“Tok! Tok! Tok!”
Menjelang salam, terdengar bunyi ketukan pintu.
“Tumben dia salat di kamar, tidak di masjid seperti biasanya?”
Dari suaranya aku bisa menebak bahwa itu Fritz.
“Baru bangun.”
“Apa?” Fritz terdengar kaget. “Sejak siang tadi aku ke sini?”
Kusudahi salatku. Mengucap salam sambil menengok ke sebelah kanan lalu ke kiri. Kuangkat tangan. Berdoa sepenuh jiwa. Beristigfar sebanyak-banyaknya. Memohon ampunan atas segala khilaf dan dosa.
“Masih mencari yang tadi?” tanya Felix.
“Aku sudah tanya Kiara, Eva dan Zahra, tapi mereka tidak punya. Makanya aku ke sini lagi. Tadi kau bilang Sofyan punya, kan?”
Aku melipat sajadah. Lalu menaruhnya di tempat semula. Kulihat, Fritz duduk di kursi belajar Felix. Aku bingung. Entah, apa yang sedang mereka bicarakan.
“Iya. Aku pernah lihat,” jawab Felix.
“Kau punya benang dan jarum, Fyan?” tanya Fritz.
“Benang dan jarum?” tanyaku heran, “Buat apa?
“Aku mau menjahit ujung celanaku.”
“Woow ….” Seketika Felix berseru. “Kau mau ikutan memakai celana cingkrang juga seperti Sofyan?
Setelah sekian lama ia memakai celana yang panjangnya kadang sampai terinjak dengan tumit kini ia akan mengubah penampilannya. Dia akan memakai celana cingkrang sepertiku. Entah, terisnpirasi dari mana, Fritz menjadikan celana mengatung ini menjadi pilihannya.
“Bukan. Ini kan lagi trend. Kau lihat penampilan Michael Jackson, kan?”
Celana mengatung memang sudah menjadi bagian dari trend fashion setelah Thom Browne, seorang desainer mempopulerkannya kembali. Pada tahun 2004 ia memperkenalkan celana yang sudah dikenal sejak tahun 1850-an ini untuk musim panas di Amerika Serikat.
Mungkin secara kasat mata saat ini gaya bercelana kami terlihat sama. Namun, niat telah membedakan keduanya. Fritz memakai high water pants karena trend fashion. Meniru Michael Jackson, penyanyi idolanya, sebagai salah satu orang yang telah mempopulerkannya. Sementara niatku jauh berbeda darinya.
“Jadi bukan karena mengikuti cara berpakaian seperti Nabimu?” tanya Felix.
“Sudahlah. Buat apa kita bahas hal sepele seperti ini? Hanya perkara kulit. Bukankah ada hal yang lebih penting dari sekadar mengurusi ujung celana yang ada di bawah mata kaki?” ucap Fritz.
Aku tersenyum mendengar jawaban Fritz. Lalu membalas ucapannya.
“Bukankah tanpa kulit isi buah akan menjadi rusak, lalu membusuk?”
***