Cio memarkirkan motornya di halaman rumahnya setelah menjemput Ananta, adik satu-satunya. Ananta sudah masuk ke rumah mereka lebih dulu. Cio memilih untuk duduk di teras sebentar, lalu membuka ponselnya, melihat pesan yang masuk saat dia dalam perjalanan pulang.
Pesan dari Angga yang mengajaknya datang ke kafenya. Cio hanya membalas pesan itu dalam pikirannya, lalu menutup ponselnya lagi dan masuk ke dalam rumah. Melihat Ananta yang sedang bersiap memasak di dapur, dia menghampiri adiknya sambil mengambil minum.
“Masak buat kamu aja, abang mau ke kafenya Angga nanti.” Cio meminum habis air dalam gelas yang ada di tangannya. Ananta mengangguk, lalu tangannya mengambil dua telur dari dalam kulkas.
“Aku boleh ikut, ga? Lagi ga ada PR, gabut juga di rumah ga ada kegiatan.” Ananta berbicara sambil sibuk memotong bawang putih di tangannya.
Umur Cio dan Ananta hanya berjarak 2 tahun. Tubuh mereka tumbuh hampir sama besar, bahkan mereka sering kali dianggap sepasang kekasih. Cio tidak pernah keberatan sering dianggap pacar adiknya, setidaknya itu akan menjaga adiknya agar tidak didekati sembarang laki-laki.
“Kayaknya bakal balik malem. Gapapa?” Cio meletakkan gelas yang sudah selesai dicucinya ke rak pengering. Ananta hanya mengangguk dan paham kalau hari ini dia lebih baik diam di rumah, karena artinya abang kesayangannya itu akan pulang lewat dari jam 12 malam. Ananta tidak suka tidur terlalu malam karena akan merusak moodnya jika dia kurang tidur. Cio melangkah ke kamarnya, setelah melihat Ananta memahami maksudnya.
“Abang laper, bikinin juga ya.” Cio sempat membalikkan badannya sebentar sebelum kembali berjalan ke kamarnya. Ananta hanya tersenyum melihat kelakuan abangnya.
Ananta tahu abangnya itu akan tetap minta masakannya, walaupun dia akan pergi. Dia juga tau kalau Cio melakukan itu untuk menghiburnya yang tidak bisa ikut pergi. Cio tahu Ananta akan sangat senang ketika dia menikmati hasil masakan Ananta sesederhana apapun.
Hal-hal kecil yang Cio lakukan untuk Ananta sangat berharga, mengingat mereka sejak kecil menjadi anak yatim. Sejak saat itu kehangatan rumah berubah menjadi kedinginan yang begitu menusuk dan melukai mereka.
Sejak kepergian Ayah mereka, Cio yang selalu menjaga Ananta. Ananta ingat betul genggaman tangan Cio tidak pernah lepas dari tangannya, bahkan sampai saat ini. Ibunya, Risma sibuk berduka dan bekerja untuk menghidupi kedua anaknya serta menutup hutang-hutang selama pengobatan sang Ayah.
Masih lekat dalam ingatan Ananta, saat dia duduk di bangku SD kelas 6. Seperti anak perempuan lainnya, dia mengalami masa menstruasi pertamanya. Bukan Ibunya yang pertama kali mengetahuinya, tapi Cio. Cio bahkan mengajarinya cara memakai dan menjelaskan macam-macam pembalut. Entah dari mana Cio begitu paham tentang masa datang bulan perempuan, itu masih jadi pertanyaan Ananta sampai sekarang.
Orang-orang mungkin hanya tahu Emancio Antonio adalah orang yang cuek, dingin dan cenderung temperamental tapi di depan Ananta, Cio adalah seorang kakak yang manis dengan caranya sendiri. Cio selalu membuat Ananta menjadi utuh. Meskipun ruang yang ia miliki untuk Ayahnya masih memiliki kekosongan. Hanya saja berkat Cio, Ananta lebih mudah melewati rasa kehilangannya. Ananta bersyukur, dia memiliki Cio sebagai abang.
Ananta begitu gesit membuat menu makan malam kali ini. Bakmie Jawa khas Ananta, resep dari Neneknya. Ibu dari Ayahnya yang sering datang ke rumah saat mereka baru saja meninggal dunia. Ananta begitu merindukan Neneknya dan memutuskan membuat bakmie resep dari sang Nenek.
“Bikin bakmie?” Cio menghampiri Ananta yang sedang mengoreksi rasa bakmie buatannya. “Mau dong.” Cio mendekatkan mulutnya ke atas wajan, lalu suapan pertama dari Ananta mendarat ke dalam mulutnya.
“Awas panas.” Ucap Ananta. “Gimana, pas?” Cio hanya memberi jempolnya sebagai tanda rasanya sudah pas dan enak. Ananta tersenyum puas, lalu mengambil piring dan segera menyajikannya untuk makan malam mereka berdua. Cio berjalan menuju sofa depan TV dan mulai menonton acara Upin Ipin yang jadi tontonannya.
Cio menerima piring dari Ananta, dan adik perempuannya itu duduk di karpet bulu berwarna hitam yang berada di depan Cio lalu meletakkan piringnya di meja. Mereka berdua menikmati makanan masing-masing sambil menikmati tayangan Upin Ipin di TV.
“Besok kayaknya aku bakal balik malem deh, Bang.” Tangan Ananta menadah ke arah Cio, meminta piring Cio yang sudah kosong. “Aku sama grup dance aku harus Latihan tambahan buat lomba bulan ini.”
“Boleh. Mau abang jemput?” Cio mengambil piring dan gelas milik Ananta, lalu berjalan menuju tempat cuci piring. Ananta tersenyum melihat perlakuan abangnya yang begitu manis. “Balik jam berapa?” tanya Cio sambil menyibukkan tangannya mencuci piring gelas yang mereka pakai.
“Jam 8-an harusnya udah selesai. Mau jemput?”
“Boleh.” Cio kini meletakkan piring dan gelas yang baru dicucinya di rak pengering. Seketika pikiran Cio terusik oleh Nara. Mungkin kalau bukan karena obrolan kedua teman pengurus OSISnya dia akan biasa saja. Cio memandang Ananta sekilas. Haruskah dia bertanya pada adiknya?
“Dek!” Cio memanggil Ananta dengan ragu.
“Hmm” Ananta menjawab tanpa melepas pandangannya dari TV.
Cio cukup lama terdiam sambil menimbang pertanyaan yang tepat. “Ga jadi.”
Cio menyerah. Dia tidak menemukan kalimat yang pas untuk ditanyakan pada adiknya. Entah apa yang diragukan atau ditakutkan laki-laki itu.
“Okay.” Ananta mengangguk lalu kembali fokus menonton TV tanpa sedikitpun rasa penasaran. Abangnya pasti sedang kesulitan untuk mengungkapkan sesuatu, pikirnya. Sedangkan Cio yang sudah selesai dengan kegiatan mencuci piringnya, mengambil ponsel di meja kecil dekat sofa. Lalu masuk ke kamarnya untuk bersiap pergi ke kafe milik Angga.
“Abang mau berangkat sekarang?” Ananta menoleh pada Cio yang sedang bersiap menggunakan jaket hitamnya.
“Iya. Kamu hati-hati ya di rumah.” Jawab Cio sambil menarik resleting jaketnya. “Nanti Ibu balik jam 11, kunci pintunya jangan lupa dicabut.” Lanjutnya.
“Okey. Abang hati-hati di jalan.” Ananta memperhatikan Cio yang mengangguk sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Suara motornya mulai menjauh, tanda pemiliknya sudah pergi dari rumah.
* * *
Nara yang kini berdiri di depan gerbang rumahnya, sesekali melihat ke arah jam di tangannya. Hari ini ketiga gadis itu Nara, Tania dan Ruby akan pergi ke mall. Tania mengajaknya untuk membeli beberapa buku mata pelajaran baru dan buku persiapan masuk kuliah. Nara juga perlu membeli buku, karena dia mulai kekurangan bahan bacaan untuk mengisi blognya. Sedangkan Ruby, mungkin dia akan mengikuti dua sahabatnya mencari buku karena Ruby belum membutuhkan buku baru.
Sedikit lebih lama Nara menunggu, akhirnya mobil yang ditumpangi Tania dan Ruby mulai terlihat dan mulai mendekat ke arah Nara. Nara menunggu dengan sabar, sampai mobil terparkir sempurna dan kaca pintu mobil yang mulai bergerak turun.
“Sorry. Macet bentar tadi di dekat komplek.” Tania muncul dari balik kaca itu. “Ayok!” tanpa banyak bicara Nara masuk ke dalam mobil Tania.
“Cuma beli buku, kan?” Tanya Nara saat mendudukan dirinya dengan nyaman di mobil. Tania hanya mengangguk sebagai tanda ‘Ya’.
Mobil mereka melaju dengan lancar membelah jalanan. Hari ini jalanan agak sedikit sepi, mungkin karena baru saja hujan dan masih menyisakan gerimis di beberapa tempat yang mereka lewati. Nara menatap keluar mobil, menikmati pemandangan jalan.
Di sisi lain, Tania merasa ada yang salah dengan Nara. “Lo nggak papa, Ra?” Tania memecah keheningan yang terjadi sedari tadi. “Kalo ada masalah jangan dipendam. Lo masih punya gue sama Ruby.” Tania yang masih fokus dengan kemudinya, sesekali menatap spion dashboard mobilnya.
Nara masih terdiam, dia merasa hangat dengan ucapan Tania. Disatu sisi Nara merasa beruntung, di sisi lain dia juga merasa menjadi beban kedua sahabatnya. Itu kenapa, Nara seing menguatkan dirinya bahkan tak jarang berbohong sepert malam ini.
“Nggak ada apa-apa kok. Gue Cuma lagi capek aja.”
“Tadi lo ga jadi latihan kenapa?” Ruby ikut penasaran dengan sikap Nara hari ini.
“Gapapa, cape aja.” Nara jujur, dia memang sedang kelelahan setelah menghadapi dirinya sendiri atas kejadian tadi siang.
“Terus kenapa ikut? Harusnya lo tidur di rumah sekarang.”
“Ya gue mau nyari buku buat materi baru blog gue.”
Tania hanya menghembuskan nafas panjang. Setidaknya sekarang Nara baik-baik saja, artinya kejadian tadi siang di sekolah tidak banyak berdampak pada sahabatnya itu. “Syukurlah kalau lo baik-baik aja.”
“Eh, nanti kita mampir ke kafe baru yuk!” ucap Ruby. Mencoba mengalihkan suasana. “Kafenya keren. Katanya sih makanannya enak di sana. Kopinya enak ga ya?”
“Dimana, By?” Tania menjawab sambil fokus mengemudi.
“Yuk! Lama banget kita nggak ngopi. Bosen banget akhir-akhir ini sibuk latihan doang kelar sekolah.” Nara memajukan badannya ke ponsel Ruby. “Coba liat cafenya!”
“Nih! Bagus kan? Nggak jauh juga dari mall.”
Tak butuh waktu lama, mobil Tania sudah sampai di basement mall dan memarkirkan mobilnya dengan rapi. Ketiga gadis itu langsung menghabiskan waktu mereka mencari buku dengan santai. Waktu berlalu dan ketiga gadis itu sudah kembali dari toko dan masuk ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke kafe.
****
Semakin malam, jalanan jadi lebih ramai. Mungkin karena hujan sudah tidak lagi turun. Kafe tujuan mereka begitu ramai, mungkin karena masih baru, jadi masih banyaj yang penasaran dengan kafe itu. Tania dan Ruby keluar lebih dulu. Sedangkan Nara sedang memberi pesan pada Ibunya kalau dia sedang di kafe. Tiba-tiba perasaan Nara menjadi sedikit tidak nyaman, perut bawahnya sedikit nyeri. Nyerinya menjalar cukup kuat ke punggung bagian bawah.
Tok.. Tok..
Ruby mengetuk jendela di samping Nara, memintanya untuk segera turun. Nara mengabaikan perasaannya saat itu, lalu keluar dari mobil dan menyusul kedua sahabatnya. Nara berjalan sedikit tidak nyaman. Dia harus ke kamar mandi segera.
Nara memandangi sekitar kafe mencari tulisan toilet berada, tapi tiba-tiba tangan kirinya ditarik membuat Nara kehilangan keseimbangan. Syukurnya tubuhnya masih stabil saat dia berbalik dan melihat orang yang menariknya tadi.
Nara membeku saat orang itu- Cio memasang jaket kulit hitamnya melingkari pinggang Nara dengan bagian panjangnya menutupi celana putih Nara.
“Ikut gue!” Tangan Cio kembali menarik Nara keluar kafe. Nara rasa saat ini dia kehilangan akal sehatnya karena dia mematuhi Cio yang kini masih menariknya sampai ke tempat parkir.