Hawa sejuk setelah hujan memang begitu menenangkan. Bau tanah yang basah menyelimuti setiap indra penciuman makhluk yang berada di dalamnya. Hembusan angin yang begitu lembut menyapu wajah Nara yang sejak tadi masih melongo sejak tangannya ditarik oleh Cio.
"Lepas!" Ucap Nara saat kesadarannya kembali dan menghentikan langkahnya di tengah-tengah tempat parkir kafe yang baru saja dia datangi. Tangannya ditarik dalam sedetik dari tangan besar Cio. Langkah Cio ikut terhenti, kini berbalik menghadap gadis yang sedari tadi berada di belakangnya.
"Lo ap---"
"Lo emang selalu ceroboh, ya." Cio memotong ucapan Nara dengan sedikit frustasi. Nara membulatkan matanya tak percaya. Laki-laki yang baru saja menarik tangannya dan kini tangannya mulai merasa sakit, justru dia juga yang mencelanya? "Lo harusnya bisa liat jadwal mens lo. Jangan ceroboh, apalagi pake celana warna putih kaya gini."
Ah! Nara mulai menyadari hal yang sedang dibicarakan. Tangannya menyentuh jaket yang terikat di pinggangnya. Sepertinya perasaan yang sejak tadi mengganggunya, menemui jawabannya. Mukanya benar-benar malu sekarang. Sejak tadi, dia menahan dan menunggu waktu untuk bicara tapi akhirnya ditelannya semua kalimat yang disiapkan.
"Lo bawa pembalut?" Cio berbisik sambil memandangi sekitar. Nara membeku saat wajah Cio mendekat dan berbicara padanya. Nara bisa merasakan sedikit hembusan nafas laki-laki itu. Matanya justru salah fokus pada bibir Cio yang terlihat alami. bibir yang terlihat lembab dengan warna pink. 'Cio perawatan bibir kali ya?' Batin Nara.
Cio yang tidak menemukan jawaban dari menjentikkan jarinya di jidat Nara dan membuat gadis itu mengerjapkan matanya. "Aww.. Sakit Cio!" Nara mengelus jidatnya. Cio terkekeh melihat tingkah Nara, matanya sedikit menyorot wajah Nara yang saat ini sedang terlihat lucu. Tanpa sadar dia tersenyum, ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya.
"Ehem. Lo bawa pembalut ga? Kayaknya lo bocor deh." Cio berdehem untuk menetralkan perasaannya. Mendengar pertanyaan Cio, Nara langsung membuka tasnya untuk memeriksanya.
"Sial! Ga bawa lagi. Gimana dong?" Ucap Nara yang sedikit panik.
"Ya ud—" Ucapan Cio terpotong saat ponsel Nara berbunyi.
"Tania." Nara memberitahu Cio. "Bentar gw angkat dulu." Nara sedikit menjauh dari Cio.
"Halo"
"Gue nggak papa."
"Iya sama Cio."
"Aman ko aman."
"Gue kayaknya mau balik." Lama Nara terdiam, lalu memandangi Cio sebentar sebelum mengedarkan pandangannya ke arah lain.
"Kayanya gue balik naik taksi online." Tiba-tiba nara merasa ponselnya ditarik oleh seseorang. "Eh!..."
"Nara balik sama gue. Dia mens, jadi ga mungkin balik naik taksi." Ucap Cio dengan santai. Nara lagi-lagi terkejut dengan sikap Cio. Nara sejak tadi menjaga mulutnya agar tidak menyebut kalimat tabu itu di depan Cio, justru laki-laki itu yang menyebutkan penyebabnya. Cio benar-benar tidak bisa ditebak oleh Nara. Nara benar-benar malu sekarang. Rasanya ingin menghilang saat ini juga.
"Iya tenang aja. Gue antar sampai rumah dia." Cio menatap Nara sebentar. "Iya bawel! Udah gue anter Nara dulu!" Cio menutup telponnya sepihak. Lalu memberikan ponsel itu ke pemiliknya.
"Kita ke minimarket dulu." Ucap Cio sambil menyerahkan helm miliknya. Nara menerima dengan tangannya. Untungnya tadi Cio menjemput Randy, jadi Cio menggunakan helm Randy. Bukan apa, hanya takut Nara tidak nyaman kalau-kalau ada bau tidak sedap. Kalau helm milik Cio sudah pasti wangi, dia selalu mencuci helmnya setiap 3 hari sekali.
Cio menatap Nara yang menggunakan helm miliknya, entah sejak kapan dia mau meminjamkan miliknya ke orang lain. Mungkin Cio sedang bersimpati kepada Nara. Dia manu menolong gadis itu, mungkin sekalian juga meminta maaf soal kejadian tadi siang.
Cio tiba-tiba teringat tentang kejadian itu. "Ra.."
"Hmm" Nara menjawab sambil fokus mengunci pengait helm agar lebih aman.
Lama hening. Cio seperti menahan lidahnya untuk bergerak. "Nggak jadi. Udah? Naik!"
Nara terlihat bingung dengan sikap Cio. Sebenarnya Nara penasaran kenapa Cio tidak jadi mengatakan apapun, tapi wangi harum menyeruak di penciuman Nara membuatnya salah fokus. Cio kayanya rajin cuci helmnya deh, batinnya. Nara menebak kalau Cio memang anak yang rapi dan terawat.
Nara memperhatikan Cio menyiapkan motornya sebelum dia naik ke bagian belakang motor Cio. Nara melangkahkan kaki dan memposisikan dirinya senyaman mungkin dengan jaket Cio yang masih melingkar di pinggangnya. Lagi-lagi indra penciumannya menangkap wangi yang berbeda, ada sensasi segar tapi juga lembut yang menyapanya bergantian. Cio benar-benar wangi.
"Udah siap?" Cio masih memperhatikan Nara. "Ra!" Cio mengeraskan suaranya saat tidak mendapatkan jawaban dari Nara.
"Eh, iya ayok." Ucap Nara.
Nara dan Cio tidak pernah sedekat ini. Ini sensasi baru untuk Nara. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat,tapi ini bukan gejala kecemasan yang biasanya dirasakan. Ada sensasi baru saat Nara mengingat ketika Cio tanpa banyak bicara berhasil menyelamatkannya dari rasa malu yang mungkin lebih besar lagi ketimbang Nampak ceroboh di depan Cio. Seulas senyum Nara terlukis saat mengingatnya.
Motor besar milik Cio mulai melaju membelah jalanan. Tangan Nara refleks mencengkram kaos Cio disamping pinggangnya. Cio mengambil tangan Nara dan memposisikannya melingkar di pinggang Cio. Nara cukup terkejut dengan tingkah Cio.
"Gue mau ngebut, lo pegangan yang kenceng!" Ucapnya sedikit berteriak karena helm fullface milik Randy menutupi mulutnya. Cio menambah laju kecepatan motornya setelah Nara menuruti perkataannya.
****
Minimarketnya tidak begitu jauh dari kafe, jadi mereka tiba dengan cepat. Nara langsung turun saat Cio memarkirkan motornya di depan minimarket. Nara langsung membuka helm dan pamit masuk ke dalam minimarket. Cio mengangguk dan memperhatikan Nara dari jauh.
Cio menyusul Nara ke dalam minimarket setelah melihat gadis itu masuk ke toilet di sana. Cio membeli kopi kaleng untuknya dan minuman untuk Nara. Minuman jamu yang biasa dibeli perempuan saat sedang haid. Cio keluar dari minimarket sebelum Nara, dia menuju ke apotik di sebelah minimarket untuk membeli pereda nyeri untuk Nara.
Keluar dari apotik, Cio melihat Nara yang sedang duduk di kursi pengunjung minimarket. Cio menatap obat pereda nyeri dan minuman di tangannya. Entah apa yang sedang Cio lakukan untuk gadis itu. Saat ini baginya, dia sedang merasa kasihan pada Nara. Saat-saat ini mengingatkannya ketika adiknya diejek oleh teman sekolah karena tidak mengerti soal menstruasi.
Mungkin rasa simpati yang tumbuh karena kejadian itu yang membuatnya melakukan ini. Cio membiarkan pikirannya terbang begitu saja, lalu menghampiri Nara.
"Siapa tahu lo butuh?" Cio memberikan minuman dan obat pereda nyeri it uke meja depan Nara. Nara cukup terkejut saat melihat Cio memberikannya jamu khusus untuk menstruasi dan Pereda nyeri yang memang untuk meredakan sakit kram perut yang biasanya diminum waktu dia sedang dalam periode bulanannya.
"Lo tahu soal barang-barang kaya gini?" ekspresi Nara tidak pernah bisa disembunyikan. Antara tidak percaya dan penasaran, membuat wajahnya begitu lucu di mata Cio.
"Gue punya adek cewek, makanya gue tahu. Gue bahkan tahu jenis-jenis pembalut, kalau lo penasaran." Cio terkekeh saat mendapati Nara yang lebih terkejut mendengar ucapan Cio yang terakhir.
"Lo ga malu gitu? Ya... Lo ngerti—"
"Ngga sih. Lagian gue di rumah tuh laki-laki sendiri, jadi gue harus belajar soal ini. Kasian kalo nyokap harus handel sendirian." Ucap Cio santai. Nara mengangguk memahami maksud Cio. "Lo biasanya minum kaya gini juga?" tanya Cio.
"Biasanya hari kedua tuh kaya mau mati sih. Kalo hari pertama gini, masih bisa gue toleransi sakitnya. Untung besok libur, jadi gue bisa bebas rebahan di rumah." Nara menyengir saat membayangkan besok hari beratnya akan dilalui di rumah, bukan di sekolah. Senyuman Nara hilang saat dia baru menyadari bahwa dia baru saja membahas hal tabu dengan laki-laki yang bahkan baru akrab karena hal yang sama.
"Kenapa?" tanya Cio yang menyadari perubahan ekspresi Nara.
"Ngga sih. Kaya aneh aja. Biasanya cowok tuh suka cuek soal menstruasi, tapi justru lo perhatian soal hal yang kayaknya jarang banget ada cowok , mau paham soal ini." Nara membuka minuman dari Cio dan meminumnya beberapa tegukan.
"Kaya yang gue bilang. Adek gue setiap bulan bakalan nyari gue soal kaya gini. Makanya gue udah biasa." Cio menghabiskan kopi kaleng di tangannya.
"Perempuan di sekitar lo pasti beruntung punya lo di sampingnya." Ucap Nara.
"Kaya lo sekarang?" Ucap Cio yang menggoda Nara, sedangkan gadis itu terkejut ketika laki-laki yang terkenal cuek, dingin dan kaku ini berubah 180 derajat menjadi pribadi yang perhatian, hangat dan sedikit bisa bercanda. Nara terkekeh menanggapi candaan Cio.
"Ternyata lo nggak se-menakutkan itu, ya?" Nara menutup botol jamunya yang sudah kosong lalu membuangnya ke tong sampah di dekatnya.
"Don't judge a book by the cover, ya Nara." Cio bangkit menuju motornya saat tahu minuman Nara habis. "Dan gue ngelakuin ini, karena keinget adek gue." Cio memberikan helmnya ke Nara.
"Iyaa iyaa. Thank you ya wakil ketua kelas yang galak!" Nara menjawab dengan nada meledek.
"Ra, gue minta maaf soal tadi ya." Kalimat itu akhirnya lolos dari mulut Cio. Nara menghentikan tangannya yang sedang mengunci pengait helmnya. Nara tidak menyangka kalau Cio akan meminta maaf padanya.
"Lo selalu gini tiap habis marahin orang?" Tanya Nara memastikan. Sedangkan Cio merasa aneh dengan pertanyaan Nara. "Maksud gue, lo tiap habis marah sama orang, terus lo minta maaf?" menyadari ekspresi Cio yang semakin bingung akhirnya Nara menarik lagi pertanyaannya.
"Udah ga usah dipikirin pertanyaan gue. Gue udah maafin lo, lagian itu emang salah gue juga. Lagian yang salah bukan ucapan lo, cuma emang gue ga bisa dibentak aja." Ujar Nara dengan lembut.
"Yok balik!" Titah Nara. Sedangkan Cio masih mencerna pertanyaan Nara. Cio kembali fokus pada kemudinya dan mengantar Nara ke rumahnya.
Tak ada percakapan lagi sepanjang perjalanan, Nara merasa sedikit bersalah dengan kalimat yang dia tanyakan tadi. Padahal Cio berusaha meminta maaf, tapi malah Nara merusak momennya. Mereka berdua tenggelam dengan pikiran masing-masing, sampai motor Cio terparkir di depan gerbang rumah Nara.
"Thanks ya!" Nara memberikan helm milik Cio. "Soal ucapan gue tadi, ga ada maksud apa-apa. Lo nggak usah pikirin. Makasih ya udah mau minta maaf." Lanjut Nara. Gadis itu menatap Cio yang sedang mengikat helm yang baru dipakainya.
"Jaket lo gue cuci dulu, besok gue balikin." Cio masih diam dan hanya mengangguk. Nara masih menunggu Cio mengucapkan sesuatu, tapi nihil. "Ya udah gue masuk dulu. Thank you udah nolongin gue malam ini."
"Iya sama-sama. Dah sana masuk dulu. Baru gue pergi." Cio akhirnya berbicara. Nara membalas dengan anggukan dan berbalik menuju ke gerbang rumahnya.
****
Cio meletakkan kunci motornya di nakas ruang tamu. Dia menyandarkan dirinya di sofa empuk dan memejamkan matanya sebentar. Tangannya yang dingin mengusap wajahnya menghilangkan kantuk yang sudah menderanya.
Pikirannya melayang ke setiap momen saat bersama Nara tadi. Entah apa yang ada dipikirannya sampai ia harus melakukan hal-hal yang tidak biasa dia lakukan kepada orang lain.
"Lo selalu gini tiap habis marahin orang?" pertanyaan itu terus memenuhi kepalanya sejak tadi. Cio biasanya akan melupakan apapun yang sudah dia lakukan. Apalagi kalau hal yang membuatnya marah itu melanggar prinsipnya. Marah ya marah saja, tapi apa yang sejak tadi mengganggu pikirannya?
Sejak di ruang rapat OSIS, tepatnya setelah mengetahui kondisi Nara. Dia terus memikirkan gadis itu. Bahkan ketika dia harus mendapati Nara berjalan melewatinya dengan noda merah di bagian belakang tubuhnya.
Padahal dia bisa saja mengabaikan gadis itu. Entah dorongan dari mana yang membuat Cio berbuat begitu jauh. Apa karena simpati? What do you think, Cio?