Pagi ini terasa amat mencekam bagi Nita. Awalnya dia merasa hal itu biasa terjadi di hari-hari pembagian nilai setelah UTS berlangsung seminggu penuh kemarin, tetapi nyatanya memang ada yang lain. Sejak dia mengikuti pelajaran di awal jam hingga bel istirahat berbunyi, banyak yang memperhatikannya.
Nita mencoba bersikap biasa saja demi meneguhkan perasaannya. Dia melangkah sedikit cepat menyusuri koridor untuk mencapai kantin dan membeli air mineral, namun langkahnya terpaksa berhenti kala sebuah telur dilempar padanya. Nita menunduk saat kulit telur jatuh ke kakinya setelah menodai kepalanya, kemudian dia mendongak.
"Lo beneran pacaran sama Fathir?" Pertanyaan itu adalah kalimat pertama yang Nita dengar alih-alih sebuah permintaan maaf.
"Bukan," elak Nita.
Gadis di depan Nita merebut lembaran foto-foto di tangan temannya untuk dia lempar ke wajah Nita. "Itu apa?" bentaknya.
Nita menemukan wajahnya dan wajah Fathir dalam foto-foto itu yang diambil saat dia menghabiskan waktu berdua di taman belakang sekolah. Itu berarti ada yang memergoki mereka selama ini dan menyebarkan gosip itu.
"Lo siapa? Dari keluarga mana? Kenapa lo bisa-bisanya deket sama Fathir? Jawab!"
Nita tertegun, tak bisa menjawab. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa dia hanya seorang anak pembantu yang punya banyak utang di keluarga Fathir yang kaya raya.
"Heh, lo bisa ngomong nggak sih?!"
"Minggir!" Teriakan lain yang lebih menginterogasi berhasil membuat kerumunan menepi untuk memberinya jalan. Murid-murid di sana berbisik-bisik mencaci Nita yang sudah berhasil menjadi santapan kakak kelas paling ditakuti di sekolahnya.
Si pelempar telur berkacak pinggang, dia menatap gadis yang baru saja berdiri di depan Nita dengan tatapan intens. "Geby, dia orangnya. Anak kelas sepuluh dari IPS satu, namanya—"
"Nita Khoerul Nisa," potong Geby.
Kerumunan ikut terkejut seperti Nita saat Geby mengalunkan nama yang menurut mereka beruntung bisa diingat oleh seorang Geby.
"Lo udah tahu?"
Geby tersenyum ke arah gadis pelempar telur itu sambil melipat lengannya di depan dada. "Dia cuma anak pembantu di keluarga Amartha. Lo bisa jadiin dia babu di sini, Jess.”
Yang dipanggil Jess langsung tertawa tanpa bisa ditahan, seolah Geby baru saja mengeluarkan lelucon paling lucu. Begitupun seluruh murid yang berkerumun, tak ada satupun yang mengasihani Nita. Seolah-olah itu adalah sebuah risiko bagi Nita karena berani berurusan dengan Fathir.
"Kalian nggak perlu khawatir, gue nggak ada hubungan apa-apa sama Fathir. Dia cuma majikan—"
"Siapapun yang berani menyakitinya, akan berhadapan sama gue!" Suara bass milik Fathir langsung mengunci pergerakan mulut seisi koridor. Anak laki-laki itu mengentakkan langkah kakinya hingga terdengar bagai dentuman bagi siapa saja yang menyaksikan.
"Lo nggak ada hak ya nyakitin dia!" tunjuk Fathir ke arah Geby.
"Ada, karena dia udah berani menyukai kamu, Thir."
"Gue juga suka sama dia, itu bukan kesalahan. Jadi mending kalian bubar, bubar!"
Jess teramat takut dengan amukan Fathir. Dia langsung menarik lengan Geby dan membawa gadis angkuh itu meninggalkan tempat. Kini yang tersisa hanyalah dua insan berbeda jenis kelamin, juga berbeda kasta jika perlu Nita tambahkan.
Fathir dapat melihat bulir air mata berjatuhan dari pipi Nita. Dia ingin bertanya, tetapi itu lebih dari cukup untuk menjelaskan bagaimana keadaan gadis itu. Nita sedang tidak baik-baik saja, perlakuan Jess dan Geby beberapa saat yang lalu berhasil melukai hatinya.
"Ayo, kamu harus membersihkan rambutmu." Fathir mengulurkan lengan kokohnya demi mengalungi bahu sempit Nita, kemudian membawa gadis itu menuju toilet. Di depan wastafel toilet perempuan, Fathir langsung masuk tanpa mengindahkan tatapan siswi-siswi yang terkejut dengan kehadirannya. Fathir hanya fokus pada satu hal; membantu Nita membersihkan rambutnya dari telur.
###
Nita mempunyai kegiatan lain sepulang sekolah. Jika biasanya dia akan membantu ibunya di rumah besar keluarga Amartha, sudah beberapa hari ini dia bekerja separuh waktu dari jam pulang sekolah hingga jam sepuluh malam.
Awalnya Sita menolak mentah-mentah, tidak ingin putrinya lelah, apalagi sampai mengorbankan waktu istirahat dan belajar. Namun, Nita meyakinkan kepada ibunya bahwa dia akan baik-baik saja.
Selain Sita, Fathir yang mengetahui hal itu pun ikut menghalangi Nita bekerja. Anak laki-laki itu terus memperhatikan Nita bekerja jika tidak punya kegiatan. Seperti saat ini, Fathir sudah duduk manis di meja berpayung besar depan minimarket tempat Nita bekerja sembari memandangi gadis itu. Ah, bagi Fathir tidak ada hal yang lebih indah untuk dipandang selain wajah kekasihnya.
Nita memasukkan semua belanjaan pelanggan di depannya. Tersenyum ramah, Nita menyerahkan kantung kresek berisi belanjaan kepada pelanggan tersebut. "Totalnya jadi lima puluh dua ribu lima ratus rupiah, Bu."
"Uangnya seratus ribu rupiah ya, Bu. Kembalinya jadi empat puluh tujuh lima ratus rupiah. Terima kasih, silakan datang kembali."
Mengembuskan napas kesal, dengan sekali entakan kaki Nita berhasil membawa Fathir kembali ke kenyataan. Anak laki-laki itu langsung tersenyum lebar mendapati anak perempuan manis di depannya merajuk.
"Kamu nggak ada kerjaan ya? Mending pulang sana, bisa istirahat di rumah. Ngapain sih di sini? Udah tiga hari lho kamu kayak gini? Nggak capek?" cicit Nita.
Fathir mengulum bibir mendengarkan petuah panjang Nita. Agaknya baru kali ini melihat orang marah-marah membuat mood-nya naik. "Aku emang lagi nggak ada kerjaan. Kenapa aku nggak pulang? Karena di rumah nggak asik kalau nggak ada kamu, lagian kita kan serumah, harus pulang bareng dong. Dan, kalau kamu tanya aku capek apa nggak, jawabannya jelas nggak. Masa nemenin cewek sendiri kerja bikin capek sih?"
"Fathir, kalau Nyonya besar tahu gimana? Bukan cuma aku, kamu sama sekretarismu pasti dimarahi nanti." Ini yang Nita khawatirkan. Sejujurnya, dia lebih khawatir pada dirinya sendiri dan ibunya. Nyonya besar tidak akan berani menyakiti anak bungsunya, tetapi lain dengan Nita dan ibunya.
"Kak Kian nggak ember kok orangnya. Nggak akan ada yang tahu, tenang aja, kamu jangan khawatir ya." Fathir menyentuh kedua bahu Nita untuk menyalurkan rasa tenang. Itu memang berhasil, Fathir selalu bisa meluluhkan Nita meskipun dibarengi rasa nyeri di dadanya.
"Tapi Tuan Muda," sela Kian—sekretaris pribadi Fathir. "Nona Nita benar, sebaiknya anda segera pulang sebelum Nyonya besar menyadari kepergian anda."
"Ah, Kak!" pekik Fathir. Dasar tidak peka, Fathir itu masih mau bersama Nita sampai pulang.
"Pulang ya, Fathir. Aku juga bakal selesai dua jam lagi kok, nanti aku telepon kalau sudah sampai rumah," bujuk Nita lembut.
"Dua jam itu lama, Nit."
"Nggak akan kerasa kok. Kamu pulang, mandi, makan, ngerjain PR, kelar deh. Jangan lupa belajar, calon jaksa."
Mau tidak mau Fathir menurut. Ada benarnya juga pulang sekarang jika ingin menghindari amukan ibunya, walaupun terasa sulit melepas Nita seorang diri. "Ya udah deh, aku pulang ya."
"Iya, hati-hati."
Selepas perginya Fathir, seorang pelanggan masuk ke minimarket. Nita langsung menyusul untuk berdiri di depan meja kasir walaupun matanya masih memantau mobil Fathir.
###
Semenjak seluruh murid di sekolahnya tahu perihal hubungan dia dan Fathir, Nita selalu mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang di sana yang mengaku tidak terima jika Nita berpacaran dengan Fathir. Katanya dia tidak level dengan Fathir dari segala hal, hingga itu menjadi alasan mutlak bagi mereka untuk berani menyakiti Nita.
Taman belakang sekolah sudah tidak aman lagi, murid lain mengklaim bahwa tempat itu menjadi basecamp mereka. Untuk membuat Nita tak lagi mau berkunjung ke sana mereka melemparinya dengan batu kerikil yang dicomot asal. Itu menyakitkan, tidak sedikit dari kerikil itu yang sampai mengenai kelopak matanya.
Belum lagi situasi di kelas yang tidak kondusif. Sana-sini bergosip tentangnya bagaikan artis penuh sensasi. Bilang Nita itu penggoda, tidak tahu malu, bahkan menuduhnya menjual diri.
Nita menghela napasnya seraya menempelkan kepala di atas meja. Begitu tenang sekali, setidaknya sebelum Geby dan Jess masuk ke kelasnya.
"Ada Kak Geby, woy!"
Seisi kelas langsung kicep. Mereka takut bersuara, pun tak ingin cari gara-gara dengan dua gadis dari kelas dua belas itu. Selain populer, keduanya dikenal tak tinggal diam jika ada murid yang tidak disukainya.
"Uy, babu!" Jess menendang kaki Nita cukup keras, membuat si empunya meringis kesakitan.
Nita tak menjawab, dia hanya mendongakkan kepala untuk menatap wajah Geby dan Jess.
"Putusin Fathir," cetus Geby. "Lo cukup tahu diri kan dengan keadaan lo sendiri?"
"Oke, mulai hari ini gue sama Fathir putus." Nita tidak tahu kenapa dia mengatakan hal itu, yang jelas dia ingin menyudahi penindasan itu.
Jess tertawa dengan mengipasi wajahnya menggunakan telapak tangan. "Haha, lo ngeledek? Heh, kalau lo berani putusin Fathir, lo harus keluar dari rumah dia."
"Secepatnya, gue berusaha secepatnya akan keluar dari rumah itu. Tapi apa boleh buat? Gue nggak kayak kalian yang terlahir dari keluarga kaya raya dan bisa berlaku seenak jidat kalian!" Nita menaikkan nada suaranya seiring dengan naiknya emosi yang selama ini dia pendam. "Tapi gue juga udah berusaha, bisa kan kalian nunggu dan nggak mesti ngebully gue?"
"Hahaha... Ngebully?" Geby menunduk, lalu lengan kanannya bergerak menarik rambut panjang Nita sekuat tenaga.
"Aw, lepasin!"
"Ini yang lo maksud bully? Hah!"
Nita tidak menyangka tenaganya kalah besar dari tenaga Geby. Meskipun kini dia berdiri dan mencoba melepaskan jambakan Geby dari rambutnya, Nita tetap terhuyung ke sana-kemari. "Lepasin!" erang Nita.
"Oke."
Bruk!
Geby mengibaskan kedua telapak tangannya setelah tubuh Nita membentur loker di belakang kelas. Gadis malang itu memegangi belakang kepalanya yang jadi bagian paling sakit ketika menghantam loker.
"Itu yang namanya bully. Karena lo udah nyinggung kayak gitu, oke deh, mulai sekarang gue akan bully lo, haha..."
Jess bertepuk tangan riang. "Yes, mainan baru."
"Jess, siapkan kamera," pinta Geby. Gadis cantik itu lalu menatap beberapa gadis di dalam kelas Nita. "Kalian, pegangi gadis babu ini."
Perasaan Nita semakin tidak enak dimulai ketika teman sekelasnya justru mengikuti perintah Geby untuk memegangi lengannya. Kemudian Geby memajukan langkahnya, melepas paksa seragam Nita.
"Lepasin!"
"Sabar, ini baru permulaan. Gue bakal tunjukin apa itu bully."
Nita memberontak sekuat tenaga. Dia tidak akan membiarkan Geby melucuti pakaiannya, tidak akan pernah. Seolah mendapat keajaiban, Nita menggunakan kakinya untuk menendang Geby hingga cekalan gadis itu terlepas. Dirasa mulai bisa membalikkan keadaan, Nita pun mendorong dua teman sekelasnya hingga dia benar-benar bebas.
"Ish, dasar babu!" teriak Geby.
Tak menyiakan kesempatan itu, Nita segera berlari keluar dari kelas. Dengan tangis yang pecah, Nita mengentakkan kakinya menyusuri koridor. Dia butuh keluar dari sekolah bagaimanapun caranya.
Bugh.
Nita terpaksa berhenti berlari karena tak sadar kepalanya membentur sesuatu. Ia mendongak, Fathir kini ada di hadapannya. Meskipun kedua matanya berair, Nita tetap bisa mengenali Fathir. Anak laki-laki itu memegangi lengan Nita, mengusap kedua pipi gadis itu.
"Maaf, maaf aku terlambat...," lirih Fathir. Nita tidak bisa menjawab karena sibuk menangis. Rasanya Fathir ingin marah, namun yang lebih penting saat ini adalah memberikan Nita pelukan.