Bocah lelaki itu duduk tak jauh dari tempatku. Aku tersenyum melihat kelakuannya saat dia mencium-cium aroma pavlova pemberian ayahnya. Wajahnya yang menggemaskan membuatku mengamatinya dari ujung kaki hingga kepala. Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku menghampiri bocah lelaki itu. Aku duduk di sebelahnya. Ada jarak beberapa hasta antara aku dengannya. Dia melirikku lalu kembali dengan aktifitasnya mencium-cium aroma pavlova.
Aku masih melihat tingkah lucunya. Membayangkan betapa bahagianya jika aku menjadi seperti dia. Betapa senangnya mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ayah. Hingga tanpa sadar, hokey pokey di tanganku pun mulai meleleh. Bocah kecil itu yang memberitahuku. Aku segera menjilati bagian yang mulai mencair itu.
Lalu, aku membuka obrolan kepada sang bocah. Aku memperkenalkan namaku lebih dulu padanya. Akhirnya, aku pun tahu nama bocah lelaki pemegang pavlova yang duduk menunggu ayahnya istirahat bekerja. Kauri, namanya.
“Do you like pavlova?[1]”
“I’m a big fan of pavlova, especially when my dad made me one.[2]”
“Ah, so this was made by your father?[3]” tanyaku sambil menunjuk pavlova milik Kauri.
“Yeah, my father ran pretty much of the store. He bakes good stuffs,[4]” tunjuk Kauri ke toko kue.
Aku mengangguk sambil tersenyum mendengar jawaban Kauri.
“Cool! I’ve got this hokey pokey in that store too! So, this also made by your father?[5]”
“Yeah,” jawab Kauri sambil mengangguk, “it’s good, isn’t it?[6]”
“Very! Im planning to get another bag![7]”
Kami berbincang santai. Bocah lelaki itu sangat bersemangat ketika menceritakan sosok sang ayah. Dari sorot matanya, aku dapat melihat ada perasaan begitu bangga terhadap sosok sang ayah. Sebab Kauri menceritakan padaku bahwa sang ayah sangat pandai membuatkan kue-kue lezat untuknya. Dari senyumnya dapat kurasakan betapa dia bahagia memiliki ayah yang begitu sayang kepadanya. Aku mendengar celoteh Kauri sambil mengangguk-angguk pelan karena menikmati ceritanya. Cerita polos tentang kecintaan seorang anak terhadap ayahnya. Cerita hidup yang sungguh jauh berbeda dengan kisah masa kecil yang kupunya.
Obrolan kami pun mengalir begitu saja. Aku lebih banyak mendengarkan cerita Kauri tentang keluarganya. Ternyata, bocoh polos itu terlahir dari keluarga yang pintar memasak. Tak hanya sang ayah yang biasanya membuatkan makanan lezat. Ibunya pun demikian. Kauri menceritakan bahwa dia selalu rindu dengan kue buatan ibunya. Sebenarnya dia sudah bosan selalu makan Pavlova. Dia ingin sekali makan kue besar yang ada buah-buahan segar di atasnya seperti yang biasa dibuatkan ibunya.
“My mom once baked a lot of cakes for me.[8]”
“O ya,” ucapku penasaran, “why dont you ask your mom to make one for you?[9]”
Kauri menggeleng.
“Your mom’s sort of busy now?[10]”
Lagi-lagi Kauri menggeleng.
“She couldn’t afford to bake another one.[11]”
“She’s ill?[12]”
“Nope. She’s gone far away.[13]”
“Where?”
“There,” jawab Kauri sambil melihat jauh ke atas langit,
Spontan aku pun melihat ke arah pandangan mata Kauri
“She’s on the way to heaven, my father said. He said its so far. He kept on gazing at the sky when he said that. Is it true that the heaven is up there?[14]” tanya polos sang bocah.
Mendadak hatiku basah saat mata Kauri berkaca-kaca menceritakan sosok ibunya. Kauri sudah menjadi piatu dalam usianya yang masih belia. Aku hanya tersenyum tak menjawabnya. Kauri juga menceritakan kenapa ayahnya belum membelikan kue yang diidam-idamkannya sejak lama. Ayahnya tadi membisikkan kalau uangnya belum cukup. Kauri juga bercerita kalau ia juga menabung supaya bisa membelinya.
“You see that cake? Do you have that kind of cake back in your country?[15]”
“Nope. But, in my country, we have a lot of other delicacies.[16]”
“You must have been eating lots of them when you’re a kid.[17]”
Aku mengangguk.
“Your dad’s a nice person, just like my dad.[18]”
Aku hanya memberikan senyum sebagai respon atas pernyataannya. Mungkin dia mengira setiap ayah selalu baik dalam memperlakukan anaknya sebagaimana ayah Kauri memperlakukannya. Bagi Kauri, ayah adalah sosok istimewa. Terlebih jika seorang ayah bisa membuatkan kue dan makanan lezat untuk anaknya. Dia mengira bapakku melakukan hal sama, sebagaimana yang dilakukan ayah Kauri padanya.
***
[1] Kau suka pavlova?
[2] Suka ... sangat suka ... apalagi bikinan ayahku sendiri.
[3] O... jadi ini bikinan ayahmu?
[4] Iya ... ayahku bekerja jadi koki di toko kue itu.
[5] Wow keren. Tadi aku juga beli hokey pokey di sana, berarti itu buatan ayahmu?
[6] Enak kan?
[7] Sangat enak, saya mau membelinya beberapa lagi.
[8] Dulu, ibu sering membuatkannya untukku.
[9] kenapa nggak minta Ibumu buatkan saja?
[10] Ibumu sibuk?
[11] Ibuku sudah tidak bisa lagi membuat kue
[12] Ibumu sakit?
[13] Tidak. Ibuku sudah pergi jauh.
[14] Tuh di sana, kata Ayah, ibu sedang pergi ke surga. Kata ayah surga itu jauh sekali. Waktu ayah mengatakan itu, ayah sambil melihat ke awan-awan yang ada di sana. Memang betul ya om surga itu ada di atas sana?
[15] Di negaramu apa ada kue seperti yang di pajang di sana?
[16] Tidak. Akan tetapi di tempat om banyak kue-kue enak ... banyak sekali ....
[17] Pasti waktu masih anak-anak, kamu sering makan kue-kue lezat itu?
[18] Waahh ayah om baik juga yaa seperti ayahku