Siang yang cerah, seperti biasa. Hawa panas masih mendominasi penjuru kelas. Membuat tiap murid di sekolah bertanya-tanya, mengapa tiap ada ujian di sekolah mereka, selalu jatuh di musim kemarau? Seakan-akan tidak ada pilihan lain, seperti menyelenggarakan UAS di musim hujan misalnya.
Di antara murid-murid XI-IPA 1 yang sibuk belajar mandiri mempersiapkan ujian akhir semester, ada tiga anak yang asik dengan dunianya sendiri. Siapa lagi kalau bukan Ileana, Kaivan, dan Naufal—trio maut di kelas itu. Hanya mereka yang bisa mengubah permainan sesimpel UNO menjadi ajang pertarungan sengit.
Ileana dan Naufal saling bertatapan. Berbeda dari sebelumnya, kedua mata hazel[Mc4] Ileana menatap mata Naufal intens. Tangan mereka memegang erat kartu permainan, seakan apa yang mereka pegang saat ini adalah sebuah pertaruhan nyawa, hidup-mati.
Kaivan hanya bisa menggaruk kepala, berpikir keras bagaimana cara bisa menang melawan dua orang ini. Di tangannya hanya ada beberapa kartu skip, dan kartu 3 berwarna merah. Dia bisa saja mengeluarkan semua kartu itu sekarang, tapi Kaivan piker. Mungkin akan lebih menyenangkan bila bisa menghancurkan potensi kemenangan Ileana dan Naufal sekaligus.
Sahabat dari Ileana dan Naufal itu dengan sabar menunggu hingga di kedua tangan mereka menyisakan 1 kartu. Sambil tersenyum puas, Kaivan langsung menaruh dek kartu dalam genggamannya.
"Wow! Mantap, masuk Pak Eko! Hahahaha!” Tawa Kaivan meledak seketika.
Ghazanvar bersaudara tidak menyangka kalau Kaivan menahan diri untuk mengeluarkan senjata ultimatumnya untuk mengakhiri permainan ini
“Kok bisa gitu, Kai!?” protes Ileana tidak terima.
Sedangkan yang diprotes hanya bisa tertawa lepas mendengar semua protes itu, “Makanya … yang sabar kalua main. Perhatikan baik-baik, kapan kalian harus mengeluarkan kartu!”
“Serangan tidak terduga dari Kaivan. Aku bahkan tidak memprediksikan kombinasi kartu itu ada di tangannya,” tambah Naufal.
“Dipikir-pikir, kenapa juga harus dipikirin?” goda Kaivan, masih lanjut tertawa.
Begitulah Kaivan, anak yang dikabarkan terlihat paling normal di antara kombinasi pertemanan aneh ini, nyatanya dia bahkan lebih random dari apa yang terlihat di luar.
Melihat betapa asyiknya tiga sekawan itu bermain, anak kelas XI-IPA 1 sedikit iri kepada mereka. Terutama seseorang yang duduk di baris paling depan.
Dengan tenang ia menutup buku, lalu menengok kearah belakang. Bibir tipisnya tersenyum, tapi sorot mata Rafan berkata lain. “Seru, ya, main UNO?” tanya Rafan sambil tertawa sinis.
Naufal mengangguk sambil mengacungkan jempol, “Mantap banget. Kaivan strike 5 kartu skip. Permainan yang sangat memuaskan,” Naufal sampai bertepuk tangan. “Kenapa Rafan? Mau join?” tanya sang pemilik kartu UNO.
“Tidak, terima kasih. UAS sudah di depan mata, lebih baik aku menyiapkan diri untuk ujian, daripada melakukan hal-hal tidak penting, seperti bermain kartu,” tolak Rafan yang dari nada bicara saja sudah terdengar sedikit menyindir.
Sang lawan bicara mengangguk-ngangguk mengerti. Senyum lebar Naufal sunggingkan, sembari menaik turunkan alis beberapa kali, lalu menggoda Rafan.
“Ayolah, Tuan Ambisius. Kalau kamu mau mengulik sedikit, UNO itu bisa menjadi sebuah permainan yang menerapkan ilmu matematika. Jangan terlalu kaku begitulah … kita ini masih muda, jadi chill aja!” canda Naufal sambil mengocok kartu UNO di tangan, sebelum dibagikan lagi pada dua pemain lain.
Semua orang di kelas tahu, ada dua hal yang mereka benci tiap musim ujian datang. Pertama, hawa panas menyengat khas musim kemarau Indonesia. Lalu kedua, perang dingin Naufal-Rafan yang terkenal sulit untuk menyudahi pertengkaran ini.[Mc8]
Bisa dibilang, ini pertengkaran klise, antara si jenius dan si rajin. Siswa yang terkenal akan kerajinannya ini tampak sering dibuat jengah oleh Naufal yang selalu meraih nilai tertinggi di sekolah. Padahal yang terlihat di sekolah, Naufal hanya anak yang gemar bermain atau mengundang kegaduhan bersama teman-temannya.
Ileana dan Kaivan hanya bisa tertawa kaku. Alasan mereka bisa sebebas ini di sekolah, semua disebabkan oleh kegiatan yang akan mereka jalani setelah pulang sekolah. Lebih tepatnya saat mereka sampai di rumah Naufal. Selalu ada Setan Tutor yang siap mengajar mereka, tiap kali musim ujian tiba.
“Enak ya, jadi pintar. Ketawa sedikit, dapat nilai seratus. Aku juga mau dong,” cibir Rafan, sebelum lanjut membuka buku paketnya.
“Ah, kamu saja yang tidak pernah menikmati proses. Iya kan, Ileana? Kaivan?” bela Naufal sambil menatap kedua sahabatnya penuh harap.
Kaivan hanya mengangguk lemas, sedangkan Ileana menahan diri untuk tidak menelan ludah di saat yang salah.
Perang dingin ini sudah biasa untuk Ileana yang sudah 2 tahun sekelas dengan mereka, tapi tetap saja, mengingat yang bertengkar itu sepupu dan gebetannya membuat sang gadis cukup ketar-ketir. Sambil mengeluarkan kartu 2 berwarna merah, Ileana menelan ludah dalam-dalam.
Mengapa suasana kelas bisa semencekam ini, padahal tadi tidak seperti ini.
Di tengah sunyinya kelas yang kembali fokus pada pembelajaran masing-masing, untuk kesekian kali, suara tawa Naufal memecah keheningan.
Sambil menaruh kartu skip untuk Kaivan, Naufal tertawa, “Belajar itu bukan soal seberapa kuat kamu mengingat suatu hal. Tapi seberapa paham kamu mengenai konsep yang dipelajari. Sia-sia kalau hafalanmu bagus, tapi tidak bisa menjabarkan contoh penerapan ilmunya dengan baik,” tutur Naufal.
“Jadi kalau kataku, coba kamu lepas dulu bukunya, terus ayo sini main UNO sama aku. Suntuk banget kayaknya di situ!” ajak Naufal pada Rafan.
Rafan tertawa setelah mendengar ajakan Naufal. Ia mencoba menolak ajakan itu sehalus mungkin, “Maaf, aku lebih memilih untuk menetap bersama hal yang lebih menyenangkan, ketimbang kartu.”
Murid berambut hitam yang sempat mengajak Rafan untuk beristirahat sebentar tadi, hanya bisa menaikkan kedua bahu sambil menatap kedua temannya bingung.
***
Selama belasan tahun hidup, Ileana tidak pernah setakut ini mendengar suara penggaris kayu yang berkali-kali dihentakkan ke meja. Begitu pula dengan Kaivan yang tampak mulai muak melihat buku paket matematika di hadapannya.
Kaivan itu sudah berkali-kali bergumam, “Kenapa dikasih nama Matematika Peminatan., kalau aku saja tidak ada minat sedikit pun mengerjakan ini! Tidak cukup ada mata pelajaran Matematika, kenapa juga harus ada Matematika Peminatan di dunia ini!?”
Mata Naufal langsung memincing ke arah Kaivan. Dia kembali menjelaskan betapa pentingnya ilmu matematika itu, dan mengapa mereka harus mempelajari Matematika.
Kurang lebih sudah 2 jam setelah mereka pulang dari sekolah dan sampai di rumah Naufal. Sudah selama itu pula mereka tidak keluar kamar Naufal sama sekali. Tiap kali Ileana ingin keluar, yang gadis itu dengar selalu kata larangan, bahkan sampai ancaman, jikalau ia berniat kabur, Naufal akan menambah jumlah soal milik Ileana.
Inilah yang dimaksud Setan Tutor oleh Ileana dan Kaivan. Walau Naufal telihat santai, memilih berleha-leha di sekolah sebelum ujian, tetapi ketika sudah di rumah, berhadapan dengan kedua sahabatnya di ruang keramat ini, ia tidak akan segan-segan mengeluarkan sisi killer untuk mengajar mereka.
Jika dibandingkan, mungkin Naufal bisa setara, atau mungkin lebih menyeramkan dibanding guru killer manapun yang pernah Ileana temui.
“Lihat ke arah mana kamu, Ileana?” tanya Naufal sambil memainkan penggaris kayu.
“Ada tukang roti yang lagi jualan, Pak. Saya lapar sekali!” rengek Ileana yang mulai merebahkan diri di lantai. “Ayolah Naufal … mau sampai kapan kami berdua dikurung?” tangis Ileana penuh drama, tidak kuat dikurung terus-menerus untuk menjawab tiap soal buatan Naufal.
Sambil menjentikkan jari, Naufal baru teringat kalau mereka belum makan malam. Akhirnya Naufal memutuskan istirahat selama 30 menit. Ia pun turun ke dapur, izin memasak makanan untuk mereka bertiga.
Selama itu, Ileanna dan Kaivan mengambil kesempatan untuk meregangkan tubuh kaku yang terus terduduk bungkuk di depan meja Naufal. Sesekali Kaivan mengusap-usap mata yang sakit, akibat terus melihat rumus yang tidak akan pernah ia mengerti.
“Nikmati apanya? Pahamin apaan? Kalau udah belajar sama Naufal, rasanya kayak dijorokkan ke dalam neraka terdalam!” Keluh Kaivan.
Bukan kamu doang yang benci Matematika, Kai. Kurasa seperempat penduduk di bumi setuju kalau Matematika dihilangkan saja,” tambah Ileana.
Kedua tangan Kaivan langsung terangkat di udara, senyumnya melebar, “Wah, aku salah satu dari seperempatnya!”
Tidak lama kemudian Naufal masuk ke dalam kamar sambil membawa setumpukan nugget yang masih panas.
“Ayo dimakan, jangan segan-segan ya!” tawar Naufal.
Ketika Ileana dan Kaivan melihat ke arah piring mereka, terdapat beberapa Nugget berbentuk angka dan alfabet yang tersusun menjadi bentuk soal.
Hal itu spontan membuat dua remaja itu menjerit histeris, menutup mata, dan menangis pasrah. Cara belajar yang sangat menyenangkan, juga menyiksa ala Naufal Adelio Ghazanvar.