"Tidak ada yang sempurna di dunia? Siapa bilang? Tuhan sudah memberikan porsinya masing-masing yang membuat sesuatunya menjadi sempurna," pikirku mengingat-ingat apa yang sudah terjadi dalam setahun terakhir.
Di sore yang cerah ini, aku tengah menunggu seseorang yang spesial. Ku kenakan pakaian paling favorit yang aku punya. Kaos putih dengan rok selutut warna biru serta rambut yang tergerai rapi.
Di bawah pohon willow di taman kota, ku seruput sedikit demi sedikit ice lemon teaku. Rasanya sudah lama aku tidak menghabiskan waktuku dengan tenang dan penuh perasaan bahagia selama setahun terakhir ini.
Petikan gitar seorang laki-laki beberapa meter dariku menambah suasana soreku makin berwarna. Terlihat lelaki di sana memetik gitarnya sendirian tanpa menyanyikan lagu apapun.
“Tapi ini sudah sempurna,” pikirku.
Taman kota ini adalah tempat favoritku di kota ini setelah rumahku sendiri tentunya. Namun sayang kesibukanku di sekolah membuatku jarang mampir ke sini.
Terakhir ke sini ya saat aku berlatih drama bersama teman-teman kelas.
Selain pria yang memetik gitarnya, beberapa anak-anak bermain-main dengan orang tuanya. Adapula sekumpulan anak-anak laki-laki yang bermain skateboard maupun sepatu roda di arena yang sudah disediakan.
Lalu, beberapa pasangan kekasih tengah mengobrol dan bergandengan tangan dengan mesra di bangku-bangku taman. Sedikit aku ikut penasaran apa yang mereka bicarakan melihat keseruan tawa mereka.
Mereka semua terlihat ceria dan bahagia. Mereka tertawa-tawa seakan-akan tidak ada beban yang ditanggung. Meski begitu aku yakin bukan berarti mereka tidak memiliki penderitaan di balik senyum mereka.
Beberapa hari setelah pentas seni, Mika kembali menjadi juara kelas di kelasku. Aku rasa dia memang layak mendapatkannya.
Sedangkan, aku lagi-lagi berada di posisi dua. Mungkin, aku sedikit kecewa bahwa aku tak bisa menandingi Mika. Namun, aku sadar bahwa setiap orang sudah diberi porsi masing-masing dalam meraih kebahagiannya.
"Lagipula, mungkin kerja keras Mika lebih besar dariku," pikirku.
Meski aku tak berhasil meraih juara kelas, aku berhasil menjadi siswa terpilih untuk program pertukaran pelajar di Australia.
Aku pikir itulah yang lebih aku inginkan daripada menjadi jawara kelas.
Nantinya, aku akan berangkat dengan satu anak lain dari kelas Bahasa B untuk study di Australia sekitar tiga bulan. Aku tak sabar.
Bu Endang menjelaskan, keahlian bahasa Inggrisku cukup bagus, menulis naskah drama, dan ditambah kepercayaan diri yang besar yang kutunjukkan saat pentas seni menjadi pertimbangan besar para guru memilihku.
“Wah Erin ada untungnya kan kamu dulu mau maju pentas seni,” kata Bu Endang beberapa waktu lalu.
“Iya Bu, padahal aku hanya berniat mengkampanyekan soal bully di sekolah,” jawabku.
Sementara itu, aku merasa bahagia, nervous, deg-degan tiap memikirkan keberangkatanku minggu depan. Untung ada orang tuaku yang akhir-akhir ini terus memberikan booster kepercayaan diriku.
Beruntungnya lagi, segala urusan mengenai administrasi dan tempat di mana aku tinggal nanti sudah diurus oleh pihak sekolahku dan pihak sekolah yang ada di Australia.
Sehingga, aku tinggal mempersiapkan diri dan sedikit menyiapkan data-dataku saja.
Jam tangan di tangan kiriku menunjukukan pukul 4 lebih 15 menit. Seseorang yang kutunggu tak kunjung datang.
Ini berarti sudah telat 15 menit dari perjanjian awal kita bertemu. Untung saja, saat ini perasaanku tengah diliputi rasa bahagia. Tidak akan ada rasa kesal jikapun aku harus menunggu beberapa jam lagi.
"Heh.......," ujar Bobby menyadarkanku dari lamunan.
Iya, Bobby lah orang yang spesial itu yang kini sedang aku tunggu-tunggu. Dia mengajakku bertemu sebelum kami tidak bisa bertemu dalam waktu yang cukup lama.
"Sorry, telat ya Rin, pas mau berangkat malah disuruh Mamaku nganter ke rumah temennya, ada urusan penting katanya."
"Oh iya tadi udah aku Whatsapp kamu," jelas dia.
"Oh ya," ujarku langsung mengecek ponselku.
"Tiga pesan masuk dari Bobby" demikian pop up notification di layar ponselku.
Baru kusadari sejak tadi aku tidak membuka ponsel. Aku terlalu sibuk menikmati sore ini hingga pikiranku melayang kemana-mana.
"Erin selamat ya kamu berhasil ke Australia, kamu emang layak buat program ini," ujar Bobby tersenyum manis padaku.
Sambil mengambil duduk di sampingku, ia juga mencoba menyalami tanganku tanda selamat atas keberhasilanku.
Setelah kami saling melepas tangan, perasaan canggung di antara kami kembali datang. Aku pikir perasaan ini selalu datang tiap kami hanya berdua saja.
Detakan jantung yang lebih cepat serta bunga yang dulu sering menghampiri kepalaku datang bersamaan. Bedanya, saat ini aku juga secara harfiah melihat bunga-bunga di taman.
Bunga angsana kuning gugur bertebaran di mana-mana terhempas angin merambah sampai ke bawah pohon willow.
"Oh iya, ngajak ketemu mau ngomong apa?," ujarku langsung mencoba bersikap biasa saja.
"Gini Rin, mmm," ujar Bobby ragu.
"Rin, kamu tahu kan kalau aku pernah suka sama kamu? Dan kemungkinan aku masih menyukaimu," ujar Bobby sambil menggaruk-garuk lehernya seperti biasa.
"Kamu tentu masih ingat kan dengan ciuman kita beberapa minggu lalu," ujar Bobby kemudian.
Mengingat itu, mukaku rasanya panas lagi. Aku bingung harus mau berkata apa. Ingin ku protes Bobby kenapa mengungkitnya untuk kedua kalinya.
"Momen itu sering membayangi tidurku," kata Bobby.
"Aku hanya ingin memastikan, sebenarnya apa hubungan kita," ucapnya menatap mataku.
Kali ini aku mencoba berani membalas tatapan matanya. Di bawah sinar matahari sore, mata coklat Bobby semakin kentara.
Mendengar pertanyaan Bobby, aku justru ingin tertawa. Di dalam drama yang aku tonton biasanya pihak wanita lah yang meminta kepastian yang seperti Bobby tanyakan sekarang.
“Hahaha,” tak bisa kupendam hal yang menurutku lucu ini.
Melihatku malah tertawa, sedikit kulihat muka Bobby yang tersinggung.
“Loh kok kamu tertawa sih,” protes Bobby.
“Tidak tidak apa-apa, hanya mukamu lucu kadang,” kataku.
"Aku rasa sudah terlalu banyak mengulur waktu, mau enggak kamu jadi pacarku?," ujar Bobby menggebu dan tiba-tiba.
Suasana kembali menjadi hening. Aku bingung menjawab pertanyaan Bobby.
"Nanti gapapa kok misal kita LDR dulu 3 bulan, 3 bulan kan cepet," kata Bobby.
"Bukan itu Bob masalahnya," kataku.
"Apa kamu sudah enggak suka lagi sama aku," tanyanya mendesak.
"Bob," kataku lembut sambil memegang tangannya.
"Aku masih menyukaimu, sangat menyukaimu," kataku.
Ku beranikan diri untuk lebih dalam menatap matanya penuh ketulusan.
"Tapi bukan itu masalahnya, aku merasa aku dalam fase belajar dan memperbaiki diri. Bukan hanya belajar dalam konteks sekolah, tapi belajar mengenai kehidupan, belajar untuk menjadi lebih dewasa."
"Bukan hanya aku sebenarnya, aku merasa kamu juga perlu belajar itu Bob," jelasku.
Lalu, Bobby melepaskan tangannya dariku. Dia hanya memandang langit-langit di atas. Pandangan matanya itu membuatku ikut melakukan apa yang dia lakukan.
Ku dengar dia menghela napas cukup panjang.
"Bob? Kamu enggak marah kan?."
"Percayalah Bob, aku masih sangat menyukaimu, tapi ini bukan waktunya," ujarku.
Lalu, Bobby kembali menatapku. Kemudian, ia mengelus lembut kepalaku.
"Oke kalau maumu begitu, tapi nanti kalau aku udah menjadi lebih baik, kamu bakal masih mau sama aku kan?."
"Bentar, tapi ukuran kapan aku menjadi lebih baik bagaimana ya?," tanyanya.
"Mmm," gumamku bingung.
"Oke jika kamu memintaku belajar menjadi lebih baik, aku juga minta sesuatu padamu," katanya tegas.
"Aku akan memintamu menjawab soal ini setelah kita lulus SMA," kata Bobby.
"Lihat saja nanti," jawabku.
"Kalau jawabmu tak jelas begitu ya sudah lupakan saja," katanya merajuk melepas tangannya dari kepalaku.
"Hahaha, oke-oke sehabis lulus SMA, aku kasih jawaban," kataku akhirnya.
Kemudian kami saling bercanda mengenai banyak hal. Kebanyakan soal tingkah konyolnya bersama Sean.
Aku sedikit menceritakan mengenai momen perdamaian dengan Mika. Saat itu aku juga sempat menanyainya apakah dirinya masih dekat dengan temanku itu.
“Bagus kalau begitu kalau kalian sudah berdamai,” ujar Bobby.
“Oh iya Bob, sorry kalau aku masih kepo. Apakah kamu juga masih mengechatnya?,” tanyaku.
“Sebenarnya tidak semenjak kejadian Hari Kartini itu, saat aku bertanya mengapa dia tidak masuk sekolah dan dia tidak menjawabku, aku juga tidak pernah mengechatnya,” jelas Bobby.
“Lagipula yang aku sukai adalah selalu kamu,” kata Bobby sambil melemparkan senyum usilnya.
Rasanya baru pertama kalinya sejak mengenal Bobby, momen inilah yang paling membuatku bahagia. Aku lebih banyak mengenal dirinya lebih jauh, begitupun sebaliknya.
Setelah mengobrol cukup panjang, kami memutuskan untuk makan bersama. Ia mentraktirku es krim dan burger kesukaanku di cafe tidak jauh dari taman kota.
"Tapi nanti di Australia, kamu jangan nyantol sama bule di sana ya," katanya sambil melahap double burger besarnya.
"Lah, apa salahnya dong. Emang, kamu yakin enggak bakal jatuh cinta sama cewek lain di sini," ujarku bercanda.
"Janji dong, emang ada Erin yang lain di sini," balas Bobby sambil tersenyum menang.
“Emang enggak ada sih tapi kan banyak cewek cantik di sini,” kataku.
“Aku enggak bisa mengeja kata beauty tanpa ada kamu di sampingku,” ujarnya serius.
Mendengarnya menggombal seperti itu, aku tertawa diikuti tawanya yang agak berat.
“Aku serius Rin,” kata Bobby kembali serius menatap tajam mataku.
“Tapi aku sendiri enggak tahu sih bisa bilang kata-kata itu,” ujar Bobby kembali tertawa.
“Dasar cowok gila,” candaku.
Kami tak berjanji bahwa kami akan bersama maupun berpacaran setelah lulus sekolah. Yang kami tahu pasti bahwa kami berjanji untuk belajar menjadi lebih baik.
TAMAT