinggian siapa, Teh?"
Raya meneguk botol minuman rasa buah sedikit kemudian menatap mata Reza sembari menutup minuman itu. "Menurut gue sih lo udah lebih tinggi dari si Fazri."
"Oh ya? kenapa tuh?"
"Soalnya, sebelum Siska kenal dan dekat sama lo, hubungan dia sama Fazri baik-baik aja tuh. Sekarang malah jadinya tuh anak dilema banget, gue udah ngira sih kalau Siska tuh sukanya sama lo."
"Semalem gue curhat juga sama Amel, kata dia Siska nggak dibolehin pacaran? benar nggak sih, Teh?"
Raya mengangguk, tapi dua detik setelahnya menggeleng. "Tapi dia bisa kok rahasiain ini dari keluarganya, itu juga kalau lo setuju. Za, orangtua Siska itu protect banget sama masalah anaknya. Apalagi mereka nggak tinggal bareng, ya maklumin aja."
"Iya sih, makasih Teh masukannya. Gue jadi tambah semangat buat menangin Siska."
Raya menepuk-nepuk pundaknya yang tengah tersenyum lebar. "Semangat, Za."
"REZA BANTUIN GUE." Teriakan Amel membuat Reza segera berdiri dan berlari menghampiri mereka yang kembali bermain peran.
"WOY RENYOT MASUK LO, PACARAN MULU, HERAN."
Setelah mendengar teriakan dari Nita, Raya menoleh ke arah pandang gadis itu dan hanya bisa menggelengkan kepala ketika melihat Rena dan Restu memang asik mengobrol di bangku taman yang agak jauh darinya.
Raya kembali duduk sendirian dan memilih menyalakan ponsel. mengambil selfie dan menjadikannya story di akun instagram. Beberapa menit setelah gadis itu mengirimnya, ada satu direct message yang masuk.
"What?!" Mata Raya membola ketika melihat siapa pengirimnya.
"Kenapa Kak?" Raya mendongak begitu Rena bertanya. Dia tadi sedang berjalan hendak menghampiri Siska dan yang lain, namun memilih menghampiri Raya lebih dulu saat mendengar teriakan gadis itu yang tiba-tiba. "Dia... dia reply story gue."
"Ish... kirain apaan!" cibir Restu. Seketika Raya pun langsung memicingkan mata padanya. "Senang banget lo, Kak?"
Tidak butuh pikir panjang, Raya langsung mengangguk. Sudah tidak perduli lagi bagaimana Restu dan Rena menilainya, yang jelas Raya sangat bahagia mendapat satu baris pesan dari laki-laki itu.
Rama_
Hai Ray, apa kabar?
14.17
Siapapun tolong, Raya ingin menjerit saat ini juga. Tapi masih sadar lingkungan, takut diteror orang-orang.
***
Setelah lelah mengambil banyak adegan kini mereka memilih mengistirahatkan sejenak tubuh mereka di ruang tengah rumah Reza. Jam sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB dan suasana sudah terlihat mulai gelap.
"Kak, gue mau bawa Siska jajan-jajan di pasar malam."
Raya melirik acuh pada Reza. "Sekarang?"
"Iya. Ntar ada temen gue yang mau nganterin lo pulang, biar Nita sama Rosul."
"Ya udah deh. Tapi—" Raya memutar tubuh dan menatap Siska yang sudah tersenyum lebar ke arah gadis itu kemudian melemparnya dengan botol bekas air mineral. "—Heh, dugong! lo udah izin sama nenek lo, kan?"
Siska berdecak lalu mengangguk. "Kan alasannya pergi sama Amel, hehe."
Jadi begini, tadi setelah mengambil beberapa adegan, Amel izin pergi lebih dulu. Ada urusan dengan teman-teman sekolahnya, dia juga bilang akan pulang agak telat.
"Ya sudah, terserah lo." Yang terpenting buat Raya sekarang adalah Siska bahagia dan dia bisa pulang dengan selamat tanpa ongkos.
Selang beberapa menit berlalu, tiba-tiba suara ketukan pintu membagi fokus mereka yang semula asik menonton hasil editan yang dilakukan Rosul. Seorang laki-laki yang sama tingginya dengan Rosul berjalan menghampiri mereka.
"Hai...," sapa laki-laki itu dengan melambaikan tangannya.
"Eh, Lan." Reza bangkit berdiri dan mengalungkan lengannya di lekukan leher cowok yang dia panggil tadi. "Lo mau, kan, antarin temen gue, kasihan kalau harus pulang naik ojol." Laki-laki itu mengangguk pelan. "Iya, santai aja."
"Ya udah, jadi Rosul sama Alan ini yang bakal anterin Teh Raya sama Nita. Bagi aja enaknya gimana, gue soalnya mau jalan sama Siska."
Raya dan Nita saling pandang sesaat. Lalu dia bertanya Raya mau dibonceng sama siapa, dan gadis itu hanya mengedikkan bahu. Sama siapapun bukan masalah, tujuan awal Raya tetap pulang gratis.
"Bye, semuanya..."
"Sampai ketemu di syuting episode terakhir!"
Siska dan Reza berteriak setelah mereka pamitan meninggalkan teman-temannya di depan halaman rumahnya. Anyway, rumah Reza sepi. Kata cowok itu orangtuanya sedang dinas di luar kota, jadi rumahnya kosong untuk beberapa hari ke depan, hanya ada asisten rumah tangga dan penjaga gerbang.
Raya dan Nita berpamitan pada kedua orang yang mengurus rumah Reza sebelum menghampiri Rosul dan laki-laki yang baru mereka lihat itu di depan gerbang.
"Nit, lo mau sama siapa?" tanya Raya.
Nita mengedikkan bahunya. "Terserah."
"Lo sama Rosul aja deh." Raya mengerling sesaat pada Nita bermaksud menggodanya. Raya itu termasuk tim Nita dan Rosul, jadi ini kesempatan emas agar dua manusia itu semakin dekat.
"Ya udah," balas Nita.
Raya menaiki motor laki-laki baru itu tanpa mengatakan apapun. Dia juga tidak mengatakan apa-apa, bahkan sampai motor Rosul menghilang lebih dulu. Kemudian tanpa diduga, dia menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi.
"Anjir, ngebut banget," umpat Raya pelan.
Tapi kalau sampai dia mendengarnya pun Raya sudah tidak peduli.
Kedua tangan gadis itu berpegangan pada pembatas jok di belakangnya. Sesekali Raya melirik ke belakang karena kini keduanya berhasil mendahului Rosul yang menjalankan motornya dengan pelan. Benar-benar menyebalkan, sepertinya laki-laki baru ini ingin membuat Raya jatuh.
"Rosul lambat banget sih," celetuknya tiba-tiba.
"Ya gimana ya, situ yang ngebut," gumam gadis itu. Namun, sepertinya dia mendengar itu. Hingga beberapa detik setelahnya ia memelankan laju motornya.
"Lo teman Reza? kenal di mana?" tanyanya.
"Gue kenal dari Siska, awalnya Siska duluan yang kenal." Raya ada di posisi orang yang harus menjawab pertanyaan, demi menjaga rasa terima kasih.
"Oh... eh, gimana? syutingnya lancar?"
"Lancar," singkatnya.
"Gue juga diajakin sebenarnya sama Reza-Rosul. Tapi gue kemarin masih di Jogja, jadi nggak bisa ikut gabung. Ini aja baru pulang, ya lumayan bantu-bantu nenek gue selagi sekolah masih belum buka juga."
"Oh iya hehe." Sumpah padahal Raya tidak bertanya apapun. Tapi, kalau sampai Raya tidak jawab itu akan melukainya. Jadi sebisa mungkin Raya jawab saja seadanya.
"Kalau gue ikut gabung, boleh, kan?"
"Boleh, gabung aja."
"Oke."
Jarak rumah Raya dari perumahan tempat tinggal Reza tidak terlalu jauh, kurang lebih hanya butuh waktu sepuluh menit saja. Gadis itu segera turun dari motor laki-laki itu dan menatapnya yang sudah berbaik hati mengantar sampai rumah. "Makasih banyak ya, udah repot-repot nganterin."
"Sama-sama. Hmm... kenalin, gue Alan—" laki-laki itu mengulurkan lengan di depan Raya yang mendadak ingin tertawa mendengar namanya yang unik itu.
"Nggak mau kenalan?"
"Iya boleh kok." Kemudian Raya membalas jabat tangannya dengan sisa tawa yang masih ditahan. "Gue Raya."
"Gue pulang dulu ya, ntar kalau gue ikut main-main sama kalian pas syuting boleh?"
"Boleh, lo, kan, teman Reza, ya berarti teman kita juga."
Saat itu Raya melihat wajah laki-laki itu terlihat berbinar. Dia menyalakan kembali mesin motornya dan mengangkat telapak tangan. "Bye..."
Raya masih berdiri di depan rumah hingga motor besar milik laki-laki bernama Alan itu menghilang di balik gang.
"Siapa itu, Neng?" Raya buru-buru menoleh dan melihat Mimi berdiri di ambang pintu. Lalu gadis itu berlari mengejarnya. "Teman collab, Mi."
"Oh, kok nggak disuruh masuk?" Raya menggeleng. "Janganlah, ntar tetangga mikirnya jauh."
"Jauh gimana?"
"Ya jauh, jauh banget dari realita."
Mimi hanya tertawa dan menyusul langkah Raya yang mulai memasuki rumah setelah menutup pintu.