Hari semakin petang, langit sore yang semula didominasi oleh biru cerah, perlahan berganti menjadi jingga, begitu pula dengan hawa panas yang berangsur-angsur jadi lebih sejuk.
Satu-persatu lampu di gedung sekolah mulai menyala dan bel akhir, pertanda harus sudah berakhir semua kegiatan di sekolah pun telah berbunyi. Murid-murid yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler diharuskan meninggalkan sekolah, setelah mendengar bel ini berbunyi.
Lapangan sekolah mulai tampak sepi, menyisakan beberapa yang masih berkemas atau mungkin masih ingin menghabiskan waktu sedikit lebih lama di sekolah.
Kalau saja Ileana tidak ditarik oleh kedua pawangnya, mungkin dia sudah menghabiskan waktu lebih banyak untuk sekedar modus atau memanfaatkan hak istimewa sebagai anak ekskul jurnalistik untuk mengambil lebih banyak foto-foto Rafan.
Sambil berjalan menuju ke parkiran sepeda, Ileana sesekali mengintip hasil foto yang ia dapatkan tadi.
“Ya ampun, minum air saja tampan sekali! Kenapa kamu begitu istimewa?” bisik Ileana sambil tersipu malu.
Sekilas kedua sahabatnya mendengar apa yang Ileana ucapkan, tetapi mereka memilih untuk menanyakan hal itu nanti.
Sesampainya di parkiran sepeda, Kaivan dan Naufal segera mengambil sepeda mereka yang bersebelahan. Setelah mengeluarkan sepeda, Ileana menuju ke arah Kaivan, tanpa banyak basa-basi, ia langsung duduk di bangku belakang, sementara Naufal mengendarai sepeda sendiri.
Dikarenakan rumah yang searah, mereka lebih memilih untuk menaiki sepeda, agar tidak terlalu merepotkan. Membawa 2 sepeda dan membonceng Ileana yang terkadang lebih mudah, disbanding anak itu membawa sepedanya sendiri.
Mereka pun beranjak meninggalkan kawasan sekolah. Suara mobil dan motor melengkapi canda tawa yang dilontarkan oleh ketiga remaja itu sepanjang perjalanan pulang.
Masih penasaran dengan apa bisikkan ileana menuju tempat parkir sepeda tadi, Kaivan pun bertanya, “Tadi kamu lihatin siapa sih?”
Ileana yang awalnya masih tertawa dengan guyonan Naufal seketika terbatuk-batuk. “Maksudmu?” balas Ileana bertanya.
“Iya, kamu liatin siapa? Tadi sepanjang jalan menuju ke parkiran sepeda, kamu tuh ketawa-ketawa gak jelas gitu tahu,” ujar Kaivan.
“Nggak! Bukan siapa-siapa!” sanggah Ileana.
“Ah, masa? Kok aku gak percaya, ya?” selidik Naufal sambil mendekatkan sepedanya ke Sepeda Rafan.
“Woi, Naufal! Hati-hati, nanti sepeda kita nabrak!” seru Kaivan sambil menjauhkan diri dari sepeda Naufal.
“Jelas-jelas nama pengirimnya ada kok di surat itu. Buat Rafan kan?” goda Naufal.
Ileana yang awalnya ingin menyanggah langsung menelan ludah sendiri. Dia tidak bisa mengelak lebih jauh, bila Naufal sudah membocorkan rahasianya.
Kaivan sontak tertawa kencang, “Tuh, kan, bener! Aku awalnya udah mikir pasti Rafan nih.”
Gadis yang semula duduk terdiam langsung mencengkram erat kedua bahu Kaivan dan mendapat teguran dari sang pengemudi karena ketidak seimbangan sepedanya dapat membuat mereka berdua jatuh.
“Kalau Naufal yang tahu, aku sih gak kaget. Tapi gimana caranya kamu tahu, Kaivan!?” pekik Ileana, masih sambil mencengkram bahu Kaivan.
“Tahu lah, kalau aku gak tahu nanti jadinya tempe,” canda laki-laki berambut hitam itu sambil tertawa jahil.
“Nggak, deh. Aku tahu soalnya tadi pagi, kamu tuh saltingnya sambil lihat ke arah depan. Seperti sedang melihat ke arah seseorang gitu. Awalnya kupikir anak kelas sebelah, eh malah tahu-tahunya benar aja si Rafan.”
Sebal karena tidak bisa mengelak dari mereka yang kini terus terus menggoda, pada akhirnya Ileana hanya bisa cemberut. Cepat atau lambat, kedua sahabat Ileana pasti akan tahu siapa yang ia sukai. Walau begitu, ia tidak menyangka kalua hal itu akan secepat ini. Bahkan dengan skenario paling bodoh pula.
Kaivan mencoba menenangkan Ileana, menceritakan sepertinya sang pujaan hati tidak sadar kepada siapa surat itu ditujukan.
Yang paling aneh dari percakapan itu hanya ketika Naufal menimpali bahwa Rafan adalah orang yang seru diajak bertanding nilai dengannya.
Hanya mendengar itu suja sudah berhasil membuat Ileana mengembuskan napas lelah.
“Tapi aku masih penasaran. Sejak kapan kamu suka sama dia, Ileana?” tanya Naufal.
Gadis itu mencoba untuk mengingat setiap adegan yang dia hitung selama menyukai Rafan.
Berawal dari Ileana yang masuk ke satu sekolah dengan kedua sahabat.
Di hari pendaftaran yang terasa biasa saja ini, di sekolah SMA Grand Stellar yang terlihat cukup oke, dengan fasilitas lebih bagus daripada SMP Ileana. Sebenarnya tidak ada hal yang begitu menarik. Mungkin satu-satunya yang bikin Ileana bersemangat hanyalah ekskul Jurnalistik.
Sudah sejak lama gadis berambut hazelnut ini mendalami dunia fotografi. Sayangnya ekskul jurnalistik di SMP dibubarkan ketika Ileana menginjak tahun kedua.
Maka dari itu membayangkan betapa menyenangkannya dapat bertemu lagi dengan kegiatan favorit Ileana, gadis itu menjerit bahagia sambil merentangkan kedua tangan. Kebahagiaan yang meluap ini membuat tangan kiri sang gadis mengenai bahu seseorang yang sedang duduk di samping Ileana. Merasa tidak enak, ia langsung meminta maaf kepada laki-laki itu.
Laki-laki yang duduk di samping Ileana tersenyum manis, memperlihatkan deretan gigi putihnya sambil menjawab kalau dia tidak apa-apa. Esensi dari laki-laki itu membuat Ileana kesilauan. Sangat berkilauan. Rasanya seperti melihat pangeran yang datang dari negeri seberang, sangat bercahaya. Kalau Ileana dapat memotret Rafan di hari itu, pasti yang ditangkap kamera itu hanya cahaya tanpa ada Rafan di dalamnya.
Selain muka Rafan yang sangat tampan, dia juga karismatik. Terlihat bagaimana dia menjawab setiap pertanyaan wawancara dengan mudah dan tutur bahasa yang sopan. Bahkan guru-guru saja sampai terpesona melihat Rafan.
Sekarang gadis itu sangat bersyukur bisa selalu sekelas dengan Rafan, dirinya selalu mengagumi Rafan. Bahkan tanpa dia sadari rasa kagum itu berubah menjadi suka yang tidak dapat Ileana bendung. Mungkin kalau dia dapat menyatakan cinta, pasti Ileana mendapatkan penghargaan perjalanan cinta paling lebay.
Kaivan dan Naufal yang mendengar setiap detail cerita Ileana hanya mengangguk-angguk.
“Tidak salah. Kamu bisa masuk ke kategori percintaan terlebay,” aku Naufal setuju.
Kaivan kembali tertawa, “Apalagi surat cintanya sudah dibaca duluan sama si sepupu. Jujur aja, ini kelewat drama!”
Sang gadis kesal mendengar kedua tanggapan sahabatnya, tanpa basa-basi dia langsung menjitak Kaivan yang masih asyik menyetir sepeda.
“Padahal aku sudah menyiapkan waktunya. Sampai tiap detail di hari aku menyatakan perasaan, sudah dirancang dengan baik, tapi gara-gara ini sialan ini, semua berantakan!” protes Ileana.
“Ya itu sih deritamu!” sahut Kaivan dan Naufal kompak.
***
Malam pun tiba, sebelum dirinya tertidur lelap Ileana langsung membuka semua akun media sosial milik Rafan. Memastikan kalau tidak ada satupun dari kejadian hari ini disinggung olehnya. Sambil sesekali mengutuk kejahilan Naufal, Ileana masih lanjut memastikan setiap sudut akun Rafan mulai dari story Whatsapp, story Instagram, sampai ke twitter masih gadis itu lihat.
Melihat tidak ada satupun hal diungkit oleh pujaan hatinya, Ileana langsung mengembuskan napas lega. Bersyukur, artinya tragedi di pelajaran Bahasa Indonesia hanya dianggap angin lalu oleh Rafan.
Gadis itu belum siap. Ia takut kalau tiba-tiba Rafan mengetahui perasaannya, lalu ia ditolak secara mentah-mentah. Akan sangat memalukan. Tanpa pikir dua kali, Ileana dengan senang hati akan langsung menggali kuburannya sendiri lalu bersembunyi di sana.
Sambil memperbaiki posisi tidurnya, Ileana kembali mengingat setiap detik yang gadis itu habiskan ketika pertama kali melihat Rafan. Hanya memandang dari jauh, penuh kagum. Mulanya perasaan hangat memenuhi dada seketika berubah jadi kumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sekitaran perut Ileana. Rasanya menggelitik tapi sangat bahagia.
Kehadirannya benar-benar dianggap sempurna. Gestur, lekuk badan, tata bahasa, bahkan pancaran auranya benar-benar membuat dunia Ileana teralihkan sementara.
Mungkin kata yang tepat untuk mendeskripsikan setiap waktu yang gadis itu habiskan di dekat Rafan adalah Golden Hour. Warna yang sangat memanjakan mata dengan kualitas yang paling sempurna, berada pada temperature warna yang hangat. Itulah yang Ileana rasakan untuk sang pujaan hatinya.