Crush lu pernah masuk
ke dalam mimpi lu gak?
—Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Ini yang namanya pulang sekolah berkedok mirip Abang Grab tiap hari. Siapa pelanggan kurang ajarnya?
Jondara.
"Sampai kapan lu bakal nebeng kek gini terus?" Aku bertanya saat motor sudah tidak menyala lagi, tepat di pinggir jalan antara rumahku dan Jo, kutahan pergerakannya yang ingin segera meninggalkanku.
"Selamanya," jawab Jo tanpa pikir.
"Anjir! Masa gue harus jadi ojek lu tiap hari? Lagian lu kenapa enggak nyoba buat pake motor yang baru? Masa Jondara si kapten basket enggak bisa naik motor? Emak lu juga udah beliin itu mahal-mahal," ujarku, "Kalo gini terus sih bayarannya enggak sedikit, paling enggak motor baru lu buat gue bisa tuh ... ADUH, JO!" Dahiku diselintik dengan kuat, rasanya sungguhan seperti dilempari batu.
"Pamrih ya lu jadi manusia," katanya.
"Biar lu enggak nebeng lagi!"
"Gue bisa naik angkot!"
"Astaga, Jondara! Plis! Jangan bilang lu sayang make motor baru makanya pake alasan takut buat makainya."
"Kenapa lu mikir gitu!"
"Gue hanya menggunakan insting seorang manusia."
"Cih!" Jo tidak mengiyakan, justru ia berbalik hingga membuatku ingin menggelindingi tubuhnya dari atas gunung.
"Jo!" Tapi tiba-tiba ada hal yang menarik perhatian hingga aku menghidupkan motor dan berbelok untuk parkir di halaman rumahnya. "Manjat, Jo!" kataku lagi.
"Mulai ya lu, Dir. Gimana mau masak buahnya kalo selalu lu minta pas masih muda kayak gini?" tanya Jo memelas. "Gue capek, mau ganti baju ... ANDIRA, YA TUHAN YESUS!" Ia mencubit telinga kananku saat pergelangannya tengah berada dalam genggamanku, tapi bukannya menyerah, aku terus menyeretnya hingga ke bawah pohon mangga yang ada di halaman rumah tersebut.
"Lu udah nebeng kek enggak bisa berterima kasih aja, nih gue ajarin cara berterima kasih yang baik dan bener. Naik!" ujarku, sambil melepaskan tas sekolahnya yang bertengger di bahu.
Terdengar ia menghela napas. "Bener-bener ya lu, Dir. Kurang ajar, kurang asem, kurang gila!" ucapnya sambil mulai melakukan apa yang kumau.
Mau bagaimanapun, Jo tidak akan bisa menolak apa yang kuminta. Dia memang yang terbaik jika harus menjadi seorang sahabat, meski aku sering membuatnya kesal, tapi Jo tidak pernah menampakkan sisi di mana ia akan meninggalkanku. Lagian pun itu berlaku untuk beberapa hari ini di mana ia selalu berangkat dan pulang sekolah bersamaku, sebagai penumpang, membawa sebuah cerita di mana ia sedang tidak memiliki selera yang baik kalau naik motor sendiri. Aku juga baru tahu, kalau Jo ternyata punya sifat trauma yang begitu besar, namun hal itu tidak menghalangiku untuk terus mendorongnya agar berani. Aku yakin, Jo nanti pasti bisa naik motor sendiri lagi.
Buah mangga yang berukur remaja jatuh satu demi satu, betapa bahagianya aku melihat hal ini, rasanya seperti dihujani batang emas asli. Selagi Mama Jo belum terdeteksi keberadaannya untuk melabrak kami berdua, sebanyak Jo yang bisa pula ia mengambilkan buah dalam kesempatan ini. "Lagi, Jo! Lagi!" seruku, sambil mulai memungut buah yang jatuh dan memasukkannya ke dalam tas Jo. Seketika aku lupa fungsi tas bukan sebagai plastik, pasti yang tengah berjuang di atas pohon akan mengamuk setelah ini.
"UDAH AJA!" teriakku sambil mengambil buah terakhir yang dilempar olehnya, kemudian kuberlari meninggalkan area pekarangan rumah dengan sepeda motor yang masih terparkir di situ. Biar saja, daripada Kak Novan mencurinya sore nanti, lebih baik ditaruh tempat Jo saja, lagian dia sedang tidak bisa naik motor.
⋇⋆✦⋆⋇
Ternyata apa yang selalu Jo gendong di punggung saat bersekolah itu sama seperti sedang membawa jaminan hidup. Awalnya aku tidak berniat sama sekali untuk mengecek isi tas orang ini, tapi karena kurasa getah buah yang bercampur tanah sedikit mengotori isinya, terpaksa kulakukan itu untuk membersihkannya. Jadi, ada hal yang ingin kuutarakan karena jujur aku tidak mampu menyembunyikannya seorang diri. Kalian tahu, Jo punya pretelan yang tidak terlalu berguna juga di sini.
Kupikir hanya akan ada ATK dan buku-buku paket yang membosankan, tapi ternyata terdapat dua buku komik Detektif Konan dan satu buku novel yang bertemakan geng motor, itu lho karyanya MartabakKolor yang berjudul ECCEDENTIAST. Ya Tuhan, sedangkan kalau kita telaah Jo tengah dililit trauma yang cukup besar, ini sih antara kasihan dan lawak posisinya sebelas duabelas. Maaf Jo, aku lebih memilih untuk menertawakanmu di sini.
Selain itu ada dompet juga, aneh tidak sih kalau kita anggap Jo orang teledor? Soalnya di mana-mana orang akan lebih dominan meletakkan dompet di saku celana, tapi dia seakan cari masalah mau-maunya asal taruh di dalam tas begini. Bayangkan kalau benda pembungkus alat sekolahnya ini hilang, bukan cuma buku komik dan novel saja yang musnah, sebab ada surat menyurat, identitas diri, uang lima ribu lima ratus rupiah, kartu pelajar, SIM, dan bukti belanja bulanan yang harus ia setor untuk dilaporkan ke Mamanya. Kalau hilang, maka akan menyulitkan sekali pasti.
Namun, sepertinya bukan kehilangan yang membuat Jo akan kesulitan, tapi pemikiranku saja yang berlebihan. "Berisik!" Dan ini adalah tentang bagaimana nada dering ponsel Jo yang bersahutan melulu. Jika aku orang yang tidak mengerti apa itu sebuah privasi, pasti isi benda tipis digital tersebut sudah kuketahui isinya. Hampir tiap menit pasti berbunyi, hasilnya aku tidak bisa tidur siang hari ini. Maka, setelah beres sholat ashar aku berencana ke rumah Jo.
Just Andira!
Aku mengernyitkan dahi saat menemukan surat usang yang kertasnya tidak lagi berwarna putih, ini seperti coretan lama, bahkan pinggirannya sudah sobek-sobek. Tapi kenapa namaku?
Menyadari cerah tidak lagi menguasai fenomena, entah kenapa akhir-akhir ini pasti jatuhan airlah yang menang. Kupikir tidak ada waktu untuk memusingkan kertas mina ini, jadi setelah meluruhkan isi gangguan yang ada di dalam tas Jo, kumasukkan kembali barang-barang miliknya dengan buah-buah mangga yang sudah tertumpuk rapi dalam plastik. Sebelum hujan turun lagi, aku berlari menuju rumah Jo.
"Jondara!" Kuteriaki nama itu saat sampai di depan pintu rumahnya, dan ketika benda utama itu terbuka, angin kencang menerpa hingga rambut kami berdua tidak lagi terasa anteng. "Tas lu!" ujarku menyerahkan benda berwarna hitam favoritnya Jo.
"Cepat sebelum hujan!" Jo melempar tasnya ke atas sofa dan memutar tubuhku untuk segera bergerak, ia juga tidak lupa untuk membawa benda beroda dua yang terparkir sejak siang tadi di halaman rumahnya, meski ia tetap sebagai penumpang. "Emak gue masak bubur buat Anandra," katanya saat aku mulai menjalankan motor.
"Buat Anan doang?" tanyaku.
"Yang sakit cuman dia, Andira! Gue aja enggak dapat ya!" jawabnya sambil menoyor kepalaku dari belakang, seandainya belum sampai di rumah Anan, mungkin kami akan terus berdebat karena bubur buatan Mama Jo adalah yang terbaik. Aku saja rela makan itu tiap hari meski tubuh sehat-sehat saja. "Kayak kenal mobilnya siapa," ujar Jo saat menyadari sebuah mobil putih juga tengah terparkir di halaman rumah Anan.
Omong-omong, Anan sedang sakit sejak dua hari yang lalu. Tepat setelah dia hujan-hujanan untuk mengantar Renata lagi dan lagi. Makanya, tiap habis ashar, aku dan Jo akan main ke rumahnya entah untuk menjenguk atau membuat keributan yang membuatnya semakin sakit kepala.
Sama seperti peristilahan yang dibuat Mama Jo, rumah kami adalah rumah kamu juga, maka berlaku pula saat di rumah Anan. Kebetulan Mama Anan adalah wanita karir, jadi beliau jarang di rumah (kecuali weekend) meski sungkan juga kalau harus meninggalkan anaknya yang sedang sakit sendirian. Tapi sebagaimana si tunggal penurut, Anan meminta beliau untuk fokus saja bekerja, dan dia justru menjual namaku dan Jo untuk merawatnya. Padahal, kesehatan Anan jauh lebih berbahaya kalau diurusi oleh kami berdua.
"Kalau kayak gini namanya, aku enggak bisa sama kamu, Andra. Aku enggak mau punya masa depan yang penyakitan."
Pergerakan kami terhenti saat Jo menahan bahuku untuk tidak langsung menyelonong ke kamar, sebab ada Renata di sana, dari suaranya, kami tahu jelas gadis itu sedang bersama Anan. Untuk tahu apa saja pembicaraan mereka sebelumnya, mungkin kami kurang cepat datang ke sini, dan sialnya ucapan Renata barusan sedikit membuatku marah. Masa karena sakit gara-gara kena hujan sebentar langsung dikatai penyakitan? Dasar gadis pemilih!
"Jo ... hhmmppt!" Mulutku dibekap seiring tubuh yang juga ikut serta menyamai pergerakan Jo, kami mundur, betapa mudah sekali ia menyeret tubuhku untuk menjauh dari sekitar kamar Anan tadi. "Kenapa?" tanyaku kesal.
"Lu harus paham di mana letak percakapan seseorang yang udah termasuk privasi," ujar Jo, mulai menjauhiku dan mencari benda-benda dapur di tempat kami berada sekarang. "Mending kita buat sesuatu untuk Anandra sambil nunggu Renata pergi," katanya.
"Privasi apaan? Itu keterlaluan, lu enggak ngerti masalah privasi," sahutku kesal padanya.
"Jadi menurut lu privasi itu cuman masalah yang kayak gini?" Jo memegang kedua tanganku setelah berhasil menubrukkan punggung belakangku di pintu kulkas, bukan, ini lain tentang di mana Jo yang bisanya menempeleng kepalaku. Sebab tanpa bisa kulawan, ia mendekatkan wajah hingga hembusan napasnya mampu meraba permukaan kulit pipiku. "Privasi bukan tentang tindakkan yang berlebihan gini ya, Andira. Karena ada isi percakapan juga yang bisa kita bilang privasi." Dia berbisik, dan itu sedikit menganggu kestabilan detak jantungku.
"Maaf." Sebelum aku sempat menyahut, bibirnya sudah mendarat di atas bibirku.
Tbc;