"Kau bahkan masih membawa ini setelah sekian lama," gumam Ares lirih sambil memandangi botol obat yang kemudian dimasukkannya ke dalam tas Rena. Ia menatap adiknya sejenak, kemudian mengusap kepalanya lembut.
Ares menemani adiknya sejenak setelah sebelumnya bergegas menuju UKS karena pesan yang ia dapat dari Rena. Ia juga yang mengambilkan tas dan perlengkapan Rena.
Pintu terbuka. Bu guru telah kembali. Ares menoleh ke arah pintu.
"Oh, Ares. Kamu di sini?"
"Iya Miss, Rena ngabarin tadi."
Bu guru yang kerap disapa Miss Yuna itu mendekat. Ia memandangi siswi yang sedang berbaring di sana. "Apa dia masih sering seperti ini?"
"Kadang-kadang." Terdengar perasaan sedih dalam ucapan Ares. "Saya rasa udah berkurang sih, Miss. Cuma sepertinya ada sesuatu yang bikin paniknya kumat."
Miss Yuna menghela napas, "Hahh... Begitu ya?"
Ares mengangguk. "Miss, minta tolong ya. Mau lanjutin kegiatan di bawah. Nanti saya ke sini lagi."
Miss Yuna mengangguk, lalu tersenyum.
***
"Rena kemana nih? Enggak balik-balik dari tadi," keluh Bima di bawah tenda stan.
"Lah iya, lama amat ke audit. Padahal udah selesai," tambah Elli.
"Udah aku chat tapi enggak bales juga," Jihan menghela napas.
"Rena di UKS." Ucapan itu seketika memecah diskusi mereka bertiga. Mereka memusatkan perhatian pada si pembicara.
"Ehem!!" Bima menyembunyikan maksud tertentu dibalik acting batuknya itu. "Gimana Bang Juan bisa tahu?" lanjutnya.
"Izin tadi di depan audit," jawab Juan santai.
"Ecieeeee... Enggak salah tuh?" ledek Elli kemudian.
"Beneran lah," ucap Juan meyakinkan.
Mereka menahan tawa, seolah tak percaya mendengar jawaban Juan.
"Sini, minta cemilannya!" pinta Juan tanpa menengok sembari menengadahkan satu telapak tangannya, sementara satu lainnya sibuk memainkan ponsel.
"Nih," Bima meletakkan benda yang diminta Juan ke telapak tangannya. Anehnya, Bima cekikikan setelah melakukannya.
Juan menggigit benda itu tanpa melihatnya.
DARR
Bungkus camilan kosong itu meledak begitu saja. Bima dan Elli tertawa puas. Jihan akhirnya tertular meski tawanya tidak sekeras kedua temannya itu.
Juan terkejut. Ia terdiam sambil mengedipkan matanya yang terbuka lebar karena ledakan kecil itu.
Seketika ia mengepalkan tangannya sekaligus meremas bungkus plastik di genggamannya.
"Bima!"
"Ampun Bang!!!"
Juan sudah siap untuk menjitak Bima yang gemar melakukan keisengan kepadanya. Sayangnya ia gagal.
"Sudah kuduga, mesti stan ini yang ribut," tegur Ares yang tiba-tiba muncul.
"Ini anak udak kayak mata-mata aja," Elli menyipitkan mata pada Ares.
Jihan tertawa kecil, "Kalau ada Rena tambah rame sih."
"Mana mau dia ngerusuh di tempat rame gini? Buktinya, dia sekarang milih tidur di UKS," celetuk Elli dengan julidnya.
"Bener katamu," tambah Ares menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
"Oh, iya. Bentar lagi kelas 1 keluar nih, siap-siap." Imbau Juan sambil menangok arlojinya.
Semuanya bersiap di stan masing-masing. Yang semula hanya puluhan orang meramaikan jajaran tenda di area itu, kini bertambah lebih banyak. Mereka berlomba untuk mempromosikan ekstrakurikuler mereka sebaik mungkin. Setiap siswa yang bertugas di stan menyemarakkan stan mereka.
"Selamat datang teman-teman! Silakan mampir ke stan kami!"
"Yuk mampir!"
"Yang minat seni lukis bisa belok ke stan kami ya."
"Kami punya hadiah gratis loh, jangan lupa mampir."
Seruan-seruan promosi itu saling bersahutan satu sama lain tanpa henti. Rombongan kelas 1 mendekat. Elli dan Bima bersiap dengan poster mereka di depan stan.
"EI, YO!! TEMAN-TEMAN SEMUANYA YANG SUKA MUSIK YANG SUKA NYANYI YUK MARI KEMARI KE STAN KAMI!! EKSTRA BAND DI SINI, PIANO DI SINI, PADUAN SUARA YANG KECE JUGA ADA DI SINI!! EI, YO!! YANG KEMARI JUGA BAKAL DAPET CAMILAN GRATIS!!" Suara Elli menggelegar. Ia menunjukkan bakat rapper-nya seperti kendaraan yang tancap gas tanpa punya rem.
Orang-orang di stan ekskul musik dan olahraga di seberang tercengang menyaksikan itu. Jihan menahan tawa, sementara Ares dan Juan bersamaan menepuk jidat mereka.
"Bang?" gumam Ares dengan mulut menganga.
"Entahlah, selesai sudah," jawab Juan pasrah.
Bima mundur dari posisinya di samping Elli. "Bang, aku balik aja gimana?"
"Hahaha... enggak boleh Bim, ini baru mulai," jawab Jihan yang akhirnya mengeluarkan tawanya.
"Ya udah ya, kita balik dulu. Ada rapat," pamit Juan. Akhirnya Juan dan Ares kembali ke OSIS, yang lain mengangguk.
Belum selesai sampai di situ. Jo sedang syok di depan stannya.
"Bang, lu enggak apa-apa?" tanya Yuko setengah berbisik.
Jo menggeleng. "Ko, lu juga bisa ngerap kan?"
"Hei! Jangan macam-macam! Lakukan tugasmu!" ketus Yuko seakan tahu isi kepala Jo.
Jo malah cekikikan mendengar itu. "Iya iya, gak jadi deh."
***
Air kran wastafel mengalir deras. Rena menyingsingkan lengan jaketnya dan bersiap mencuci piring.
Sementara itu, Ares mendekat sambil membawa wadah kotor lainnya.
"Ren, kenapa tadi ke UKS?"
"Abang tadi kenapa gak bilang kalau mau tampil?"
"Lah, malah balik tanya."
"Jawab dulu. Ya kali si adik gak tahu kalau kakaknya perform. Masa iya tahu dari orang lain? Abang mah gitu," ucap Rena ketus.
Ares terkejut. "E-eh? Siapa yang bilang?" tanyanya terbata.
"Juna."
Ares mengernyitkan dahi, "Kok bisa?"
"Tadi kan dia yang anterin brosur ekskul piano," seru Rena dengan nada kesal.
"Oh iya....." Ares mengangguk pelan.
"Jadi?"
"Apaan?"
Rena menghela napas, tangannya berhenti melakukan tugasnya. "Ya jawabannya dong, Tuan Muda Resvan Asfaraaaaaa," seru Rena gemas hingga membunyikan gertakan dari gigi-giginya.
"Itu.... Mau kasih kejutan aja si sebenernya," jawab Ares sambil menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
Rena kembali meneruskan pergerakan tangannya. "Eiii... kejutan apaan? Harusnya bilang, biar aku bisa fangirling paling depan."
"Yakin?"
"Hmmm, enggak juga sih."
"Nah, kan? Hahaha... " Ares tertawa meledek.
Mendengar itu adik perempuan Ares memasang ekspresi kesal dengan manyun dan mengernyitkan dahi, lalu berseru, "Tapi seenggaknya abang ngomong dong!"
"Iya iya, lain kali abang bilang deh kalau mau tampil. Jadi, kenapa tadi bisa di UKS? Habis minum obat itu juga kan?"
"Oh, abang tahu itu?"
"Ya kan abang yang masukin obat itu ke tas kamu, Dek...."
"Ah, iya ya. Lupa, aku taruh meja tadi."
"Jadi?"
Rena terdiam. Ia sibuk menata piring dalam rak. "Itu..... Sebenernya......" Rena tidak meneruskan kalimatnya. Ia menghela napas, kemudian melangkah ke kamarnya mengambil sesuatu.
"Loh, Ren? Ada apa?" Ares mengekor.
"Abang tunggu situ dulu."
Ares menunggu di sofa depan televisi. Tak lama, Rena keluar dari kamarnya membawa selembar kertas. Ia menunjukkan kertas itu pada Ares.
"Ini apa?"
"Minggu lalu pas aku tidur di kelas, aku mimpi. Headphone itu muncul di mimpiku," jawab Rena yang kemudian duduk di samping kakaknya.
"Ini?"
Rena mengangguk.
"Kenapa bisa muncul? Gimana ceritanya?"
"Di mimpi, aku denger lagu dari headphone itu, tapi yang pakai bukan aku. Aku duduk di bus, terus orang yang pakai headphone itu duduk di sampingku. Tapi aku enggak tau siapa itu. Anehnya, makin lama aku dengerin, aku malah nangis."
"Bentar, apa kamu inget lagu apa itu?"
"Itu lagu yang pernah aku denger di mimpi sebelumnya yang pernah aku ceritain ke abang waktu itu."
"Lagu sedih?"
Rena mengangguk. Mereka berdua terdiam.
"Terus apa hubungannya sama kamu di UKS dan minum obat itu?"
"Jadi, habis penampilan band aku ke audit. Ganti temen-temen yang jagain stan. Di sana aku ketemu Bang Nata juga, terus pinjem kameranya deh. Nah, pas aku ambil foto di sudut Juna, aku cek tuh fotonya. Di situ aku merasa kalau headphone yang dipake Juna mirip sama yang di mimpi."
Rena kembali menghela napas. Ia seperti merasa keberatan mengingat itu.
"Lalu?"
"Anehnya, pas aku liat itu, kepalaku mendadak pusing dan inget sama mimpinya. Gak tau kenapa kayak sedih banget aja pas inget. Akhirnya terlampau panik deh. Habis itu langsung ke UKS."
"Ah, terus kamu chat tadi ya?"
Rena mengangguk.
Ares beralih posisi duduk menghadap pada adiknya. Ia menatap Rena sungguh-sungguh. Meski sebenarnya ia juga cukup khawatir. "Mungkin kamu punya ingatan sama lagu itu?"
Rena menggeleng, "Enggak tau juga, Abang mungkin tahu dulu ada yang pakai headphone itu?"
"Abang enggak yakin sih." Ares mendengus cemas. Ia mengembalikan kertas itu pada Rena. "Dah, nih. Istirahat sana. Nanti abang inget-inget lagi deh." Rena mengangguk. Ia menuruti kakaknya dan kembali menuju kamarnya.
Ting
Kak Juan
Udah tidur?
Belum
Boleh aku telpon?
Tiba-tiba? Ada apa Kak?
Rena menatap ponselnya dengan perasaan ragu-ragu. Ia tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan dari seniornya itu. Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Benar, itu panggilan dari Juan.
"Halo?"
"Halo, Aneira."
"Panggil Rena aja plis! Ada apa jam segini Kak?"
"Entahlah.."
"Hah?!"
Saat itu, Juan sedang bingung tentang apa yang sedang dilakukannya. Ia salah tingkah. Panggilan itu sunyi untuk beberapa detik.
"Kak? Kalau enggak penting aku tutup nih,” tegas Rena dengan nada yang terkesan dingin.
"E-eh? Jangan dulu!" Juan tersadar dari lamunannya. "Kenapa belum tidur?"
"Barusan habis makan malem sama Bang Ares. Kakak sendiri kenapa belum tidur?"
"Masih ada yang harus dikerjain nih."
"Selarut ini?"
"Belum larut ini mah.” Untuk beberapa detik, lelaki yang sedang bingung itu terdiam. “Emmmm .... Ren," panggil Juan lagi.
"Iya?"
"Kamu...... enggak apa-apa?" Sebenarnya Juan ragu menanyakan itu. Menurutnya pertanyaan itu terlalu basa-basi, tapi hatinya terlalu khawatir untuk memikirkan itu.
"Enggak apa-apa kok," jawab Rena santai.
"Rotinya udah di makan?"
"Hah? Roti? Roti apa?"
Oh, belum dibuka ternyata.
"Coba buka ranselmu."
Rena mendekati meja belajar untuk menemukan tasnya. Ia membuka isi tas itu. Di dalamnya, ia menemukan plastik berisi roti isi selai bluberi dan susu pisang dengan catatan kecil tertempel di luar plastik. Melihat itu, Rena menahan tawa.
"Pfftt ... Apaan sih Kak? Kakak kan bukan anak kecil, hahaha," Rena cekikikan.
"Ah, menurutmu itu kekanakan?" tanya Juan merasa malu.
"Enggak sih, lucu aja," Rena tersenyum lebar. "Makasih, Kak."
Mungkin udara malam itu sedang saling mengamati, hingga Juan turut tersenyum di seberang, "Bukan apa-apa kok."
"Tapi kak, apa temen-temen tahu soal ini?"
"Enggak, aku masukin itu sekalian tadi balikin kotak P3K."
"Syukur deh kalau gitu."
Juan kini berjalan mendekati jendela kamarnya. Ia menatap langit malam.
"Ren..."
"Hmm?"
"Di kamarmu ada jendela?"
Rena menoleh ke arah jendela kamarnya. "Ada."
"Coba liat ke luar."
Rena mengikuti perkataan Juan.
"Cantik kan?"
Rena tersenyum, "Ya."
"Apa kamu tahu, itu rasi bintang apa?"
"Entahlah, aku enggak merasa bintang-bintang itu membentuk sesuatu."
"Iyap. Karena belum waktunya orion muncul."
"Aaaa, ya iya sih."
"Kamu liat bulan itu?"
"Ya."
Juan terdiam sejenak."Istirahat sana, udah malem."
"Ih, apaan sih?"
Juan tertawa, "Enggak kok, udah-udah tidur sana. Itu rotinya buat sarapan aja besok."
"Bawel ih!"
"Gak mau nih?"
"Iya iyaaaaaaaaaaaa.. "
"Maap deh, ganggu malem-malem," Juan terkekeh. "Oh iya, sebenernya tadi hampir ketahuan Miss Yuna."
"Hah? Terus?"
"Miss Yuna enggak tahu kok, tenang aja."
"Bagus deh, bahaya tuh kalau ketahuan."
"Kenapa emang?"
"Bisa rame."
"Yayayaya. Paham kok, tenang aja," Juan tersenyum.
"Ya udah, lanjut kerja sana! Rena mau tidur," ucap Rena ketus.
Ih! Tahan Juaaan, tahan.
"Galak amat sih?"
"Enggak tuh!"
"Dah, selamat tiduuuurr... Aku tutup ya."
"Ya."
Juan menutup teleponnya. Ia masih tersenyum menatap layar ponselnya, mungkin karena sudah lama ia tak bercakap lewat telepon dengan gadis yang mencuri perhatiannya sejak satu tahun lalu itu. Belum selesai dengan lamunannya, Kakak Juan membuka pintu kamarnya. Juan menoleh.
"Juan, udah mau tidur?"
"Belum Bang. Ada apa?"
"Bantu Kakak ngerjain ini bentar."
"Oke."
Juan beranjak dari kursi belajarnya yang nyaman itu lalu mengikuti kakaknya. Sebelum ia menutup pintu kamarnya, matanya kembali menatap ponsel di atas meja belajarnya dan bergumam, "Selamat malam." Ia tersenyum, lalu menutup pintu kamarnya.
***
Lelaki itu adalah Juan Hadinata. Kalau dibilang idola, benar, ia adalah idola. Apalagi anak-anak perempuan. Berwajah rupawan dengan image soft boy, punya otak cemerlang, pandai bermusik, ramah, bisa dibilang seperti manusia-manusia yang menjadi tokoh utama dalam kisah-kisah fiksi. Paket lengkap dan dijamin protagonis. Sebenarnya, itu tidak mudah baginya. Menjadi populer itu sulit. Puluhan pasang mata mengintainya setiap hari. Kadang ia harus berpura-pura menjadi sosok yang sempurna karena tuntutan sekitarnya. Baginya, butuh berpikir berkali-kali lipat untuk memutuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Namun, sebuah masa datang padanya. Masa ketika ia merasa berbeda dengan orang lain.
“Saya Rena, anggota sopran. Terima kasih.”
Perkenalan singkat yang kemudian disambut tepuk tangan ramai membuat Juan penasaran tentang sesuatu. Senyum tipis (setengah terpaksa) yang mengakhiri kalimat perkenalan gadis itu membuat Juan bertanya-tanya. Kenapa anak itu terlihat acuh tak acuh? Padahal sepertinya ia serius memilih paduan suara. Saat tes pengelompokan suara pun anak itu bahkan datang paling awal.
“Hmm, aneh. Anak nakal itu sepertinya hanya bisa dikendalikan olehmu. Pakai ritual apa kau?”
“Yan, bisa diem enggak?!” seru Juan dengan nada sok dingin, padahal ia tersipu.
Briyan cengengesan. “Ya pokoknya nanti kalau jadian jangan lupa kasih pengumuman, sekalian pajak juga enggak apa-apa.”
BRAKK
“Dah, nih lanjutin tugasmu!” Juan membanting setumpuk dokumen bertuliskan deretan not balok, not angka, beserta lirik-liriknya. Alih-alih kesal pada Briyan, sahabatnya sejak tahun pertama di SMA, Juan hanya berusaha menutupi salah tingkah dan detak jantungnya yang tiba-tiba berisik.
Lelaki itu bergegas pergi. Belum sampai ia meraih gagang pintu, pintu itu lebih dulu terbuka cepat. Juan tertegun seolah lupa kalau ia ingin pergi keluar dari ruang latihan.
“Kak,” sapa Rena canggung. Sedikit kaget menatap Juan tepat di depannya.
“Ah, ada apa?” entah kenapa suara Juan tiba-tiba menjadi serak.
“E-em… ada yang ketinggalan,” Rena tergagap.
“Oh, masuklah.” Juan berpindah, menepi untuk memberikan jalan pada juniornya. Rena menunduk sambil melangkah melewati Juan. Kemudian pintu tertutup. Juan cepat-cepat menata napasnya lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Baginya cukup berbahaya jika ia lebih lama di sana.
Briyan bilang, gadis itu anak nakal, tetapi mungkin bagi yang lain gadis itu unik. Seperti Juan contohnya. Ia memandang Rena sebagai gadis yang hanya ingin berekspresi sebagai dirinya sendiri. Sesuatu yang menurut Juan tidak ada dalam dirinya dan bahkan jarang ia temukan orang seperti itu dalam dunia sempitnya. Di zaman yang begitu manipulatif ini sudah sangat langka seseorang yang mau menjadi dirinya sendiri sesederhana untuk bertahan hidup. Menurut Juan, orang zaman sekarang cenderung lebih mendorong dirinya untuk melakukan apa pun—meski itu sebenarnya jurang yang menyakitkan—untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Mungkin juga dirinya adalah salah satu dari mereka. Mengenal Rena membuatnya bertanya-tanya apa mungkin ia akan bisa berekspresi dengan bebas juga?
Sementara itu, “Ada apa, Bang? Kok Kak Juan buru-buru gitu?” tanya Rena yang akhirnya penasaran setelah Juan meninggalkan ruang latihan.
“Enggak tahu,kayanya dia tuh berbunga-bunga tiap liat kamu,” jawab Briyan dengan nada khas menjahili miliknya yang sontak dibalas tatapan sinis oleh Rena.
***