Loading...
Logo TinLit
Read Story - Chapter Dua – Puluh
MENU
About Us  

“Rin ….”

Suara Airra yang merintih menyebut namaku membuatku bingung. Pasalnya perempuan ini baru saja datang dan sudah memasang ekspresi wajah tidak baik – baik saja. Kalimat tanya baru saja akan meluncur ketika Airra lebih dulu menyerahkan ponselnya dan meletakkan kepala ke meja. Menghela napas yang terdengar lelah dan begitu berat.

“Baca aja.”

Ponsel yang menampilkan isi percakapan Airra dengan Zahra jujur membuatku tertegun. Entah sudah kali keberapa permasalahan berupa kurangnya tanggung jawab anak humas dalam rentang waktu bahkan belum mencapai paruh periode. Otakku menangkap dengan baik hawa panas isi personal chatting mereka. Bagaimana kesalnya Zahra yang merasa terus ditekan dan dikejar oleh ketua pelaksana, padahal humas bukan dirinya seorang. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari pasifnya komunikasi di dalam group humas yang hanya berisi respon ketuplak dan Zahra atas koordinasi birokrasi dari Airra.

“Emangnya aku nyalahin Zahra kalau dia mau ke bazar anak AB habis kelas? Mana ada aku ngomong gitu. Aku cuma tanya, habis ini terus running – nya gimana. Tau jugalah aku kalau humas bukan cuma dia,” gerutu Airra sebal.

Secara refleks salah satu tanganku mengusap lembut lengan atas Airra, hal yang biasa kulakukan untuk menenangkan seseorang. Melihat kepasifan untuk kesekian kalinya, bohong jika aku tidaklah marah.

“Lha, malah si Nida dari tadi ngeyel bener. Ternyata, dia ada di direktorat buat running surat peminjaman. Emang Nida ngabarin kalau mau running? Nggaklah, dia gerak sendiri nggak ngasih kabar, tapi tetiba ngejar – ngejar gini. Aku udah bilang, humasnya bukan cuma Zahra dan posisiku juga cuma bantu aja. Malah Zahra pikir aku juga maksa dia sampai larang ini itu,” geram Airra, namun dengan mata yang sudah berkaca – kaca.

“Paham, Ra. Ini, tuh, sebenarnya enak kalau kita komunikasinya lancar. Emang kesannya sepele, tapi kabar kecil kaya update tanda tangan udah sampai sini atau aku taruh suratnya di loker, ya. Atau kabar nanti aku lanjut habis makan atau istirahat, itu berarti banget. Jadi, temen – temen tahu, oh, running – nya udah sampai sini,” tuturku.

“Nah, kan, Rin. Malah Zahra responnya kaya gini, nggak enak banget, tahu. Ahh, kesel banget! Kenapa, sih, tiap aku yang pegang sekretaris pasti dapet jenis humas susah semua gini?”

“Yaudah, aku pap besok kalau ini lagi makan. Aku pergi ke sini. Aku kelas. Aku lagi ini, lagi itu. Haha, siap banget, dah,” ucapku membacakan pesan yang baru saja dikirimkan Zahra ke ponsel Airra.

“Kan, malah jadi perkara gini!”

Tepat di depan mata kepalaku, kedua pasang manik Airra benar – benar sudah tidak bisa berbohong. Rasanya menyakitkan melihat dia seperti ini lagi. Marah. Salahkah kalau sekarang aku merasa sangat marah dan kecewa terhadap orang – orang?

.

.

.

Untuk kesekian kalinya, akhir pekan ini aku memutuskan untuk tidak pulang ke rumah demi menjalankan sebuah proker. Jujur, masih terhitung proker pengkaderan awal namun rasanya partisipasi anggota sudah menurun lebih dari tiga puluh persen dari Majlis Rohis I kemarin. Rasanya, tidak menyenangkan.

Sedikitnya orang yang datang untuk persiapan Majlis Rohis II membuat kurva tak enak terukir. Benar bahwa Majlis Rohis II bukan sekadar proker Divisi Kaderisasi, proker ini milik satu rohis, namun memang koordinasi utama berada di dalam sana, tepat seperti yang Zahra katakan lewat chatting dengan Airra tempo hari lalu. Akan tetapi, jika Zahra melihat bahwa tidak ada separuh dari anak kaderisasi yang turut serta, apakah dia masih bisa bicara seperti itu?

Tidak, Zahra. Ketika yang “bukan” Kaderisasi secara penuh mencurahkan tenaga dan waktu untuk proker yang seharusnya dikoordinasikan oleh divisimu, mengapa orang – orangmu malah menghilang?

Kala mengetahui kabar dari Hafizah bahwa Zahra izin tidak hadir Hari H, aku sangat yakin Airra semakin kacau. Ekspresi kekecewaan bercampur marah yang tidak dapat disembunyikan, begitu sakit melihatnya. Aku … merasa bersalah. Bukankah secara tidak langsung hal ini juga salahku karena tidak bisa menjaga semangat dari teman sedivisiku?

Begitu miris rasanya bahwa organisasi yang bahkan belum berjalan setengah periode sudah terlihat lelahnya di berbagai divisi. Faktor sedikitnya kader yang berbanding terbalik dengan tugas yang banyak ataupun faktor kuliah, yang manapun sesungguhnya aku tidak yakin. Tapi, fakta bahwa beberapa orang yang menjadi kepala divisi juga turut menghilang tanpa kabar apapun, membuat pikiran semakin kusut. Rasanya seperti untuk apa kamu menerima tanggungg jawab di posisi tersebut, jika pada akhirnya justru menghilang tanpa ucapan apapun. Begitu ringannya mengabaikan amanah yang sudah disetujui sendiri. Dan orang – orang di sini pun terlalu luas kesabarannya hingga hal seperti ini dimaklumi dengan mudah.

Hei, sabar memang harus, tetapi juga harus tahu mana hal yang pantas dimaklumi dan mana yang tidak! 

“Rin!” panggilan Aisya yang entah sejak kapan sudah ada di ruangan berhasil menyentakku dari lamunan. “Jangan lupa nanti hasil penilaian observer dimasukkin ke sheet yang ini, ya! Kalau yang sebelah sana nggak kelihatan, coba bilang sama Narendra, mungkin kalian bisa tuker tempat duduk,” lanjutnya.

Gemuruh di kepala tampaknya membuatku kalut cukup lama. Aku bahkan hampir lupa sedang di mana sekarang. Ya, Aisya dan Farzan mempercayaiku dan Narendra sebagai observer atau penilai keaktifan peserta Majlis Rohis II. Oleh sebab itu, tepat setelah kembali fokus ke monitor, mataku segera menyisir deretan peserta yang mulai menempatkan diri. Tampaknya, dari sudut ini seluruh peserta beserta nomor kursinya masih bisa dilihat dengan jelas.

Namun, hal yang sama tidak terjadi pada Narendra. Hal tersebut aku ketahui setelah masuk notifikasi pesan pribadi darinya. Apakah dia mau bertukar jika memang matanya tidak bebas menyisir peserta dengan baik?

Kepala yang saling menoleh dilanjutkan temu pandang dan anggukan ringan. Hanya sebatas itu. Baik, kami sepakat.

Komunikasi memanglah sangat sedikit dan dari sudut pandangku, hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Pun bukan sesuatu yang perlu dipikirkan karena keberadaannya memang tidaklah lebih dari rekan satu organisasi dan sesama observer sehari. Hal itu dikarenakan di hari kedua Majlis Rohis II, aku menjadi salah satu penanggung jawab wawancara staf muda di BEM dan job tersebut tidak bisa dialihkan. Sehingga, aku berpikir bahwa komunikasi ini dicukupkan di hari ini.

Tidak, Rin, kamu salah!

Usai wawancara staf muda berakhir, aku diminta untuk datang ke Majlis Rohis II mengingat bahwa tempat pelaksanaan keduanya memang bersebelahan. Namun melihat pintu ruang materi tertutup, kuputuskan untuk menengok ke ruang panitia dan benar saja ada beberapa orang di dalam.

“Akhirnya, kamu datang, Rin,” kalimat sambutan yang langsung masuk ke runguku ketika baru selangkah dari pintu.

“Maaf baru dateng, Adira. Baru aja selesai.”

Perempuan berpostur tinggi yang duduk di bangku paling belakang itu terkekeh mendengar ucapanku dan meminta untuk segera duduk di sebelahnya. Melihat bahwa dirinya sedang memilah kumpulan kertas yang kuketahui berupa surat kesan – pesan peserta. Ketika tengah membantu Adira memilah surat mana yang akan dibacakan di akhir sesi dan mendapatkan gift sebagai apresiasi, Widya datang bersama satu kardus snack di tangan.

“Lho, kamu nggak jadi observer, Ya?”

Widya menggeleng, “enggak, soalnya ini bukan sesi materi, jadi bisa keluar ruangan. Tuh, makannya Narendra juga di sana.”

Kamu tidak perlu mengatakan apapun tentang orang itu karena maksudku … untuk apa? Bahkan, baru aku sadari keberadaan Narendra bahwa dia berada di ruangan ini.

Merasa bahwa namanya disebut, Narendra menoleh ke sumber suara. Hanya sekilas sebelum kembali fokus melakukan entah apa bersama Hamzah di sebelahnya. Dan entah bagaimana percakapan ini dimulai, namun begitu tersadar Narendra sudah masuk ke dalam diskusi yang Adira buat bersamaku dan Widya.

“Kemarin ketuplak Majlis Rohis I siapa, Rin?”

“Eden sama Mbak Zahra.”

“Nah, Majlis Rohis II, kan Nida sama Mala. Jadi, Majlis Rohis III?”

Aku bergumam seraya mengingat – ingat siapa saja anggota Kaderisasi yang belum menjadi ketuplak maupun wakil ketuplak. Begitu memoriku menemukan sebuah jawaban, langsung saja kuutarakan, “kamu sama Mbak Hafizah.”

Kepala Narendra yang mengangguk sambil mengatakan, “betul banget,” memberikan gesture puas, sehingga perlahan bibirku tersenyum.

Wah, ada apa denganmu, Rin? Mengapa rasanya tiba – tiba menyenangkan seperti ini? Namun, baru saja benakku hendak memunculkan pertanyaan – pertanyaan yang tak pernah kuketahui jawabannya, suara Hamzah yang penuh akan provokasi tentang praktikum tiba – tiba menginterupsi.

“Anak mesin praktik ada wearpack sama jas lab, emang kaya anak akuntansi, nggak punya,” kalimat julid Hamzah memanaskan suasana.

“Mas Hamzah, mon maap, ya, tapi anak akuntansi juga punya jas lab buat praktikum. Itu yang blazer – nya warna navy,” balasku tak mau kalah.

“Lha, masa kamu praktiknya nulis terus adem pake AC. Kalau praktikum, tuh, ya, panas – panas, Rin.”

Di luar dugaan, Narendra turut dalam perdebatan tidak jelas ini.

“Emang kita kalau praktikum gitu, Ren. Justru enak kita adem, bahkan baru masuk koridor aja udah berasa AC – nya, emang mesin yang panas – panas, terus kelas sampai malem, belum lagi tiap hari laprak,” Adira membalas dengan sengit.

“Lapraknya tulis tangan lagi, padahal ada yang namanya laptop sama komputer,” imbuh Widya.

“Lho, lho, lho.”

Suara Eden yang tengah mencuri waktu mengerjakan laprak di meja depan terdengar. Rasanya hawa ruangan langsung berubah setelah kalimat yang diutarakan Widya mengingat lima dari delapan orang di ruangan ini merupakan mahasiswa teknik. Apakah ini akan menjadi perdebatan tidak berujung lainnya?

“Lho, di teknik lebih enak, jendelanya besar terus ada kipasnya juga. Jadi, alami ada sejuk – sejuknya. Mana ruang kelasnya juga lebih luas lagi, kan, Mas?”

“Bener. Emang teknik, tuh, lebih baik, Ren.”

“Tapi, kita nggak ada laporan praktikum. Datang, nyelesaiin kasus, waktu habis, terus pulang. Jadi, nggak ada di kost hari – hari ngurus laprak yang ditulis tangan,” balasku tetap tak mau kalah.

Kurva tipis terukir di bibir Narendra mendengar nada suaraku yang khas akan kekeraskepalaan. Sejenak kurva tersebut berhasil mengalihkan fokusku. Entah bagaimana, terasa begitu lembut dan ringan, sehingga begitu sadar ternyata aku mengukir senyum serupa.

“Lho, gini,” suara Hamzah membuyarkanku, “teknik itu ….”

Observer?”

Serentak orang – orang di dalam ruangan menoleh ke sumber suara dan mendapati Nida di depan pintu. Kedatangannya memberitahu kami bahwa sesi ice breaking akan segera berakhir dan melanjutkan materi kembali. Ah, benar – benar waktu yang tidak tepat.

.

.

.

Aku pikir ini sudah berakhir dan sensasi tiba – tiba menyenangkan ketika berbicara dengan Narendra hanya sesuatu yang tak penting. Sebatas hal abstrak sesaat yang tidak perlu dipikirkan lebih jauh. Namun, ternyata salah besar.

Di luar dugaan, interaksi ini berlanjut. Sungguh tidak terduga ketika ketua rohis menempatkan divisi Administrasi – Keuangan dengan Kaderisasi di tempat yang sama untuk kegiatan pembekalan pekan depan. Pikirku, Farzan memutuskan hal tersebut dengan mempertimbangkan bobot program kerja serta agenda yang cukup banyak di Kaderisasi dengan Administrasi – Keuangan yang sama sekali tak memiliki proker. Akan tetapi, mengapa benakku justru membuat skenario abstrak dan tidak jelas yang terasa menyebalkan?

Selaku moderator pembekalan divisi ini, tak dua – tiga kali mataku menatap pada Narendra yang duduk beberapa meter di seberangku. Tatapan yang ternyata berbalas dan seolah mengerti, dia menjelaskan sesuatu dan menjawab apapun pertanyaan yang disampaikan para calon kader. Untuk kesekian kalinya, mata kembali bertemu pandang untuk alasan yang tidak kuketahui mengapa. Namun, ini aneh dan rasanya tidak benar. Rasanya kacau.

Hei, Rin, ada apa dengan hawa panas ini?

Padahal, sedari pagi langit penuh awan dan angin bertiup sepoi – sepoi. Untuk kota yang khas akan cuaca panasnya, ini sungguh keberuntungan. Akan tetapi, mengapa mendadak rasanya berubah jadi sepanas ini?

“Mbak Nia, ngerasa panas banget, nggak?” bisikku.

Rania yang duduk tepat di sebelahku mengernyit dan menjawab, “enggak, Dek. Masih sama kaya tadi,” dengan suara yang sama lirihnya.

“Dek, perutmu kenapa? Laper?”

Sontak saja aku menatap Rania bingung.

“Mbak lihat kamu megangin perut terus dari tadi. Ya, emang udah jam makan siang juga, sih, sebenernya.”

Memangnya, dari tadi aku tampak seperti itu, ya?

Selama tengah berpikir, entah apa yang diperintahkan oleh otak di dalam kepala, mataku kembali mendongak dan tanpa sadar mendapati sosok Narendra dengan sorot menerawang seperti saat breafing untuk outbound kala itu.

Sesungguhnya, Narendra tidak melakukan sesuatu berarti, kecuali menjelaskan beberapa hal tentang divisinya dan menjawab pertanyaan. Pun tidak ada juga pertukaran kalimat dengannya hari ini. Akan tetapi, sungguh munafik jika mataku tidak diam – diam mencuri pandang ke arahnya, walaupun untuk sekadar melihat apa yang sedang dia lakukan atau ekspresi apa yang terukir di wajah, bahkan pemandangan apa yang menarik perhatiannya. Sekarang ini seperti bukan diriku, sungguh!

Perkara yang membuat diriku tidak fokus adalah rasa bergejolak dari dalam perut. Pagi ini, sarapan tidak kulewatkan dan, ah, mungkin benar yang Rania bilang karena jam makan siang sebentar lagi. Tetapi, ini bukan rasa lapar dan aku sangat yakin. Pasalnya, sensasi tak jelas ini semakin menjadi ketika tak sengaja mataku melihat kurva yang dipamerkan pemuda itu.

Rin, gawat, ini gawat!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dream Of Youth
737      477     0     
Short Story
Cerpen ini berisikan tentang cerita seorang Pria yang bernama Roy yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya untuk mengejar mimpinya Roy tidak pernah menyerah untuk mengejar cita cita dan mimpinya walaupun mimpi yang diraih itu susah dan setiap Roy berbuat baik pasti ada banyak masalah yang dia lalui di kehidupannya tetapi dia tidak pernah menyerah,Dia juga mengalami masalah dengan chelsea didala...
Di Bingkai Sebuah Perjuangan Mimpi
3018      1697     3     
Short Story
Kisah ini menceritakan tentang sebuah kisah sang melodi yang terperangkap dalam kisah yang menjebak dan menggoda Senyum Yang Dibalut Komedi, Penasaran Lanjuutkan bacaa Kawan #^_^#=  ̄ω ̄=
Teman Berakhir (Pacar) Musuhan
667      409     0     
Romance
Bencana! Ini benar-benar bencana sebagaimana invasi alien ke bumi. Selvi, ya Selvi, sepupu Meka yang centil dan sok imut itu akan tinggal di rumahnya? OH NO! Nyebelin banget sih! Mendengar berita itu Albi sobat kecil Meka malah senyum-senyum senang. Kacau nih! Pokoknya Selvi tidak boleh tinggal lama di rumahnya. Berbagai upaya buat mengusir Selvi pun dilakukan. Kira-kira sukses nggak ya, usa...
Mimpi yang berawal dari sebuah BUKU
888      553     4     
Short Story
\"Buku ini adalah buku ajaib yang ia berikan kepadaku, berkatnya aku bisa menikmati hariku tanpa rasa penyesalan. Terima Kasih Rachel.\" ucap Sri sambil memeluk buku ajaib tersebut.
Memento Merapi
5794      2031     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
SiadianDela
8595      2273     1     
Romance
Kebahagiaan hanya bisa dicapai ketika kita menikmatinya bersama orang yang kita sayangi. Karena hampir tak ada orang yang bisa bahagia, jika dia tinggal sendiri, tak ada yang membutuhkannya, tak ada orang yang ingin dia tolong, dan mungkin tak ada yang menyadari keberadaanya. Sama halnya dengan Dela, keinginan bunuh diri yang secara tidak sadar menjalar dikepalanya ketika iya merasa sudah tidak d...
Sebelas Desember
4092      1252     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Anak Magang
96      91     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
Adiksi
6923      2155     2     
Inspirational
Tolong ... Siapa pun, tolong aku ... nafsu ini terlalu besar, tangan ini terlalu gatal untuk mencari, dan mata ini tidak bisa menutup karena ingin melihat. Jika saja aku tidak pernah masuk ke dalam perangkap setan ini, mungkin hidupku akan jauh lebih bahagia. Aku menyesal ... Aku menyesal ... Izinkan aku untuk sembuh. Niatku besar, tetapi mengapa ... mengapa nafsu ini juga sama besarnya!...
Dunia Sasha
5685      1993     1     
Romance
Fase baru kehidupan dimulai ketika Raisa Kamila sepenuhnya lepas dari seragam putih abu-abu di usianya yang ke-17 tahun. Fase baru mempertemukannya pada sosok Aran Dinata, Cinta Pertama yang manis dan Keisha Amanda Westring, gadis hedonisme pengidap gangguan kepribadian antisosial yang kerap kali berniat menghancurkan hidupnya. Takdir tak pernah salah menempatkan pemerannya. Ketiganya memiliki ...