Ucapan Felix itu benar bahwa Islam membatasi seorang laki-laki dalam memiliki istri. Islam hanya memperbolehkan empat orang istri untuk satu laki-laki, itupun harus dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an ayat ketiga surat An Nisa’.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
“Bukankah itu artinya Nabimu telah melanggar tuntunan ajaran Islam itu sendiri?” cibir Felix.
Fritz dan Eva menggangguk pelan. Entah, menandakan apa kerut di kening keduanya. Bisa jadi ia membenarkan ucapan Felix. Atau malah bingung. Seolah ada kontradiksi antara perilaku Nabi dengan nasihatnya tentang batas jumlah wanita yang boleh dijadikan istri. Nabi memiliki istri lebih dari empat orang. Sementara beliau membatasi umatnya yang melakukan praktik poligami hanya boleh memperistri empat orang saja dalam waktu yang bersamaan. Tidak boleh lebih. Apapun alasannya.
Secara prinsip, perbuatan Nabi itu memang patut untu ditiru. Nabi harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Bahkan ketaatan kepada Nabi merupakan syarat mutlak ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an ayat ke-80 surat An Nisa’: “Barangsiapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.”
Namun, tetap ada batasan yang menjadi wilayah kekhususan bagi beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki keistimewaan dalam hal ini.
“Ada beberapa perbuatan yang hanya wajib untuk Nabi, tetapi menjadi sunnah jika dikerjakan oleh umatnya. Itu artinya kita mendapat pahala jika mengerjakannya. Namun, tidak berdosa jika tidak mengerjakannya. Seperti: Shalat Dhuha’, Qiyamullail, Bersiwak. Dan masih banyak lagi yang lainnya.”
Felix mengubah duduknya. Masih tetap menyimak.
“Ada juga kekhususan lain bagi Nabi. perbuatan yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh untuk umatnya,” lanjut Kiara.
“Berlaku untuk umatnya, tapi tidak untuk Nabi? Apa contohnya?” tanya Eva dengan raut wajah kebingungan.
Fritz diam menyimak.
“Salah satunya tentang zakat. Haram bagi Rasulullah untuk menerima zakat. Namun boleh bagi umatnya,” ucap Kiara, “Semiskin apapun keadaan Nabi, beliau diharamkan menerima harta zakat. Pun berlaku untuk keluarga beliau. Benaran Fyan?”
Aku mengangguk membenarkan ucapan Kiara.
“Selain itu, ada juga beberapa perbuatan yang memang menjadi kekhususan bagi Nabi,” ucapku menjelaskan, “boleh dikerjakan oleh Nabi, tetapi haram dikerjakan oleh umatnya, Fel.”
“Misalnya?” tanya Felix.
“Seperti berpuasa Wishal.[1]Nabi boleh berpuasa Wishal terus menerus. Namun, hal itu tidak boleh dilakukan oleh umatnya.”
“Termasuk kebolehan bagi Nabi memiliki lebih dari empat orang istri dalam waktu yang bersamaan. Hal ini termasuk kekhususan yang hanya berlaku untuk Nabi. Haram bila dilakukan umatnya.”
“Loh kenapa bisa begitu?” protes Felix.
Fritz mengangguk pelan sambil melihat ke arah Felix. Mungkin Fritz setuju dengan protes Felix barusan? Entahlah.
“Tentunya para ulama tidak sembarangan menentukan hukum untuk itu. Mereka tentu sudah memeriksa secara saksama keseluruhan dalil yang ada. Baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah. Lalu menarik sebuah kesimpulan darinya.”
“Terkait bolehnya Nabi menikah lebih dari empat istri?” tanya Felix skeptis.
“Hal itu sudah dijelaskan sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an,” ucapku menjelaskan.
Lalu kubuka aplikasi Al-Qur’an di handphone. Kubuka tepat di halaman Al-Qur’an ayat ke-50 surat al-Ahzab. Lalu membacakan terjemahannya di hadapan mereka.
“Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya,sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
“Jika Nabi membolehkan seorang lelaki memiliki istri lebih dari empat orang, tentu beliau tidak memerintahkan umatnya untuk menceraikan istri yang lain, lalu menyisakan empat orang saja,” lanjutku.
“Jadi, misal ada lelaki memiliki sepuluh orang istri, maka ia harus menceraian minimal enam orang istrinya?”
Aku mengangguk sambil tersenyum menjawab pertanyaan Fritz.
Hal ini sebagaimana pernah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang lelaki yang kedapatan memiliki lebih dari empat orang istri. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan imam Tirmidzi dan telah dishahihkan Syaikh Al Albani diceritakan bahwa ada seorang yang baru saja masuk Islam. Ghoylan bin Salamah Ats Tsaqofiy, namanya. Sebelumnya ia telah memiliki sepuluh orang istri. Lalu semua istrinya itu mengikuti jejak Ghoylan masuk Islam. Mengetahui hal itu, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia memilih hanya empat orang istri saja dari sepuluh istrinya.
Tidak hanya Ghoylan bin Salamah Ats Tsaqofiy, ada sahabat Nabi bernama Qois bin Al Harits yang mengalami hal serupa. Kisahnya tercatat pada hadits yang diriwayatakan oleh Ibnu Majah dan Abu Daud. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini. Ketika Qois masuk Islam dan telah memiliki delapan orang istri. Mendengar hal itu, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan padanya untuk memilih hanya empat orang istri saja dari kedelapan istrinya.
***
[1] Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya.