"High school in Jakarta, sorta modern Sparta
Had no chance against the teenage suburban armadas
We were a sonata, thanks to tight-lipped fathers
Yeah, livin' under that was hard, but I loved you harder
High school in Jakarta, an elaborate saga
I still hate you for makin' me wish I came out smarter," seruku berdendang mengikuti lagu yang kini dinyanyikan oleh anak-anak kelas 3 IPA A di panggung aula sekolah.
Lagu High School in Jakarta dari NIKI ini sedikit membantuku diriku lebih tenang. Aku sangat gugup di menit-menit menjelang drama yang akan aku lakoni.
Band amatir dari 3 IPA A berhasil membawakan lagu ini dengan sangat baik hingga membuat penonton ikut berjoget. Penampilannya disambut tepuk tangan riuh siapapun yang melihatnya.
Setelah beberapa menit, tibalah kelompokku untuk melakukan drama di atas panggung. Kami kebagian menjadi penampil ketiga dalam pentas seni ini.
Sebelum pentas, aku sudah meminta bantuan beberapa anak di kelasku agar memastikan bahwa Mika akan menonton drama ini. Aku berharap banyak, ia akan menyukainya.
Ya Mika berada di sana, di sebelah kanan panggung tengah tertawa riang bersama teman-temannya di kelasnya yang lama.
“Abis kita capek joget-joget ria, nih kita kasih penampilan buat kalian healing,” kata Dimas pembawa acara pentas.
“Iya healing di puncak capek kan, healing di sini saja sambil nonton drama,” kata Mega pasangan Dimas dalam membawakan acara ini.
“Oh ya langsung saja ya, kita sambut drama berjudul “Born to be Perfect,” ujar Dimas agak berteriak.
Drama ini dimulai dari Bella yang merasa kesulitan mengikuti pelajaran di kelas. Kemudian diceritakan Bobby dan Sean sebagai teman-teman sekelas Bela yang suka membullynya.
Namun, guru Bela yang diperankan olehku biasanya diam saja dan merasa itu hal biasa bagi anak-anak. Bela yang terus mendapat bullyan mencoba membalas.
Lantaran Bela tidak bisa membalas Bobby dan Sean, dirinya lantas melampiaskan kemarahannya pada adiknya di rumah. Adik Bela diperankan oleh Dodit. Omong-omong Dodit sangat terlihat lucu menggunakan baju anak-anak.
Sementara itu, Bela menjadi sosok yang kasar akibat dibully. Suatu ketika adiknya dipukulnya hingga terluka.
Akibatnya, orang tua Bela yang diperankan oleh Dodit dan Fatia memarahinya. Mereka sibuk bekerja tanpa memperdulikan apa yang sebenarnya terjadi pada anak mereka.
Hari demi hari, Bela menjadi depresi. Ia tidak mendapat dukungan dari siapapun dan tidak ada orang yang mencoba memahaminya. Hingga Bela ditemukan bunuh diri di sekolah dengan meninggalkan catatan.
Kami sengaja membuat catatan itu layaknya puisi agar lebih mendramatisir. Kemudian, orang tua dan guru Bela menyesal atas tewasnya gadis malang tersebut.
Aku adalah lukisan dinding yang tak terlihat
Aku diciptakan untuk mendapatkan perhatian dari kalian
Tapi berakhir menjadi penutup lubang tembok
Apakah aku kurang menarik
Jika aku bisa aku ingin mengadu ke pelukisku
Sayang aku belum terlalu mengenalnya
Jika aku bisa aku akan turun dari gantungan bingkai sial ini
Akan kutarik mata kalian demi melihatku
Sialnya sudah kucoba dan aku gagal
Kembali ke ideku untuk bertemu pelukisku
Akan kupinta dia untuk memperbaikiku
Semoga di tembok lain, aku tak gagal lagi
Meski drama ini hanya berdurasi 30 menit saja, anak-anak di sekolah kami terlihat terhibur. Setelah drama selesai, kami mendapat tepuk tangan yang meriah dari penonton.
"Mungkin karena kami sudah giat berlatih dalam dua minggu ini," pikirku.
Sebelum kami turun dari panggung, aku menyampaikan epilog singkat terlebih dahulu. Aku ingin memberikan pesan yang lebih jelas mengendai drama ini.
"Kita sering tidak memperdulikan konsekuensi atas apa yang kita ucapkan atau lakukan pada seseorang.Kita sering tidak sadar bahwa perundungan secara tidak langsung membunuh seseorang."
"Bisa membunuh jiwa seseorang atapun membunuh semangat dan masa depannya. Orang sering kali mem-bully agar mereka terlihat kuat di hadapan orang lain."
"Padahal yang sebenarnya terjadi mereka sedang mempertontonkan kelemahan mereka sendiri. Maka semuanya terutama orang tua dan guru bertanggung jawab dan berperan besar dalam memerangi tindakan perundungan bagi anak-anak."
"Orang-orang dewasa tidak bisa menormalisasi perundungan sebagai perilaku yang biasa terjadi, khususnya di sekolah, Terima Kasih" ujarku disambut tepuk tangan lagi.
Aku cukup senang, latihan keras kami berbuah manis dan mendapat apresiasi yang baik dari penonton. Bahkan kepala sekolah sempat mengacungkan jempol pada kami dari kejauhan.
"Oh iya sebelum saya benar-benar turun dari panggung, izinkan saya mengucapkan permintaan maaf setulus-tulusnya pada Mika," kataku.
"Mika, aku harap kamu menerima permohonan maafku ini, karya ini kami persembahkan spesial untukmu, Sahabatku," ucapku.
Saat aku berbicara demikian, penonton lantas mencari-cari sosok Mika. Mereka akhirnya menemukan sosok Mika setelah aku dengan jelas memandang ke arah sahabatku itu.
Tak disangka, Mika yang berada di pojok kanan aula terlihat menyungingkan senyumnya. Ia kemudian memberikan tepuk tangan untuk kami.
Ia lantas melambaikan tangannya padaku. Aku sangat senang, akhirnya Mika sudah mulai luluh.
"Selain Mika, kami persembahkan karya ini untuk semua anak-anak di sekolah, sekali lagi terima kasih guys!," seruku keras penuh percaya diri.
Saat aku hendak turun dari panggung, Bobby merebut mik yang aku pegang secara tiba-tiba. Aku penasaran dengan tingkah apa lagi yang akan dilakukannya.
“Aku sebagai perwakilan kelas II Bahasa A, ataupun seluruh siswa yang pernah membullimu atau menghinamu juga meminta permohonan maaf padamu Erin Kinanti,” kata Bobby sambil menyerahkan mik pada Sean.
“Kami memang seharusnya tak pernah melakukan itu padamu, semoga kamu memaafkan kami dan melupakan segala bullyan yang pernah kami lakukan,” lanjut Sean.
Setelah Bobby dan Sean mengucapkan itu, sejumlah anak-anak yang ikut drama yang kini masih berada di atas panggung maupun anak-anak yang menonton saja memberikan gestur maaf.
Aku cukup terharu dengan momen ini, tak terasa air mataku menetes tanda bahagia, gugup, sedikit tersipu malu, semuanya menjadi satu.
Setelah dirasa cukup, aku langsung turun panggung dan menghampiri Mika. Melihat senyum manis Mika, aku tak kuasa untuk tidak memeluknya.
Aku tidak peduli dengan tatapan anak-anak lain.
"Maafin aku juga ya Rin," ujar Mika.
"Ku rasa aku seharusnya tidak perlu marah terlalu lama denganmu," lanjut Mika.
Dari kejauhan Bobby, ku lihat ia mengacungkan jempol padaku. Ikut bahagia misiku berhasil.
Setelah aku mengucapkan terima kasih pada kelompok dramaku, aku langsung mengajak Mika untuk bicara empat mata di luar aula.
Aku ingin mengatakan sejujur-jujurnya apa yang terjadi padanya.
"Mik, maafin aku.. Aku dulu tidak bermaksud mempermalukanmu, atau mungkin ada maksud, tapi aku menyesal, benar-benar menyesal."
"Aku sudah bertindak keterlaluan," kataku pada Mika.
"Ya sudah yang sudah biarlah berlalu," ujar Mika dengan senyum termanisnya.
"Aku hanya iri padamu saat itu Mika, kamu terlihat sangat sempurna."
"Selain itu.....," mengabaikan ungkapan Mika untuk tidak mengungkit masalah yang lalu itu.
"Selain itu apa? Bobby ya?." tebak Mika disusul anggukanku tak mampu menjawab.
Aku merasa benar-benar malu dan terlihat konyol.
"Aku awalnya juga tidak terlalu paham kamu suka dengan Bobby, karena sebelum ini kamu selalu memperlihatkan ketidaksukaanmu padanya," jawab Mika.
"Bahkan aku pun sempat menyukai Bobby," jelas Mika kemudian menundukkan wajahnya.
"Akan tetapi cepat-cepat aku alihkan perasaanku itu. Siapa yang suka dengan cowok yang baru saja menaksir berat sahabatmu," kata Mika menoleh padaku.
"Jadi Erin, percayalah padaku aku tidak mencoba merebutnya. Aku hanya terus menjadi lebih baik untuk diriku sendiri dan orang tuaku tanpa ada niatan untuk menarik perhatian laki-laki," jelas dia.
Mendengar penjelasan Mika, aku merasa makin malu. Aku merasa benar-benar bertingkah kekanakan beberapa waktu lalu.
Dia belajar dengan keras untuk dirinya sendiri dan orang tuanya, sedangkan aku belajar keras untuk melampauinya dan demi Bobby kembali padaku.
"Oh iya soal itu, soal aku tidak mau makan, dulu aku merasa kamu memang sudah mencurigaiku. Aku merasa kecewa saat itu denganmu kenapa kamu justru memperjelasnya di depan anak-anak."
"Tetapi kamu tidak 100 persen salah, karena aku tidak mencoba jujur dan terbuka padamu," kata Mika.
Aku yang bingung harus menjawab apa hanya bisa mencoba menggenggam pundak Mika. Ingin kutunjukkan bahwa aku selalu mendukung dirinya.
"Aku pernah mengalami anoreksia, dulu aku benar-benar takut aku akan di-bully teman-teman karena berat badanku."
"Aku tak ingin langsung menuduh bahwa anak-anak di sekolah kita akan merundungku juga. Namun, mengingat apa yang mereka lakukan padamu dahulu membuatku takut."
"Kamu yang dulu sering di-bully karena fisik membuat traumaku kembali muncul. Aku memang sudah bertekat untuk makan dua kali saja, tidak mau makan di sekolah."
"Tapi melihatmu di-bully di sekolah, membuatku sangat takut. Aku takut mereka juga akan mem-bullyku jika aku kembali gemuk," kata Mika mulai menangis.
Melihat Mika menangis, secara spontan aku langsung memeluk Mika. Tak terasa, pipiku juga panas karena air mata.
Untuk beberapa detik kami saling berpelukan menguatkan.
"Kamu sempurna Mika, kamu cantik, penampilan seperti apapun tidak akan mengubah kenyataan bahwa kamu adalah Mika yang cantik dan hebat," kataku sambil melepaskan pelukanku.
"Sekarang kamu enggak usah takut ya Mik, ada aku di sampingmu, aku selalu mendukung kamu," ucapku pada Mika.
Kemudian, Mika langsung mengelap air matanya dan tersenyum padaku.
"Setidaknya sekarang kalau aku trauma ada temennya," ucapnya kemudian tertawa.
Aku yang bingung kenapa Mika tertawa justru membuatku ikut tertawa. Lalu kami pun tertawa keras bersama.
Setelah kami berhenti tertawa, Mika mengucapkan sesuatu yang membuatku lagi-lagi terheran.
"Jajan batagor yuk, tapi nanti aku dikit aja, kalau enggak abis, kamu bantuin aku ya," ujar Mika.
"Hah?," ujarku heran.
"Gara-gara kamu main ke rumahku itu dulu, kamu bilang ke mereka, orang tuaku manggil psikolog lagi. Psikolog itu rutin tiap minggu membantuku hingga kini aku tidak takut untuk makan."
"Oh iya psikolognya ganteng jadi aku semangat konsul dan nurut haha," ujar Mika tertawa keras.
Mau tak mau aku lagi-lagi ikut tertawa.
"By the way ternyata aku punya sahabat cepu," canda Mika padaku.
"Ya maap deh lain kali enggak," ujarku
"Haha canda, ya udah yuk, jajan, abis nangis ketawa laper," kata Mika sambil menarik tangankku.