Loading...
Logo TinLit
Read Story - Chapter Dua – Puluh
MENU
About Us  

Terima kasih adalah kalimat yang muncul dalam batin untuk diriku sendiri atas keputusan memakai masker. Kusadari sepenuh hati bahwa Allah memberikan wajah yang sangat ekspresif padaku, sehingga begitu sering aku tidak dapat menyembunyikan raut kecewa maupun tak senang. Oleh karena itu, aku hanya berani memandang Farzan sebentar sebelum menunduk menatap monitor untuk membuat notulensi.

"Wah, langsungan dari rumah, Mas?"

"Iya, Ren. Sampai rumah habis beberes langsung otw sini," jawab Farzan, kemudian tampak dari ekor mataku dia menyapu isi ruangan dan melanjutkan, "Berarti yang akhwat kamu aja, Rin? Rajin banget."

Dalam gerakan cepat, aku menurunkan masker untuk memamerkan senyum kecut.

"Aku hadir buat notulensi sekalian mau ke direktorat," jawabku tak kalah kecut.

Walaupun ekspresi dan nada bicaraku demikian, namun tampaknya Farzan menangkap bahwa kekesalanku sekadar gurauan. Terus terang, ini bagus karena dia tidak perlu tahu sekecewa apa aku, sehingga aku masih bisa memasang wajah polos. Namun, di sisi lain, orang ini benar – benar tidak tertahankan.

Ternyata setelah menyelesaikan sambutannya, Farzan meminta izin untuk keluar sebentar. Tidak ada yang menanyakan hendak kemana dirinya, namun entah bagaimana seperti ada sesuatu yang terasa menguap. Seolah ada sudut yang mendadak luang.

Tidak ada masalah setelah kepergian Farzan, namun ketika sosialisasi sudah memasuki sesi penyampaian, jantungku berdebar kencang. Pasalnya, Radit langsung keluar ruangan tanpa mengatakan pergi kemana dan hanya bilang ingin ke depan mencari angin. Tindakan yang Radit lakukan tentu saja membuatku hanya berdua bersama Narendra di ruangan. Pintu hall memang terbuka, namun perasaan tidak enak ini sungguh membuat tak tenang.

Rasa ingin pergi dari ruangan menyeruak, namun jika dipikirkan kembali, Narendra akan sendiri di sini. Wah, betapa seenakdirinya aku!

"Rin, tolong panggilin Mas Radit!"

Terus terang seruan Narendra cukup mengejutkan karena tertangkap intonasi yang sedikit lebih tinggi dalam nada bicaranya. Sungguh sangat sedikit, akan tetapi bedanya sangat kentara jika mengingat betapa halus cara bicara Narendra selama mengenal dirinya di rohis. Namun, tidak ada waktu untuk memikirkan itu sekarang. Aku bergegas menemui Radit yang ternyata sedang berbaring bersama ponselnya di sofa panjang depan hall.

"Mas, bentar lagi Narendra selesai," ujarku.

.

.

.

"Hah … alhamdulillah kelar!" seruan Radit membuatku tersenyum, begitu juga Narendra, ada kelegaan tampak dari ekspresinya.

"Mas Farzan ke mana, Rin?"

"Lho aku juga nggak tau, Ren. Tadi aja cuma bilang mau keluar bentar."

Sampai berakhirnya kegiatan pun, aku masih berpikir kemana sebenarnya Farzan pergi karena tidak juga kembali. Untuk urusan apapun, bukankah setidaknya dia turut membersamai temannya yang mana hanya tiga orang hadir secara luring?

Kembali suasana tak nyaman memenuhi atmosfer ruangan. Membuat diri ingin segera pergi, sayangnya tidak satupun beranjak. Kami hanya membereskan perlengkapan sosialisasi tanpa obrolan sampai Narendra membuka suara menanyakan perkembangan penyusunan proposal kegiatan.

"Masih proses koreksian, Ren. Tapi, targetku pekan depan udah bisa running tanda tangan," jelasku.

"Wah, pekan depan, ya?"

Pertanyaan Narendra yang lebih tepat disebut gumaman menarik perhatian. Membuat dahiku mengernyit.

"Kenapa, Ren?"

Narendra menjelaskan bahwa pekan depan dirinya sudah kembali ke kampung halaman, jadi tidak memungkinkan untuk membubuhkan tanda tangan di lembar pengesahan proposal. Bahkan, hari ini tepat seusai sosialisasi, Narendra harus segera ke Salatiga untuk menjemput sang ibu. Setelahnya, dia akan melanjutkan perjalanan ke kampung halaman.

Aku hanya bergumam dan mengangguk pelan mendapat penjelasan Narendra. Sementara, benakku memikirkan cara untuk mengakali bagian tanda tangan. Jikalau aku menggunakan format "atas nama" hal tersebut sangat tidak dianjurkan saat kali terakhir berkonsultasi dengan bagian kesekretariatan BEM. Tampaknya, Narendra menangkap kebingungan dari rautku karena dia memintaku untuk menunggu sebentar. Terus terang, aku tidak tahu apa yang akan Narendra lakukan, bahkan ketika dirinya kembali bersama selembar kertas polos di tangan.

"Kamu bisa duplikasi tanda tanganku, nggak, Rin?" tanya Narendra mendudukkan diri tepat di hadapanku.

"Nggak bisa, Ren," jawabku sambil menggelengkan kepala.

Narendra merendahkan tubuhnya sehingga posisinya nyaris bersujud. Tangan kanan yang memegang pulpen terus bergerak menarik garis. Membuatku mau tak mau memperhatikan dengan seksama.

"Nah, kaya gini, Rin."

Kala Narendra berucap seraya mendongakkan kepala, pada saat itulah baru kusadari bahwa distansi di antara kami begitu dekat. Jikalau sebatang penggaris ukuran tigapuluh sentimeter diletakkan di tengah, sungguh benda tersebut tidak akan cukup. Sehingga artinya, jarak kami begitu dekat. Kedua pasang manik mata yang beradu memacu jantung berdetak lebih kencang, sehingga refleks aku menelan ludah.

Nervous. Sesuatu yang kurasakan saat ini dan membuat kepalaku sedikit berputar. Bisakah aku meminta bantuannya untuk memutuskan kontak mata sekarang? Pasalnya, aku tidak kuasa menoleh ataupun menunduk. Ada sesuatu yang begitu menarik di dalam sana, menakutkan namun entah mengapa candu.

"Gimana, Rin?"

Pertanyaan yang keluar dari lisan Narendra menyadarkanku. Membuatku kembali teringat bahwa dirinya sedang menunjukkan bagaimana cara tanda tangannya dibuat.

"Nggak paham, Ren, cepet banget," protesku.

Setelah mendengar perkataanku, Narendra justru terkekeh dan turut menularkan seulas senyum di bibirku.

"Ulang, ya, ulang. Aku pelan – pelan, nih, Rin," ucap Narendra.

Secara refleks, tubuhku turut menunduk memperhatikan dengan lebih fokus cara Narendra mengukir tanda tangannya sekali lagi.

"Pertama, gini, ya. Ini huruf N terus melengkung A, lanjut R terus tarik huruf E empat kali. Nah, yang kelima tarik ke atas buat huruf N. Terakhir, ambil garis di sini, coret dikit jadi huruf A di ujung," Narendra menjelaskan perlahan.

"Houu, keliatannya simpel, ya," gumamku.

"Iya, kan. Ayo, kamu coba, Rin."

Beberapa kali tertangkap oleh mataku kala Narendra mengukir senyum tipis. Membuaku mati – matian menahan bibirku agar tidak tersenyum lebih lebar dari yang Narendra lakukan. Kendalikan dirimu, Nayaka Rinka!

"Beda banget, Ren. Kurang natural lengkungannya," ucapku melihat hasil duplikasi tanda tangan Narendra yang kulakukan.

"Bisa, bisa. Pokoknya, kamu latihan lima belas menit sehari pasti udah lancar," sahut Narendra.

"Coba kamu lagi, Ren. Tapi," telunjuk kananku bergerak menunjuk salah satu hasil coretan tanda tangan Narendra, "yang kaya gini. Ini bagus proporsional dan lebar."

Narendra mengangguk beberapa kali sebelum membuat tanda tangan seperti yang kuminta. Di tengah fokus kursus duplikasi tanda tangan, Farzan justru kembali. Dari ekor mataku tertangkap sedikit keterkejutan di wajahnya.

Posisi duduk kalian terlalu dekat, Rin!

Akhirnya, aku kembali tersadar dan langsung menambah sedikit jarak dari Narendra. Beruntung, Narendra yang masih fokus membuat tanda tangan tidak menyadari tindakanku.

"Ini aja, Rin," Narendra menggunting kertas yang terdapat tiga hasil terbaik tanda tangannya, "kamu simpan buat belajar sama duplikasi tanda tanganku. Aman, pokoknya aku udah ngizinin kamu," lanjutnya.

Di luar kendali, aku justru terkekeh. Tidak tahu mengapa, tetapi tingkah laku Narendra menggelitik perutku.

"Siap, Ren. Aku simpen di casing hp, ya," ucapku.

Sesungguhnya tidak ada yang istimewa dari selembar kertas potongan dan tanda tangan. Akan tetapi, tanpa kuketahui mengapa dan bagaimana, potongan kertas tersebut menjadi lain dari sudut pandangku. Sesuatu yang sangat sederhana, sungguh, akan tetapi hal tersebut mampu membuat dadaku hangat. Debaran jantungku juga semakin keras di telinga. Bahkan dari jarak sedekat ini, sungguh, kamu nggak mendengarnya, kan, Ren?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bittersweet Memories
47      47     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
ALMOND
1106      636     1     
Fan Fiction
"Kamu tahu kenapa aku suka almond?" Anara Azalea menikmati potongan kacang almond ditangannya. "Almond itu bagian penting dalam tubuh kita. Bukan kacang almondnya, tapi bagian di otak kita yang berbentuk mirip almond." lanjut Nara. "itu amygdala, Ra." Ucap Cio. "Aku lebih suka panggilnya Almond." Nara tersenyum. "Biar aku bisa inget kalau Almond adalah rasa yang paling aku suka di dunia." Nara ...
PENTAS
1238      723     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
Cinta Butuh Jera
1699      1056     1     
Romance
Jika kau mencintai seseorang, pastikan tidak ada orang lain yang mencintainya selain dirimu. Karena bisa saja itu membuat malapetaka bagi hidupmu. Hal tersebut yang dialami oleh Anissa dan Galih. Undangan sudah tersebar, WO sudah di booking, namun seketika berubah menjadi situasi tak terkendali. Anissa terpaksa menghapus cita-citanya menjadi pengantin dan menghilang dari kehidupan Galih. Sementa...
Metanoia
53      45     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Surat yang Tak Kunjung Usai
796      520     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
The Black Hummingbird [PUBLISHING IN PROCESS]
22146      2497     10     
Mystery
Rhea tidal tahu siapa orang yang menerornya. Tapi semakin lama orang itu semakin berani. Satu persatu teman Rhea berjatuhan. Siapa dia sebenarnya? Apa yang mereka inginkan darinya?
Roger
2100      876     2     
Romance
Tentang Primadona Sial yang selalu berurusan sama Prince Charming Menyebalkan. Gue udah cantik dari lahir. Hal paling sial yang pernah gue alami adalah bertemu seorang Navin. Namun siapa sangka bertemu Navin ternyata sebuah keberuntungan. "Kita sedang dalam perjalanan" Akan ada rumor-rumor aneh yang beredar di seluruh penjuru sekolah. Kesetiaan mereka diuji. . . . 'Gu...
A & O
1677      800     2     
Romance
Kehilangan seseorang secara tiba-tiba, tak terduga, atau perlahan terkikis hingga tidak ada bagian yang tersisa itu sangat menyakitkan. Namun, hari esok tetap menjadi hari yang baru. Dunia belum berakhir. Bumi masih akan terus berputar pada porosnya dan matahari akan terus bersinar. Tidak apa-apa untuk merasakan sakit hati sebanyak apa pun, karena rasa sakit itu membuat manusia menjadi lebih ma...
PurpLove
383      312     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...