Bus melaju dengan tenang hari ini. Rena membuka matanya perlahan. Seketika ia menatap ke luar jendela. Angin yang menerpa wajahnya membuat ia tersenyum untuk sesaat. Dilihatnya pohon-pohon rindang mengiringi sepanjang trotoar di sisi kanan. Daun-daunnya berdesik pelan. Langit pun terlihat baik-baik saja.
Mulanya, ia tidak menyadari ada orang yang duduk di sampingnya. Sebuah ketukan musik membuat ia terdiam dan mendengar itu dengan saksama meski tidak terlalu keras. Rupanya suara itu berasal dari headphone yang dipakai orang di sampingnya. Rena tidak berani menoleh. Oh, kayaknya ini lagu yang pelan. Ia mencoba untuk sedikit mendongak. Tampak di sampingnya seorang siswa laki-laki dengan headphone berwarna hitam dengan kombinasi garis biru langit. Anehnya, ia tidak bisa melihat jelas wajah dari siswa itu. Kemudian ia mencoba mendekatkan telinganya pada headphone siswa di sebelahnya. Orang itu tidak menyadari apa yang dilakukan Rena. Tak lama, Rena terdiam dengan air mata yang tiba-tiba mengalir dari kedua matanya. Ia terdiam tanpa sepatah kata pun. Apa ini? Kenapa aku tiba-tiba nangis?
Rena mencoba mengedipkan matanya, tapi tak kuasa. Badannya terasa kaku dan bergetar hebat. Entah apa sebabnya, seolah seluruh badannya merasakan sedih yang amat sangat setelah mendengar alunan itu. Rena benar-benar diam menatap ke depan. Dalam tangisan itu, ia mendengar suara temannya yang memanggil namanya dari jauh.
"Rena!"
"Ren!"
"Rena!"
Suara itu semakin keras. Seketika itu.....
Tak
Seseorang menepuk pundaknya. Matanya langsung berkedip merasakan tepukan itu. Rena terbangun.
"Ren!"
Rena perlahan membuka matanya, "Hmm?"
"Pules bener tidurnya. Nih, titipanmu tadi." Elli menyerahkan roti bluberi dan susu pisang pada Rena.
Rena menegakkan posisi duduknya. "Oh, makasih." Ia tersenyum dengan matanya yang belum terbuka lebar. "Udah mau jam masuk belum?"
Bima mengecek arlojinya, "Sepuluh menit lagi sih."
"Oke, aku ke toilet dulu yak. Mau cuci muka," ucap Rena.
"Sendirian?" tanya Jihan tiba-tiba.
"Mau ikut?"
Jihan mengangguk cepat.
"Yuk."
Mereka berdua pun menuju toilet. Di sana Rena mencuci muka di wastafel yang menghadap cermin. Ia mengusap wajahnya kemudian menatap kosong pada cermin di hadapannya. Hahhh... Melodinya sama, tapi mimpi kali ini berbeda. Ada apa sebenarnya?
***
"Ini ditaruh mana?"
"Taruh meja dulu aja, biar aku sama Bang Res yang pasang. Makasih ya."
"Oke."
Rena asik mengobrol dengan anggota paduan suara lainnya sambil sibuk menata dekor untuk stan.
"Uwaaa, itu kamu yang gambar Ren?"
"Gak mungkin dong, ini kerjaan Bang Res hahahaha."
"Lah, yang kamu bikin mana?"
"Itu di depan meja, belum dipasang sih."
"Di pasang di mana nih?"
"Buat taplak meja, cuman tulisannya taruh depan."
"Oke."
Hari ini adalah hari demo ekstrakurikuler dilaksanakan. Seperti kebiasaan tiap tahunnya, hari pertama pengenalan sekolah bagi siswa baru di Orion High School akan diwarnai berbagai bentuk promosi ekstrakurikuler. Begitu pula ekstrakurikuler lain selain paduan suara yang sedang menyiapkan stan mereka. Hari ini akan ramai. Para senior akan mempromosikan ekstrakurikuler mereka untuk kelas 1.
"Ren, gimana?" Ares tiba di stan setelah berlari dari arah auditorium.
Rena menoleh. "Oh, ini Bang. Lagi nata polaroidnya."
"Oke, aku ambil alih dari sini. Kamu tata meja sama bagian depan ya."
"Oke." Langkah Rena terhenti. Sesuatu yang tidak biasa ia lihat menarik perhatiannya. "Bentar Bang, rambutmu?" tanya Rena heran. "Terus kacamatamu?" lanjutnya.
"Jangan tanya. Kamu akan tahu di audit nanti," jawab Ares dengan nada dingin.
Mendengar jawaban itu, Rena menyipitkan matanya. "Hmmmm... Anda mencurigakan."
Ia melanjutkan tugasnya.
"Rena, ini konsumsinya." Elli datang bersama Jihan membawa dua kantong plastik besar berisi camilan dalam kemasan berukuran kecil.
Rena tersenyum, "Uwah, kerja bagus! Thank you."
"Ren, habis ini anak band bakal tampil. Aku mau liat dulu, sekalian suruh dokumentasi sama Abang. Jadi, yang bakal jaga stan siapa?" jelas Jihan.
"Gampang itu mah, nanti aku yang jaga. Toh dekorasi juga belum selesai," jawab Rena santai.
"Oke deh kalo gitu. Kami ke audit dulu yak, sambil nyari Bima nih. Dari tadi belum keliatan dia," pamit Elli.
"Oh, ya? Buru gih, biar enggak telat nanti."
"Siap."
"Ren, udah selesai nih. Yang belum apa lagi?" tanya Ares memastikan.
"Udah, Bang. Tinggal nunggu laptop Bima aja buat muter videonya."
"Beneran?"
"Iyap," Rena mengangguk mantap.
"Nanti kalau bisa ke audit ya, sayang kalau enggak liat meski sebentar," ucap Ares sambil membetulkan tali sepatunya.
"Okedeh, liat dulu ada yang jaga stan apa enggak sih." Rena mengamati meja dihadapannya. Ia merasa ada sesuatu yang kurang.
"Bang, formulir sama brosur dari ekskul piano belum ada."
"Oh ya? Belum dianter ya? Nanti aku bilangin deh, biar dianter ke sini. Abang balik dulu yak."
"Oke." Rena menatap kakaknya yang berlari menjauh dari tempat itu. "Enggak salah deh, aku emang fans nomer satu Bang Ares," gumam Rena bangga. Gadis itu melanjutkan kegiatannya. Kini ia menata beberapa camilan di meja untuk diberikan gratis pada junior yang akan mengunjungi stan.
Rena begitu menyukai suasana itu. Di lapangan yang hijau, tidak terlalu ramai, dan ditemani musik di telinganya yang tak berhenti bersuara. Setelah ia selesai membereskan meja dan dekorasi stan, tangannya meraih ponsel di sakunya.
Kak Juan
Ren
Gimana? Udah selesai?
Kamu sendirian ya?
Bentar lagi aku ke sana
Mau cek
.
Udah Kak
Tinggal nunggu brosur dari ekskul piano sama laptopnya Bima
.
Rena menahan tawa membaca pesan itu. "Eiiii, Kak Juan kenapa si? Dateng ya dateng aja lagi. Pake laporan segala, hahaha.." akhirnya Rena melepaskan tawanya.
Rena duduk dengan meletakkan sebuah buku di meja. Ia mengecek semua barang yang digunakan di stan itu untuk menentukan apa yang kurang.
"Hmmm... Kayaknya udah semua. Tinggal nunggu deh." Ia tersenyum, kemudian kembali menatap ponselnya untuk memutar lagu-lagu favoritnya.
"RENA!! Kamu jaga stan?" suara seorang siswa membuat Rena mendongak seketika.
"Oh, Jo. Itu stanmu?"
"Yap, tepat di seberang stanmu," jawab Jo sambil tersenyum.
"Oh, tidak. Aku dalam masalah," keluh Rena sambil menggeleng pelan.
Jo tertawa. "Bakal rame dong. Jangan sedih gitu, hahaha," ledeknya.
"Terserah deh. Itu ekskul olahraga kan?"
"Iyap."
Suasananya sunyi kembali setelah Rena menjawab Jo dengan anggukan sekilas. Seorang siswa tampak mendekat dari kejauhan. Ia tampak mencari sesuatu, hingga akhirnya berjumpa dengan stan yang dijaga Rena. Tatapannya tertuju pada tulisan di depan meja.
Oh, ini dia. Lelaki itu mendekat.
"Juna?" seru Rena. Lelaki yang disapa Juna itu mendongak setelah lama berjalan sembari mengamati kumpulan kertas yang dibawanya. Ia tersenyum.
"Oh, ini stan padus ya?"
"Iya. Ada apa kamu ke sini?" tanya Rena penasaran.
Juna menyerahkan tumpukan kertas berukuran A5 dari genggamannya. "Ini, brosur ekskul piano dari Ares."
"Oooh, oke-oke." Rena menerima brosur-brosur itu. "Jun, kamu anggota ekskul piano?"
Juna mengangguk, "Iya."
"Wah, baru tahu aku. Makasih udah anter brosurnya," Rena tersenyum.
Juna membalas senyuman itu. "Sama-sama, aku balik dulu ya."
"Oke."
Juna berbalik. Rena kembali dengan ponselnya. Sejenak, Juna kembali ke hadapannya.
"Ren, kamu gak ke audit?" tanya lelaki itu.
"Oh, pengennya sih ke sana, tapi belum ada yang ganti jaga nih. Mungkin nanti, ada apa emangnya?"
"Ares mau perform."
"Oh," Rena belum sadar dengan perkataan Juna. "HAH?! APA?! BENERAN?!" matanya melotot, Rena berdiri seketika. Namun...
BRAKK
"Akkk!"
Lutut Rena menabrak meja. Ekspresinya meringis kesakitan. Semua orang di sana terkejut dengan suara gaduh dari stan Rena.
Jo tertawa lepas di seberang. "Santai ngapa mbak, jangan bar-bar." Jo masih tertawa.
"Diem lu, bawel!" seru Rena dengan galaknya.
Juna mendekat, "Eh, enggak apa-apa?"
"Enggak apa-apa kok, jam berapa tampilnya?"
Juna mengintip jam tangannya, "Habis ekskul dance. Bentar lagi band mau tampil."
"Berarti masih dua perform lagi ya?"
Juna mengangguk.
"Oke deh, makasih infonya. Udah enggak apa-apa kok. Balik dulu aja," Rena kembali tersenyum.
Sekali lagi Juna hanya mengangguk. Yah, dia anak laki-laki yang cukup pendiam. Setelah percakapannya dengan Rena dirasa selesai, Juna menjauh menuju stan Jo.
"Ih, Bang Ares ngeselin. Makanya tadi rambutnya rapi," gumam Rena kesal.
Tak lama, Rena kembali mendengar langkah kaki yang berlari ke arah stan itu.
"Rena!"
"Astaga! Iiiiiih, bener-bener deh," Rena menggeram kesal.
"Hahaha... Maap deh maap," jawab kakak kelas itu dengan senyum tampannya.
Rena menghela napas. "Dari audit, Kak?"
"Enggak, tadi dari UKS. Ambil kotak P3K ini nih, buat bagian kesehatan."
"Eh, kenapa enggak sie kesehatan aja yang ambil?"
"Mau sekalian mampir ke sini aja. Udah selesai yak?"
"Udah nih, tinggal laptop Bima yang belum."
"Oke. Emm, brosur dari ekskul piano?"
"Udah juga. Ini padus, ini piano, yang ini band. Terus itu cemilan buat pengunjung. Nanti laptopnya di tengah," jelas Rena sambil menunjuk satu per satu benda di meja itu.
Pandangan kakak kelas itu justru fokus pada orang yang menjelaskan. Ia tersenyum sebentar, lalu menanggapi. "Oke, kerja bagus." Kini sorot matanya beralih pada papan di belakang Rena yang telah di hias. "Wah, bagus juga nih buat spot foto. Kamu yang kerjain?"
"Bukan, Kak. Bang Ares tadi."
Sekali lagi lelaki itu mengamati sekeliling stan. Saat melihat arah bawah, ia melihat kantong plastik besar di sebelah meja. "Apa itu?" tanyanya.
"Oh, itu sisa cemilan yang enggak ditata di meja."
Si kakak kelas mengangguk. Entah bagaimana, ada sesuatu yang tertangkap oleh netranya hingga membuat ia terdiam. "Ren, lututmu berdarah!" Ia terbelalak kaget, kemudian berlutut dan membuka kotak P3K yang dibawanya.
"Astaga, enggak terasa dari tadi."
"Duduk gih."
Mereka terdiam.
Si kakak kelas mengambil kapas, lalu membersihkan tetesan darah yang mengalir dari lutut Rena.
"Kak, biar aku aja."
"Ssttt... Udah diem dulu," pintanya lembut. "Nyeri enggak?"
"Dikit sih."
"Kok bisa sih? Kamu habis jatuh?"
"Enggak, tadi lututnya kejedot meja. Pas kaget, mau berdiri, eh, kepentok."
"Pfftt... Kaget pun bar-bar ya ternyata." Ia menahan tawa. "Tahan bentar, biar lukamu cepet nutup."
Rena menutup matanya. Ia menahan perih di lututnya.
"Dah, tunggu bentar. Nanti bersihin lagi, terus kasih plester."
Rena mengangguk sambil meniup pelan lukanya. Si kakak kelas berdiri setelah merapikan peralatannya.
"Foto yuk, mumpung masih sepi. Nanti kalau udah rame kamu susah dicarinya."
"Apaan? Tiba-tiba-"
Ckrik
Belum sempat Rena mendongak atau menjawab dengan benar, lelaki itu sudah menekan tombol pada kamera depan ponselnya. Jelas saja, Rena teriak. "Kak Juan!"
Juan tertawa, lalu menunjukkan hasil foto selca-nya bersama Rena yang sama sekali tidak siap. "Nih, lucu kan? Aku save ya," ledeknya. "Dah ya, makasih, aku balik dulu, babay," ucap Juan cepat sembari berlari meninggalkan stan. Ia tidak menggubris protes dari Rena.
"OY! KAK!!" teriak Rena. "Itu orang nyebelin banget si!" Rena sangat geram dengan perlakuan kakak kelasnya itu.
"ANEIRA!! JANGAN LUPA PLESTERNYA YAK!!!" Juan berteriak sembari berlari. Semua orang di area itu menoleh. Benar saja, tingkah Juan itu membuat siswa lain berbisik.
Mampus! Rame nih pasti habis ini. Rena membatin cemas.
Bagaimana tidak 'ramai'? Juan tahun ini telah digadang-gadang menjadi ketua OSIS yang baru.
"Itu Kak Juan kan?"
"Anak OSIS?"
"Iya. Ketua padus."
"Most wanted di kalangan kakak kelas katanya."
"Mau nyalon jadi ketos juga."
"Oh iya? Beneran?"
"Gak tau juga, tapi kalau bener, tambah keren sih."
"Nah loh, bakal mleyot gak tuh lu pada? Hahaha"
Juna yang sedari tadi menetap di stan Jo juga menyaksikan kejadian itu. Ia juga mendengar sekilas obrolan tentang Juan.
"Jo, mereka deket ya?" tanya Juna dengan pandangannya yang tertuju pada Juan yang sedang berlari.
Jo sedang sibuk menata perlengkapan. "Siapa? Rena sama Kak Juan?"
Juna mengangguk.
"Menurutku mereka deket sih. Mereka berdua anak padus, kalau ada urusan macem-macem soal ekskul Rena paling depan. Padahal di kelas tidur mulu itu anak. Karena Kak Juan itu ketuanya, jadi ya kemana-mana sering bareng."
Ah, begitu rupanya. Juna kembali mengangguk setelah mendengar cerita Jo. Ia menatap ke arah Rena sejenak. Di seberang sana, gadis itu tampak membuka plester yang masih terbungkus untuk menutupi lukanya.
"Aku balik dulu ya, udah mau mulai nih," pamit Juna pada Jo.
Seperti biasa, Rena menunggu sambil tidur dengan tangan terlipat di atas meja stan. Belum lama ia memejamkan matanya, sebuah memori muncul dalam bayangannya. Headphone itu.... Matanya terbuka kembali. Kini ia menunduk, memegangi kepalanya. Mengingat mimpinya kemarin membuat kepalanya terasa sangat pusing. Ia mencoba menenangkan diri untuk beberapa menit. Mengambil napas dalam, kemudian mengembuskannya. Tenang Rena, tenanglah.
Riuh mulai memenuhi lapangan tempat stan ekstrakurikuler didirikan. Mereka yang datang adalah anak-anak kelas 2 dan 3 yang bebas berkeliaran karena kepentingan ekstrakulikuler. Perlu diingat, semua anak di Orion High School wajib mengikuti paling tidak satu ekstrakurikuler. Begitu pula Bima, Elli, dan Jihan yang kini kembali menuju stan.
"Ren, ini laptopnya," ucap Bima.
"Oke sip, nanti operatornya Jihan yak, sambil nunggu registrasi. Bima, Elli fokus di depan buat promosi," jelas Rena. Ia beralih menatap Jihan, "Eh, anak band udah selesai perform kah?"
"Udah tuh, sekarang lagi persiapan buat ekskul piano."
"Oh iya? Kali gitu aku ke audit bentar ya. Ada penting, kalian ganti jaga, oke?" Rena tersenyum. Kemudian ia berlari sambil melambaikan tangannya pada teman-temannya.
"Ati-ati!" teriak Elli.
Rena tersenyum dalam langkahnya yang berlari cepat. Rambut lurus, hitam legam, dan panjang terurai yang dimilikinya berkibar bersama angin hangat musim kemarau.
"Heran, Rena dan cuaca yang cerah ini sangat cantik. Aku iri," puji Elli lirih dengan raut wajah cemberut, tapi bukan marah.
"Eiii, kamu juga cantik kok. Soal Rena, karakternya lebih cocok dengan musim dingin kalau kita ada di negara subtropis," tambah Jihan yang mendengar ucapan Elli.
"Betul," sahut Elli lagi.
Rena berlari menuju auditorium. Sebenarnya tidak semua siswa bisa berada di sana, hanya kelas 1 yang diwajibkan ada. Rena ingin melihat kakaknya tampil. Itu saja. Sampai di sana, ia menatap seseorang sedang mempersiapkan kamera yang menghadap ke panggung. Dengan setelan hitam, hingga masker wajah dan topi hitam. Sebelum ia mendekati orang itu, ia meminta izin pada perwakilan OSIS untuk mengambil gambar.
"Kak, mau liat Bang Ares sebentar, boleh ya?" pintanya pada Abi yang berada di belakang para peserta orientasi.
"Iya, enggak apa-apa, maju aja."
Rena mengangguk sambil tersenyum. Ia melanjutkan langkahnya mendekati sang kamerawan yang sibuk di belakang lensa. Langkahnya tenang, tidak bersuara. Rena mencoba mengendap-endap untuk memastikan bahwa orang yang berpakaian serba hitam itu adalah orang ia kenal.
"Bang Nata?" Benar, Rena mengenalnya. Laki-laki itu kemudian menoleh. Ia menatap Rena sesaat. "Bener Bang Nata kan?"
Laki-laki itu terbangun dari lamunannya. "Ren-rena? Rena Aneira?" ia tergagap.
Rena mengangguk cepat. Laki-laki itu seketika melepas topinya. "Wah, udah lama ya?" Nata tersenyum.
Duh, Bang. Senyumnya jangan gitu dong plisss. Rena meronta dalam hati. Baginya, Nata adalah sosok kakak yang paling ia sayangi dan paling manis setelah Ares. Mereka berjabat tangan setelah sekian lama.
"Abang kenapa ada di sini?"
"Diminta Ares buat dokumentasi nih, dia enggak bilang kah?"
"Enggak tuh, dia mau tampil aja enggak bilang," dengus Rena.
Nata tertawa kecil. "Sabar yah," ucapnya sambil mengusap kepala Rena iseng. Rambut Rena kembali berantakan dibuatnya.
"Ssst! Apaan si Bang?!" pekik Rena setengah berbisik.
Gak bisa marah, ini manusia terlampau manis >.<
"Bang, kamera foto bawa enggak?"
"Oh, bentar." Nata membuka tas kecil di sampingnya. Kemudian ia menyerahkan kamera itu pada Rena. "Nih."
"Uwah! Thank you, Bang. Pinjem bentar yak," seru Rena amat sumringah dengan kamera di tangannya. Nata mengangguk. Bisa dibilang interaksi mereka terlampau gemas.
Rena mengalungkan tali kamera itu pada lehernya. Ia menuju tepi ruangan untuk mendapatkan view yang tepat. Panggungnya cukup luas. Dua buah piano ditata serong ke depan pada kedua sisi. Rena berada di tepi kanan barisan penonton. Ia melihat Sena, teman dekat kakaknya, duduk di belakang piano di sisi itu. Pertunjukan dimulai. Sena mulai menekan tuts piano di hadapannya dengan lembut. Tak lama intro piano dimainkan, terdengar suara lembut yang menyusul melodi piano itu. Siapa lagi kalau bukan kakaknya, Resvan Asfara.
"Wah, Abang aku cakepnya bukan main. Mana dia center lagi. Awas lu nanti di rumah," gumam Rena sambil menyiapkan kameranya untuk mengambil foto penampilan ekstrakurikuler piano.
Gadis itu sangat bahagia ketika tangannya sudah memegang benda berlensa itu di tangannya. Itu juga yang membuatnya dekat dengan rekan kakaknya, Nagata Atif.
Ckrik
Ckrik
Ckrik
Rena berhasil mengambil beberapa foto dari sudut itu. Ia beralih ke tepi kiri. Saat mengarahkan lensa kamera itu ke panggung, Rena menyadari sesuatu. Itu... Ajuna?! Batinnya tersentak. Ia bisa melihat permainan piano Juna yang membuat laki-laki itu terlihat sangat berbeda dari biasanya.
Tidak sampai di situ. Setelah Rena mendapatkan satu hasil tangkapan dari sudut itu, tangannya mulai bergetar melihat Juna yang menyingkap sebelah headphone miliknya. Lagi, Rena teringat mimpinya kemarin. Tidak, tidak mungkin itu headphone-nya. Rena mencoba meyakini bahwa belum ada kejelasan sama sekali soal ingatan itu. Perasaan itu mungkin akan selalu terjadi ketika Rena melihat sembarang headphone.
Ia kembali membuat tangannya kembali kokoh untuk memegang kamera. Sayangnya, hal itu gagal dilakukannya. Ia mengendalikan napasnya. Kakinya melangkah pelan kembali ke belakang untuk menyerahkan kamera itu pada pemiliknya. Dengan sekuat tenaga, Rena menutupi kepanikannya.
"Bang, udah nih. Nanti tolong capture juga dari tengah sini yak, makasih," Rena tersenyum seolah tak terjadi apa-apa padanya. "Aku ada urusan."
"Enggak liat sampe selesai nih?"
"Enggak, Bang. Nanti aja liat di video. Duluan yak," ucap Rena cepat.
"Oke." Nata kembali fokus pada pekerjaannya.
Rena melangkahkan kakinya cepat. Ia setengah berlari, tampak terburu-buru menuju suatu tempat. Tangannya masih gemetar. Ekspresinya sedang menahan sesuatu. Ia harus cepat mencapai tempat itu. Pandangannya tak berani menatap ke depan. Ia terus berjalan dengan kepala menunduk. Keluar auditorium, menyusuri lorong-lorong, juga memijak beberapa anak tangga. Hingga tak sengaja di sebelah tangga ia menabrak seseorang.
"Oh, maaf," lirihnya sambil membungkuk pada orang yang tak sengaja bertabrakan dengannya. Tentu saja Rena tidak mampu menatap orang itu. Ah, mereka dua orang.
"Tak apa, hati-hati ya," salah satu dari mereka menanggapi dengan ramah.
Rena masih membungkuk di sana. Sebelum menelusuri anak tangga, Rena menyadari sesuatu. Orang yang bertabrakan dengannya tadi menjatuhkan sebuah benda. Ia terhenti, kemudian berbalik menatap dan mendekati benda itu. Ia mengambilnya. "Gantungan kunci?" Rena terdiam sejenak, ia terpukau dengan benda yang kini ada di tangannya itu.
"Permisi! Kak, tunggu sebentar!" teriaknya lemah. Suaranya ikut bergetar. Dua orang yang tidak mengenakan seragam itu menjauh. Sooyoung sadar, mereka bukan siswa. Sayangnya, ia tak cukup tenaga untuk mengejar. Akhirnya, gantungan kunci biru berkilau berbentuk daun mint itu disimpannya. Dadanya sesak, ia harus cepat menuju ke atap. Hanya di sana ia dapat mengeluarkan semuanya tanpa ada yang tahu.
"Hahhhhhh..." Rena berdiri di tepi atap, tangannya bertumpu pada pagar di sana.
Ia mengatur napasnya susah payah. Air mata mengalir tiba-tiba. Tidak, Rena tidak sedang sedih. Itu keluar ketika ada hal yang membuat napasnya sesak. Ia memejamkan mata. Dahinya mengernyit tajam. Ia menahan sakit di kepalanya. Di tengah kekacauan itu, pintu atap berdecit. Benar, ada orang yang mengikutinya.
***
"Sejauh ini masih aman kan?" Juan bertanya untuk memastikan keadaan.
"Aman kok, bentar lagi penutup terus pengarahan ke stan," jelas Abi yang ikut berjaga di auditorium bersama Juan.
"Oke, aku keluar sebentar ya."
"Mau ke mana?"
"Toilet."
"Eelah, ya udah sana."
Juan nyengir sesaat. Setelah Abi tak melihatnya, ia mengubah ekspresinya. Juan sedang mencemaskan sesuatu. Ia segera menyusuri kemungkinan jejak seseorang yang diamatinya itu. Sesekali ia berlari kecil dan menoleh ke kanan, lalu ke kiri. Sayang sekali, ia tak menemukan apa pun. Sampai di dekat tangga menuju atap, ia melihat benda menggelinding di hadapannya. Tampaknya, benda itu baru saja jatuh atau dijatuhkan. Ia mengambilnya. Itu botol obat kecil transparan dengan beberapa pil dan catatan tertempel di sisi depan. Melihat itu, matanya terbelalak. Kakinya secepat kilat menaiki tangga. Dugaannya benar. Kekhawatirannya benar. Nama pada label di botol obat itu adalah orang yang diamatinya. Rena Aneira.
Rena membuka matanya pelan, tetapi ia enggan berbalik. "Ngapain ke sini?" tanyanya seolah sudah tahu siapa yang akan datang menyusulnya.
"Aku enggak akan ganggu. Keluarin semuanya."
Rena menangis. Ia sudah kesulitan menahan sesak itu sejak tadi. Tanpa diduga, ternyata ada orang yang menyadari keadaannya itu.
Hampir lima belas menit berlalu sejak gadis mulai menangis. Masih sesak, masih pusing. Orang yang mengikutinya tadi terdiam, mengamatinya dari jauh. Angin berdesir menghampiri.
Rena terduduk lemas menatap ke luar pagar di atap itu. Ia mengendalikan napasnya. Kali ini sudah cukup membaik.
Suara langkah kaki terdengar. Orang tadi mendekatinya, kemudian berjongkok di sampingnya.
"Kamu menjatuhkannya."
Tatapan kosong Rena seketika beralih pada benda di tangan orang itu. Siswi bermata sembap itu menyadari, benda itu miliknya. Tangannya yang gemetar meraih benda itu sambil terisak.
"Di mana Kakak bisa nemuin ini?"
"Di deket tangga. Apa lututmu enggak sakit buat lari-lari begitu?"
"Enggak tuh, aku enggak lari!" sangkalnya dengan suara serak karena tangisnya.
"Dasar," lirih Juan.
Kalau kau tak seimut ini, aku akan marah padamu. Laki-laki itu tersenyum. Dia Juan Hadinata. Ia sering diprotes karena perilakunya yang terlihat mengkhususkan Rena. Bagusnya, mereka hanya protes. Tidak ada yang bisa menyangkal atau mengganggu sikap Juan terhadap Rena. Mengapa? Entahlah.
Rena adalah junior yang paling semangat dan mencintai paduan suara. Bisa dibilang ia yang paling terlihat serius di antara anggota lainnya, tetapi tetap sebagai support system yang baik bagi mereka. Walaupun bukan berarti yang lain hanya main-main di ekstrakurikuler itu. Tentu tidak. Tanpa tingkah Rena dan ocehannya, mungkin paduan suara itu akan lenyap kembali. Ia yang rela, bahkan suka membuat dirinya lelah untuk mondar-mandir bersama Juan. Teman sekelasnya pun merasa heran. Siswi yang di kelas saja hanya tidur dan mendengarkan guru asal-asalan bisa segila itu dengan kegiatan ekstrakurikuler.
"Berdiri," Juan mengulurkan tangannya untuk membantu Rena berdiri.
Rena menerima itu, lalu berdiri.
"Bawa itu. Pergi ke UKS sekarang. Kamu akan punya banyak waktu di sana," tegas laki-laki itu sambil menutupkan tudung jaket pada kepala Rena. Ia menaikkan risleting jaket itu hingga menutupi hidung Rena.
"Apa ini enggak terlalu berlebihan?"
"Enggak, sama sekali enggak." Juan menggeleng dengan tatapan lembut pada Rena. "Dah, cepetan turun."
Rena memasukkan obatnya dalam kantong jaketnya. Kedua tangannya menetap dalam kehangatan itu.
Juan mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia menatap lekat mata yang sedang sembap itu. "Liat tuh, matamu bengkak," lirih lelaki itu.
Kedua pasang mata itu bertemu untuk beberapa detik. Hingga akhirnya Rena menunduk, kemudian meninggalkan Juan tanpa sepatah kata terucap darinya. Juan menatapnya hingga pintu menuju atap menghalangi bayangan Rena. Ia menghela napas. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" gumamnya.
Rena bergegas menuju UKS di lantai satu. Mata sembap itu mulai berair lagi.
Terima kasih Tuhan, Kau telah mengenalkanku dengan orang baik sepertinya.
Ia membuka pintu ruang kesehatan perlahan. Ibu guru cantik dengan jas lab penjaga ruangan itu menyambutnya di belakang meja kerjanya.
"Rena?" Gadis itu mendekat. "Duduklah."
Rena menurutinya. Perlahan ia membuka risleting jaket yang menutupi mulutnya.
"Udah lama ya enggak ketemu?" sapa Bu guru lembut.
"Iya nih, Miss." Suara Rena masih serak.
"Ada apa?" Bu guru menatap Rena lembut dengan ekspresi khawatir. Rena mengeluarkan obat dari saku jaketnya. Ia letakkan itu di atas meja. "Udah diminum?"
Rena menggeleng. Bu guru bergerak mengambilkan segelas air putih untuknya. "Ini, minumlah. Setelah itu istirahat ya." Bu guru tersenyum. "Ibu mau keluar sebentar."
Rena mengangguk lemah. Ia berdiri membawa obat dan segelas air itu mendekat pada ranjang yang ada di ruangan itu. Disingkapnya penutup kaca jendela di dekatnya. Ia menatap ke luar. "Ramai sekali," gumamnya. Tatapannya datar. Sorot matanya mengisyaratkan untuk segera istirahat. Rena menyempatkan jemarinya untuk mengirim pesan pada Ares tentang keadaannya. Setelah itu, ia segera menenggak obatnya, kemudian mengarahkan tubuhnya dalam posisi paling nyaman untuk terlelap dibalik balutan selimut.
***