Sang bocah tersenyum bahagia sambil mengamati pavlova di tangannya. Namun, tak berselang lama kulihat wajah sang bocah tampak muram. Ayahnya terlihat bingung melihat perubahan raut wajah anaknya yang tiba-tiba. Ayahnya mencoba menghibur. Namun, sang anak hanya menunduk lalu melihat kue-kue yang dipajang di balik kaca. Tampaknya sang ayah paham dengan apa yang menjadi keinginan anaknya. Lalu, ayahnya bertanya kepada sang anak tentang keinginannya.
“Loh kok cemberut?”
“Ayah, aku mau makan kue yang itu bolehkah?” tanya sang anak sambil menunjuk kue tart besar yang di atasnya bertabur buah-buah segar.
“Boleh,” ucap ayahnya sambil tersenyum.
“Asyiiiikkk ...,” teriak sang anak kegirangan, “aku mau ayah ... aku mau.”
“Boleh.”
“Serius, ayah?”
Sang ayah mengangguk. Sang bocah berloncat-loncat kegirangan.
“Tapi nanti, tidak sekarang,” ucap sang ayah.
“Yaaaahhh ....”
Mendadak sang bocah lemas tak bergairah mendengar jawaban sang ayah. Dia menyandarkan tubuh kecilnya ke dinding toko kue dengan rasa kecewa. Tak berapa lama kulihat matanya berkaca-kaca.
“Tapi ayah kan sudah janji dari bulan kemarin. Ayah ingat kan kalau aku juara kelas ayah akan berikan aku kue yang lezat. Aku kan sudah juara kelas. Tapi ayah masih belum penuhi janji,” ucap sang bocah dengan air mata meleleh di pipinya.
“Iya, sabar ... uang ayah ternyata masih belum cukup, sabar yaaa ...,” ucap sang ayah sambil membelai rambut sang anak memintanya bersabar.
“Nanti ayah bekerja lebih giat supaya ayah dapat uang tambahan lagi. Nanti kita beli kue yang kau suka, bagaimana?”
Sang anak hanya mengusap air matanya. Lalu, dia mengeluarkan beberapa recehan dari kantong celananya.
“I’ll get you my money, is it enough?[1]”
Sang ayah hanya tersenyum.
Keep your penny. I’ll get you the cake just like I promised, okay?[2]”
Sang anak mengangguk pelan. Lalu, sang ayah menutup tangan anaknya yang berisi uang recehan dan menuntun tangan sang anak ke dalam saku celana tempat ia mengambil uang recehannya.
“I gotta go.[3]”
Sang anak hanya mengangguk.
“I wanna eat this pavlova with you daddy.[4]”
“Very well boss. 10 minutes and i’ll be right up.[5]”
“Okay.”
“Wait for me at the usual place okay?[6]”
“Okay.”
“Chin up and smile young lad![7]” ucap sang ayah berusaha menghibur sang anak.
“Alright daddy.. thanks a lot for the pavlova, I love you daddy.[8]”
“Kau begitu beruntung dariku, Dik,” batinku.
Mereka berpelukan sebelum akhirnya berpisah. Kulihat sang anak berlari ke arah taman dan duduk di salah satu bangku tak jauh dari tempatku sambil sang ayah terus mengawasi putranya dan setelah ia rasa sudah aman barulah sang ayah masuk lagi ke dalam toko untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Aku melihat sang anak melihat pavlova yang tadi diberikan ayahnya. Tampak sekali kebahagian di wajahnya. Dia memperhatikan pavlova kecil yang ada di tangannya. Dia memutar-mutarnya sambil tersenyum manis lalu mencium aromanya
***
[1] Kalau aku tambahin apakah sudah cukup?
[2] Simpan saja uangmu. Ayah janji akan membeli kue yang sudah ayah janjikan, oke?
[3] Ayah harus masuk lagi.
[4] Aku mau makan Pavlova ini bersama ayah
[5] Oke bos. Tunggu ayah, sepuluh menit lagi jam istirahat ayah
[6] Tunggu ayah di tempat biasa oke?
[7] Nah, senyum dulu dong, masa anak ganteng ayah cemberut
[8] Iya ayah. Makasih Pavlova-nya. Aku sayang ayah.