Loading...
Logo TinLit
Read Story - Chapter Dua – Puluh
MENU
About Us  

Setelah aku merasa bahwa sesi menyendiri ini cukup, kuputuskan kembali ke posko untuk lanjut menemui pembina bersama Vega. Seharusnya, mereka sudah berangkat sekarang. Namun, ternyata mereka baru saja akan berangkat dan saat ini tengah memakai jas hujan di pelataran gedung mahasiswa.

“Ayo, Rin, ikut sekalian,” ajak Arga setelah aku turun dari posko.

“Nggak, ah, aku mau ke Pak Iwan buat ambil laporan pertanggungjawaban kemarin,” jawabku ketus.

Tidak peduli bagaimana respon mereka atas nada bicaraku yang ketus, langsung saja kuhampiri Vega yang sudah menunggu di gerbang. Fokus utamaku saat ini adalah mengambil laporan, kemudian kembali ke kos untuk mengistirahatkan kepala.

Kupikir, bahwa ini sudah selesai, namun ternyata salah. Siangnya, ketika Narendra mengirimkan dokumentasi hasil survei lokasi ke group, refleks pesannya aku reply privately. Was – was jika benar bahwa Narendra sungguh pergi survei seorang diri. Untunglah Narendra tidak melakukannya sendiri, dia sungguh pergi bersama Eden. Dan menyadari kecepatan respon Narendra, tanpa sadar membuatku mengatakan keruh di dalam kepala.

“Kalau mau marah, marah aja, Ren, nggak papa. Silakan.”

Wkwk marah kenapa, Rin?”

Bisa – bisanya Narendra bertanya seperti itu. Pasalnya, kemarin dia sungguh terlihat geram dan gemas, tetapi justru lebih memilih menghela napas. Kemudian, sudah.

“Dilihat aku gitu banget, ya?”

Emoticon tawa di ujung kalimat membuatku refleks mengernyit. Bagaimana mungkin aku tidak sadar jika mata dan cara Narendra menyorot menunjukkan emosi yang selalu dipendam? Kemarin, dia benar – benar terasa tenang sebelum badai. Bahkan, terlalu tenang sampai rasanya begitu kesal dan sakit di saat bersamaan.

.

.

.

Mendengar suara Nadila yang memintaku untuk datang ke posko sekarang juga membuat pikiranku tidak karuan. Pasalnya, suara Nadila di seberang betul – betul suara orang menangis. Jantung berdebar kencang dengan berbagai spekulasi negatif membuat diri kian overthinking. Aku takut, jika Nadila telah mengalami hal buruk semacam tindak kejahatan atau yang lebih parah lagi pelecehan seksual seperti yang sedang panas belakangan ini.

“Rin …!”

Tangis Nadila pecah begitu aku membuka pintu posko. Tepat setelah aku mendudukkan diri di sampingnya, pelukan erat melilit diri.

“Farzan … bisa – bisanya malah pergi ke Jogja, padahal sosil MR III, tuh, besok, Rin! Astaghfirullah, mereka bahkan nggak ada yang bisa dihubungi, Rin!”

Detik itu juga, tangisku turut pecah. Amarah dan sakit hati mengingat raut menyakitkan Narendra langsung meluap. Di hadapan perempuan ini, aku meraung sejadinya. Air mata yang kupikir telah habis saat menangis di masjid kemarin, nyatanya hari ini seluruhnya keluar.

“Bisa – bisanya, mereka semua pergi. Maksudku, Mbak, Mas Farzan sama Mbak Aisya, tuh, ketua sama wakil. Belum lagi, Mas Arga, Ali, terus Nida juga, mereka itu PJ, Mbak. Padahal besok sosil dan ini Narendra survei sendiri. Mana ide dia nggak ada yang diterima, rasanya sakit banget!” raungku.

Pelukan dan usapan lembut di kepala dari Nadila justru membuat air mataku menguncur kian deras. Bertahun – tahun aku mengikuti dan menjadi panitia berbagai kegiatan, sungguh kali ini paling tidak karuan. Di dalam benakku, alasan mengapa aku menangis dan rasa sakit yang tak kunjung hilang maupun mereda selama berminggu – minggu, tidak lebih karena ini adalah kondisi kedua di mana ketuaku ditinggalkan oleh anggotanya.

Dan … orang kedua yang mengalami itu adalah Narendra. Narendra. Dia Narendra!

“Peduli amat, mau dilarang siapapun, terserah, Mbak. Aku tetep bakal ikut sosil, walaupun cuma berdua sama Narendra,” putusku dengan air mata yang masih tidak berhenti mengalir.

“Nggak boleh, Dek.”

Kekeraskepalaan Nadila membuatku gemas, pasalnya perempuan ini menangis karena hal yang kurang lebih sama denganku, akan tetapi tetap tunduk pada aturan – aturan yang merupakan larangan dan pantangan di dalam rohis. Baik, aku tahu bahwa aturan tersebut bukan sekadar aturan yang dibuat sendiri oleh organisasi rohis, namun berdasar pada syariah islam. Akan tetapi, hei!

“Mbak, sungguh, cukup sekali ketuaku ditinggal sama anggotanya kaya gini, terus sekarang? Narendra juga? Nggak, aku nggak mau. Pokoknya aku nggak mau dia sampai sosil sendiri. Banyak banget, Mbak Nad, dia terjun langsung ke lapangan karena banyak kader yang ilang – ilangan,” kekesalan di dalam dada berhasil diluapkan.

Emosi dan air mata yang sedang puasnya diluapkan, seketika terpaksa berhenti di kerongkongan. Kala pintu posko terbuka secara tiba – tiba, suasana ruangan sungguh awkward. Sosok Putri yang baru saja melangkahkan kaki ke ruangan, sontak tersentak. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi yang dia tampilkan, pasalnya aku langsung berbalik badan agar wajah penuh air mata tidak dapat dia lihat. Satu hal yang paling kuketahui adalah obrolan singkatnya dengan Nadila ketika Putri meletakkan barang ke dalam loker divisi.

“Dek Rinka?” suara Nadila mengalun begitu lembut memanggil namaku, tampaknya dia memang lebih baik dalam mengendalikan emosi dan tangisan.

.

.

.

Ini harinya!

Semalam, tidak ada konfirmasi mengenai siapa saja yang bisa ikut sosialisasi bersama Narendra. Satu – satunya informasi pasti adalah rombongan camping sudah dalam perjalanan kembali ke Semarang semalam. Sehingga, jikalau boleh jujur, aku tidak berharap lebih bahwa akan ada panitia yang hadir di hall mahasiswa pagi ini.

Ketika sudah berada di depan hall, tampak beberapa kepala dari jendela. Benar, saat sudah di pintu masuk, hanya ada tiga panitia termasuk Narendra sendiri.

Wah, maa syaa Allah!

"Jam berapa ini, Ibu Wakil Divisi ADK?"

Aku terkekeh untuk sarkasme Radit atas keterlambatanku yang disengaja. Perkataan Radit tersebut membuat Narendra dan Nida yang semula berkutat dengan komputer mendongak. Pikiran positifku sudah berpikir hal baik, setidaknya aku bukan satu – satunya perempuan di sini. Namun, pikiran tersebut terbantah menyadari helm hitam di dekat Nida.

"Soalnya, ini aku mau pulang, Rin."

Heh?

"Kalau kamu otw sekarang, kekejar nggak acaramu?" 

Justru pertanyaan itu yang meluncur dari lisanku. Ternyata, segemas apapun, nyatanya tetap tidak tega untuk marah. Takut kalau ucapanku akan melukai, karena jujur aku sangat menyadari betapa tajamnya ucapanku kala marah walaupun nada bicaraku tetaplah lembut.

"Kalau sekarang masih kekejar, Rin. Tapi, ini …" Nida melempar pandang ke Narendra sesaat sebelum kembali ke arahku.

"Nggak papa, Nid," ucap Narendra.

Aku mengangguk, kemudian berkata, "nggak papa, Nid. Kalau makin nanti, takutnya kamu malah jadi buru – buru."

"Hehhh, tapi kamu akhwat sendiri nanti," cemas Nida yang diakhiri tawa canggung.

"Halah nggak papa, Nid. Rinka nggak bakal kita apa – apain. Percaya sama kita," ucap Radit.

Nada bicara Radit memang bercanda, tetapi aku tahu dia serius. Walaupun begitu, nyatanya Nida masih tetap memasang ekspresi tak enak. Bibirnya mengukir senyum getir, bimbang untuk tetap tinggal atau segera berangkat.

"Nggak papa, Nid. Kalem aja," imbuhku tersenyum lembut.

Nida menghela napas kasar, kemudian mengeluarkan ponselnya. Dia mengaktifkan jaringan seluler dan mengatakan bahwa dirinya tetap standby jika ada apa – apa nanti.

Kepergian Nida membuatku menjadi satu – satunya perempuan di ruangan. Tak apa, kamu bisa melakukannya, Rinka!

"Mas Radit nanti tilawah, ya?" tanyaku kala Radit turut mempersiapkan laptop yang baru saja dikeluarkan dari tas.

"Nggak, Rin, Mas Radit MC, yang tilawah Eden," justru Narendra yang menjawab seraya mengatur room meeting​​​​​​.

"Lho Eden mana?"

"Masih tidur mungkin, orang ditelepon masih memanggil terus," sahut Radit.

Ternganga mendapatkan jawaban Radit membuatku memasang ekspresi tak habis pikir. Mengingat bahwa waktu pelaksanaan sosialisasi kurang dari seperempat jam lagi, aku memutuskan bagaimana jika Radit bertugas tilawah dan aku menjadi MC.

"Boleh, Rin, yang tugas akhwat?"

Menoleh pada Narendra, aku menjawab pelan, "boleh, Ren. Ya, gimana, daripada nggak ada."

Narendra menanggapi ucapanku dengan gumaman yang mengisyaratkan persetujuan. Kemudian, saat dia sudah kembali ke depan monitor, dia kembali bertanya mengenai sambutan ketua umum. Pasalnya, Farzan belum ada kabar sudah kembali dari Jogja atau belum.

"Kalau kepepet, nggak ada aja, Ren. Habis aku pembukaan, Mas Radit tilawah, kamu sambutan, terus lanjut aja langsung inti," putusku.

Sungguh sudah pupus harapan akan kehadiran Farzan maupun Aisya. Memang baru saja mendapat kabar bahwa rombongan camping sudah kembali pagi ini, tapi terus terang, tak ada sedikitpun asa bahwa salah satu dari mereka akan kemari. Tentu saja, bukankah mereka pasti kelelahan setelah perjalanan jauh?

Ahaha.

Akan tetapi, bukan Farzan jikalau tidak gemar membuat gebrakan maupun kejutan pada anggotanya sendiri. Tepat dua menit sebelum sosialisasi dibuka, terdengar salam dari arah pintu. Ya, tebak siapa yang muncul!

Sosok tinggi jangkung di ambang pintu mengulas senyum tanpa rasa bersalah. Astaghfirullah, rasanya aku ingin memarahi orang itu sekarang!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PENTAS
1238      723     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
ALMOND
1106      636     1     
Fan Fiction
"Kamu tahu kenapa aku suka almond?" Anara Azalea menikmati potongan kacang almond ditangannya. "Almond itu bagian penting dalam tubuh kita. Bukan kacang almondnya, tapi bagian di otak kita yang berbentuk mirip almond." lanjut Nara. "itu amygdala, Ra." Ucap Cio. "Aku lebih suka panggilnya Almond." Nara tersenyum. "Biar aku bisa inget kalau Almond adalah rasa yang paling aku suka di dunia." Nara ...
Di Bingkai Sebuah Perjuangan Mimpi
3037      1708     3     
Short Story
Kisah ini menceritakan tentang sebuah kisah sang melodi yang terperangkap dalam kisah yang menjebak dan menggoda Senyum Yang Dibalut Komedi, Penasaran Lanjuutkan bacaa Kawan #^_^#=  ̄ω ̄=
The Call(er)
1782      1031     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Babak-Babak Drama
476      331     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Dunia Sasha
6621      2213     1     
Romance
Fase baru kehidupan dimulai ketika Raisa Kamila sepenuhnya lepas dari seragam putih abu-abu di usianya yang ke-17 tahun. Fase baru mempertemukannya pada sosok Aran Dinata, Cinta Pertama yang manis dan Keisha Amanda Westring, gadis hedonisme pengidap gangguan kepribadian antisosial yang kerap kali berniat menghancurkan hidupnya. Takdir tak pernah salah menempatkan pemerannya. Ketiganya memiliki ...
A Poem For Blue Day
235      182     5     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Only One
1098      751     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
Sebelas Desember
4861      1406     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Amherst Fellows
6469      1752     5     
Romance
Bagaimana rasanya punya saudara kembar yang ngehits? Coba tanyakan pada Bara. Saudara kembarnya, Tirta, adalah orang yang punya segunung prestasi nasional dan internasional. Pada suatu hari, mereka berdua mengalami kecelakaan. Bara sadar sementara Tirta terluka parah hingga tak sadarkan diri. Entah apa yang dipikirkan Bara, ia mengaku sebagai Tirta dan menjalani kehidupan layaknya seorang mahasis...