Kepala berdenyut begitu nyeri dengan sensasi pening di sekitar mata. Entah sebagai akibat memikirkan banyak hal yang terjadi sejak evaluasi paruh periode atau mata yang sudah sedari kemarin hanya menatap monitor. Begitu banyak permasalahan internal yang terjadi, hingga tanpa sadar fokus perkuliahanku mulai terganggu. Kala KHS semester tiga sudah bisa diakses, terus terang bahwa rasa sesak setia menetap dalam dada.
Mungkin, aku tampak seperti orang yang tidak bersyukur padahal IP maupun IPK berada di predikat Magna Cumlaude. Dengan track record dua semester berturut mendapat nilai sempurna di semua mata kuliah, rasanya ini menyakitkan. Pikiran buruk seperti apakah beasiswaku akan dicabut atau mendapat panggilan dosen wali karena nilai yang menurun senantiasa memenuhi kepala. Sesungguhnya, aku sangat ingin menangis sekarang. Bagi sebagian orang, hal tersebut “hanya sebatas angka”, namun bagiku dan sebagian orang lainnya yang diukur dengan standarisasi angka, bagaimana?
Ya Allah, aku ingin menangis.
Rasa panas yang begitu membakar mata membuatku berkedip berulang kali. Hingga pada kedipan kesekian, sensasi basah menyentuh pipi.
Mengapa kuliahku jadi sangat terditraksi seperti ini? Sungguh, bahkan tak ada satupun tugas yang dikumpulkan melebihi deadline dan tidak sekalipun aku pasif saat kelas. Lalu, mengapa nilai A tidak menghiasi seluruh mata kuliahku? Kesalahan fatal apa yang kulakukan semester ini?
Kamu melakukan kecerobohan apa, Rin?!
Ya Allah, aku salah!
Rasa bersalah yang terbawa keluar dari teritoriku, sehingga membawa kembali sosok “Naya”. Si pendiam yang tidak tersentuh dan penuh arogansi. Satu hal paling kusadari selama hampir sepekan “Naya” mengambil alih, dia mengacaukan segalanya. Tak ada emosi positif yang bisa diekspresikan dengan baik oleh “Naya”, singkatnya dia benar – benar sosok paling enggan merespon apapun.
Bahkan, keramahan Lana tidak bisa menyentuh Nurani “Naya”. Sungguh, Lana tidak sekalipun mengambil jarak dariku, padahal dia melihat betapa muramnya aku. Usaha Airra dan Indira pun tidak membuahkan hasil apapun. “Naya” menciptakan distansi begitu lebar dengan mereka bertiga, hingga begitu kelas berakhir yang ada di kepala hanyalah kasur di dalam kamar untuk menangis. Atau jika bukan berupa tangisan, rasanya “Naya” akan meledakkan amarah yang sudah tertimbun sejak awal semester ini.
“Hei, Rin, lihat apartemen itu! Tinggi, bukan?”
Pertanyaan “Naya” mengalun selembut sutera memasuki rungu. Begitu lembut sampai menghipnotis dan menggerakkan kepala untuk mendongak ke bangunan yang diinginkannya. Harus diakui, bahwa bangunan yang “Naya” maksud sangatlah indah. Tinggi menjulang di antara seluruh bangunan tinggi di tempat ini.
“Gimana kalau ada yang jatuh dari sana, ya?”
“Heh, kau penasaran, kan? Mau mencobanya bersama, Rin?”
“Kamu ini sebenarnya kenapa, Rinka?”
Pesan suara yang dikirimkan Faris membuatku mengernyit tak senang.
“Aku sudah bilang, aku nggak kenapa – napa, Mas,” jawabku menahan geram.
Kali ini justru Faris terpancing dengan nada suaraku karena dia mengirim pesan suara dengan durasi hampir lima menit. Semua pujian melalui voice note yang diberikan atas kapabilitasku dalam public speaking, kepercayaan diri yang tinggi, kharisma yang mengagumkan, kefasihan dalam membawakan acara, dan segala hal yang berkaitan dengan hal – hal positif lainnya terdengar seperti omong kosong. Tidak berguna.
“Aku bisa bilang, kamu serakah, tahu, nggak, Rin? Kamu selalu bisa unggul di setiap hal yang kamu lakuin dan kamu coba. Aku tanya, kapan kamu nggak unggul di sesuatu yang kamu pilih, ha? Dan kamu masih bilang kamu nggak bisa, terus kamu gagal?”
“Enteng banget, ya, Mas Faris bilang kaya gitu. Oke, terserah, silakan. Itu pikiran Mas Faris dan di luar kontrolku. Tapi, Mas Faris nggak bakal tahu segila apa aku ngejar semua itu, ketika aku distandarisasikan sama angka,” sergahku marah.
.
.
.
Pada akhirnya, hal gila yang akhirnya kuputuskan setelah luapan geram pada Faris adalah menemui psikolog. Dadaku rasanya sesak dan perutku bergejolak tidak nyaman saat pesan yang dikirimkan pada psikolog itu tidak kunjung mendapatkan respon. Padahal, sudah berulang kali naik – turun gedung jurusan administrasi bisnis, namun beliau tidak ada di ruang pengawas ujian maupun ruang dosen. Bahkan, suasana gedung ini sudah sepi.
“Permisi, Pak,” ucapku pada helper jurusan administrasi bisnis karena kebetulan psikolog ini juga merupakan salah satu dosen di kampusku, “izin bertanya. Kalau ruangan Ibu Rara ada di mana, ya, Pak?”
“Ibu Rara? Wah … kayanya ibu udah pulang, Mbak. Soalnya ini, kan, ujiannya udah selesai semua, Mbak. Eh, atau barangkali ibunya di gedung baru, Mbak, soalnya dosen – dosen lagi ada santap siang bersama,” jelasnya.
Gedung baru. Gedung baru!
Seperti anak hilang yang mencari ibunya, aku menolah – noleh ke salah satu ruangan yang dari luar terdengar riuh obrolan. Sesungguhnya, biarpun mata sudah kusipitkan berulang kali, sosok beliau tidak terlihat. Aku pesimis.
“Nyari siapa, Mbak?”
Aku tersentak.
“Nyari Bu Rara, Bu.”
“Oh, Bu Rara. Sudah janjian sama ibunya, Mbak?”
“Iya, Bu, sudah.”
Pertanyaan berikutnya nyaris terlontar dari dosen di hadapanku, namun seorang dosen berjilbab merah jambu muncul dari arah kerumunan.
“Mbak Rinka, ya?”
“Iya, Bu, betul.”
“Ke bawah, yuk, Mbak.”
Ruangan yang berukuran tak lebih dari sembilan meter persegi ini seolah menjadi saksi atas emosi yang di luar kendali. Benar, tampaknya aku memang sudah gila. Tangis yang kupendam selama lebih dari sepekan, pecah detik itu juga. Hanya sebuah kalimat tanya berupa “kenapa” yang diajukan oleh Bu Rara dan dadaku langsung dihantam. Suara tangis memenuhi ruangan dan kalimat yang keluar dari kerongkonganku tidak jauh dari kata menyerah dan berhenti.
“Saya ingin berhenti, Bu. Rasanya salah. Nilai saya berantakan dan saya nggak tahu harus gimana. Emang itu sepele, tapi bagi saya enggak. Angka – angka itu penting banget, Bu. Saya mau berhenti kuliah. Kepala saya juga mau pecah, Bu. Orang itu, dia datang terus. Dia juga paling senang ngajak saya lihat gedung – gedung, Bu. Pokoknya, ayo lompat, Rinka. Ayo!”
Kepalaku terasa begitu penuh dan suara “Naya” semakin bergemuruh. Kamu tahu bagaimana rasanya ketika berada di tengah pasar dan suara para pedagang bercampur dengan suara pembeli yang menawar? Teriakan yang menawarkan barang masing – masing, sampai rasanya telingamu penuh.
Kepalaku ingin pecah, sialan!
“Mbak Nayaka Rinka?”
Panggilan yang begitu lembut merasuk ke dalam gendang telinga bersamaan dengan usapan lembut di bahu. Kehangatan yang juga turut menyorot lembut melalui kedua manik indah di hadapan. Serta bibir yang mengukir lengkungan indah.
“Mbak ….”
Pada dasarnya, permasalahan pribadiku di rumah tanpa sadar terbawa sampai ke kuliah. Benang kusut yang bahkan belum selesai diurai justru ditimbun dengan benang lain berupa konflik internal organisasi dan capaian akademik. Sosok “Naya” yang muncul ke permukaan juga mengacaukan segala hubungan yang susah payah coba kubangun bersama sesama manusia lain.
Kamu kacau, Rin.
Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Bu Rara bahwa jika aku memilih menghentikan alur hidupku secara sepihak akan mengurangi “beban” orang tua adalah benar. Secara ekonomi, hal itu sangatlah benar dan bantuan berupa beasiswa bisa dialihkan ke mahasiswa lain. Bukankah hal itu lebih bermanfaaat?
Ya, tidak salah memang.
“Tapi, Mbak, memangnya ayah dan ibumu tidak akan kepikiran dan merasa sangat bersalah kalau kamu memutuskan sepihak begitu? Bu Rara tahu kamu juga pasti punya pertimbangan yang matang, apalagi kamu anak rohis. Mengesampingkan hal itu pun, Bu Rara tahu, kamu pasti punya sesuatu yang ingin kamu kejar juga. Sesuatu yang benar – benar buat kamu sendiri, Mbak.”
.
.
.
“Sini, Rin, sini,” panggilan Lana yang melambai padaku dari arah mushala tata niaga.
Bagaimana mereka bertiga masih mengukir senyum dan menyambut seolah “Naya” tak pernah muncul kemarin membuatku terhenyak. Senyum yang terukir saat ini, rasanya justru membuatku ingin menangis. Kenapa … kenapa orang – orang ini masih peduli?
Aku … merasa sangat bersalah. Bukankah Allah sangat menyayangimu, Rin, dengan mengirimkan orang – orang ini ke dalam hidupmu? Dua dekade hingga akhirnya kamu dipertemukan dengan mereka memanglah waktu yang sangat lama. Bahkan, perundungan bertahun – tahun harus kamu hadapi dulu, kemudian orang yang secara jelas enggan menjalin pertemanan dekat denganmu, bahkan ditinggalkan berulang kali, namun apakah bagimu ini tidak sepadan, Rin?