Tidak hanya Felix saja yang meragukan kenabian Muhammad sholallahu alaihi wassalaam. Kiara pun pernah mempunyai pemikiran demikian. Beberapa hari sebelum akhirnya Kiara mempersaksikan iman Islam di hadapanku saat kami berada di tepi sungai Saskatchewan, ia sempat menyatakan keraguannya. Kiara meragukan ajaran Sang Nabi hanya lantaran beliau berpoligami.
“Aku percaya ajaran agamamu baik, Fyan. Hanya saja aku masih meragukan apakah benar Muhammad itu seorang utusan Tuhan?”
Pertanyaan Kiara sebelum dirinya menjadi seorang muslimah itu menjadi salah satu diskusi menarik usai aku mengajar private Bahasa seperti biasanya di kediaman Fritz. Seperti yang sudah-sudah, selalu saja pertemuan dalam private Bahasa itu menjadi ajang diskusi yang hangat. Bukan hanya membahas tentang pelajaran yang baru saja aku berikan. Tetapi juga tentang diskusi keagamaan. Biasanya Fritz dan Felix yang menjadi pendengar setia. Sementara Kiara, selalu menjadi penanya yang kritis. Sementara aku seolah dipaksa harus tahu dan harus bisa menjawab segala pertanyaan yang diajukan.
“Jadi kau percaya ajaran Islam itu baik?” tanya Fritz.
Kiara mengangguk.
“Aku rasa hampir semua ajarannya baik,” jawab Kiara “kecuali hal yang satu itu. Poligami.”
“Hanya gara-gara poligami, kau tidak percaya bahwa beliau adalah seorang nabi?” tanya Fritz.
Lagi-lagi Kiara mengangguk.
“Bukankah para Nabi yang diceritakan dalam kitab sucimu juga melakukan praktik poligami?” ucapku balik bertanya, “Bagaimana mungkin kita bisa memprotes sebuah tindakan yang sama namun dilakukan oleh orang yang berbeda? Bukankah kita harus adil dan bijaksana dalam menilai sebuah perkara?”
Kiara memegang dagunya dengan tangan kanan. Kulihat, ia juga mengerutkan dahi seolah ujung-ujung alis dekat area hidung saling berkaitan. Entah, apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin saja ia heran kenapa aku malah menyerang balik cerita poligami yang ada dalam kitab sucinya. Aku berusaha sebisa mungkin menjawab pertanyaan Kiara.
“Sebelum kau membahas lebih jauh, kau tahu kan bahwa istilah ‘nabi’ dalam ajaran Kristen dan ajaran Islam itu memiliki definisi yang berbeda, Fyan?” ucap Felix.
“O … berbeda?” ucap Fritz.
Felix mengangguk.
“Iya, benar berbeda,” jawabku, “jadi meskipun ada tokoh yang diceritakan dalam Islam sebagai seorang Nabi, belum tentu demikian menurut ajaran Kristen. Bisa jadi dalam ajaran Kristen mereka hanya sebagai orang saleh. Sebagai hamba yang diperkenan Tuhan saja.”
“Correct,” sahut Felix.
“Bahkan kalau tidak salah ada juga Nabi perempuan kan?” tanyaku.
“Perempuan menjadi Nabi?” heran Fritz.
“Ada.” Kiara dan Felix kompak menjawab.
***
Memang tidak boleh gegabah. Menyamaratakan sebuah kata hanya karena tertulis dengan susunan huruf yang sama. Sebab setiap agama tentu memiliki definisi yang berbeda. Sebagaimana istilah nabi dan rasul. Kedua istilah itu dipakai dalam ajaran Islam dan Kristen. Namun, ternyata memiliki definsi yang berbeda. Kita tidak bisa menyamaratakan penyematan gelar atau julukan nabi dan rasul kepada seorang tokoh tanpa melihat latar belakang referensi yang digunakan. Apalagi memaksakannya harus sama ketika berhadapan dengan audiens yang berbeda keyakinan dengan kita.
Ibarat bebek dan ayam. Keduanya adalah unggas, tapi memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya. Maka kita tidak bisa menyamakan keduanya. Kita tidak bisa juga memaksakan kepada orang lain bahwa kedua itu hewan yang sama meski keduanya termasuk ke dalam hewan golongan unggas.
Aku melanjutkan penjelasanku yang sempat tertunda. Aku merujuk istilah nabi menurut definisi Alkitab, sebab pembahasan poligami kali ini berhubungan dengan tokoh yang ada dalam Alkitab.
“Jika mengacu pada tulisan Rashi[1], maka kita dapat mengetahui bahwa ada 55 nabi yang diakui dalam tradisi Yahudi. Terdiri dari 48 nabi laki-laki dan 7 nabi perempuan[2],” ucapku menyebutkan sumber tulisan yang berasal dari Shlomo Yitzchaki, seorang Rabi Yahudi yang hidup sekitar tahun 1040 hingga 1105 di Prancis, “Abraham, Yakub, Daud, Salomo, Musa adalah beberapa tokoh yang masuk di dalamnya.”
Mereka terbengang saat aku menjelaskan definisi itu dari sumber di luar islam. Seolah tersihir dengan kata-kataku, mereka hanya terdiam menyimak penjelasanku.
“Bukankah Abraham pun berpoligami?” tanyaku pada Kiara, “Apa kau lupa bahwa dalam Alkitab menceritakan bahwa Abraham memiliki tiga istri: Sara, Hajar dan Ketura[3]?”
Fritz dan Felix kompak melihat ke arah Kiara seolah ingin mendengar jawaban dari mulutnya.
“Bukankah Yakub pun berpoligami?” ucapku lanjut bertanya, “Lea, Rahel, Bilha dan Zilpa adalah istri serta budaknya[4] yang akan melahirkan 12 suku Israel.”
“Ya. Benar,” jawab Kiara singkat.
“Dan dari 12 suku Israel itu, nantinya akan lahir Daud dan Salomo[5]. Menurut catatan Injil Matius dan Injil Lukas mereka adalah leluhur Yesus. Pun keduanya melakukan poligami,” lanjutku menjelaskan, “tak tekecuali Musa, di mana Tuhan telah menurunkan Taurat padanya. Pun melakuan praktik poligami[6] kan?”
Kulihat Fritz dan Felix mengangguk pelan.
“Lantas, apakah dengan praktik poligami yang dilakukan para Nabi itu membuat kau meragukan mereka sebagai manusia terpilih di antara sekian banyak manusia sebagai utusan Tuhan?”
Kiara menggeleng.
“Lalu bagaimana bisa kau hanya mengkritisi kenabian Muhammad karena melakukan praktik poligami sementara tidak untuk yang lainnya?” ucapku, “ini nggak fair Kiara.”
***
[1] Rashi adalah akronim dari RAbbi SHlomo Itzhaki (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Rashi)
[2] http://www.jewfaq.org/prophet.htm#
[3] Kejadian 16:3, Kejadian 23:1
[4] Lea Istri pertama (Kejadian 29:22-23), Rahel istri kedua (Kejadian 29:30), Bilha (Kejadian 30:4), Zilpa (Kejadian 30:9).
[5] Daud (I Samuel 25:43-44, 27:3, 30:5, II Samuel 3:1-5, 5:13, 16:22, I Tawarikh 3:1-9, 14:3.), Salomo (1 Raja-raja 11:3)
[6] Bilangan 12:1