Aku tersenyum melihat bocah lelaki itu sambil membayangkan betapa indah hidupnya memiliki ayah yang begitu sayang dan memperhatikannya dengan tulus. Tidak seperti hidupku yang sudah merasakan seperti yatim sejak lama. Bukan yatim karena tidak memiliki ayah. Akan tetapi, aku menjadi yatim karena bapak benar-benar tidak memperhatikanku sebagai anaknya. Bapak tidak terlalu peduli dan hanya sibuk dengan dunianya. Jiwaku menjadi yatim, sebab tak pernah merasakan indahnya kasih sayang dari seorang ayah.
Ingin kutabur bunga
Tapi entah di pusara yang mana
Kau telah mati dari hidupku sejak lama
Meski ragamu masih bersatu dengan nyawa
Ingin kutakziyah
Membacakan alfatihah
Namun, kau masih ada
Masih bisa diraba
Masih berjalan di atas tanah
Ragamu nyata
Namun, jiwamu mati terkubur gelap dunia
Senyumku yang sejak tadi merekah perlahan layu. Mendadak seperti ada mendung di raut wajahku. Bagiku, ayah ibarat sebuah kue dalam sebuah etalase toko yang mahal harganya. Tak bisa kunikmati dan hanya bisa menatapnya. Tak bisa memiliki bahkan tak mampu menyentuhnya sebab kue itu tak terjangkau harganya.
Seperti itu juga sosok ayah dalam hidupku. Betapa pun aku ingin berusaha memiliki sepenuhnya selayaknya hubungan anak dengan ayah, tapi hal itu rasanya hanya seperti mimpi di siang bolong. Terlalu jauh jarak yang telah bapak ciptakan untukku sebagai anaknya. Bapak benar-benar seperti kue mahal dalam etalase dan aku hanya seorang anak kecil kumal yang tak memiliki uang. Sementara, aku hanya bisa mengamatinya dari kejauhan.
Aku sempat bertanya-tanya, berapa harga yang harus aku keluarkan agar dapat memeluk bapak atau sekadar bercerita tentang kejadian-kejadian yang kualami sepanjang hari. Aku selalu berusaha membelinya dengan prestasi-prestasiku di sekolah. Aku pun berusaha menjadi anak baik dengan sikap hormat, sopan santun dan patuhku. Namun, itu sepertinya belum cukup. Aku selalu salah di matanya. Aku selalu menjadi bulan-bulanan baginya. Lalu, harus dengan cara apa lagi aku membelinya?
“Are you crying?[1]”
“Nope ... something just get in my eye,[2]” jawabku sambil mengusap air mata.
“My dad once said, its okay to cry. Crying relieves your feeling. Sometimes I cried when I feel like missing my mom. You missed your Dad aren’t you?[3]”
“Hehehe ...,” tawaku kecil sambil tersenyum pada Kauri.
Kauri tampak gelisah karena ayahnya belum juga datang. Sesekali ia memandangi toko kue tempat ayahnya bekerja yang terlihat makin ramai. Kauri mengatakan kalau dia ingin memakan pavlova bersama ayahnya. Bocah lelaki itu masih setia menunggu ayahnya selesai bekerja. Sayangnya aku tak bisa menemaninya lebih lama, sebab harus segera pergi ke tujuan berikutnya.
Aku pun beranjak meninggalkan sang bocah yang duduk sendirian sambil menunggu kedatangan ayahnya. Saat berpisah dengannya sengaja kuselipkan beberapa lembar uang di saku celana sang bocah tanpa sepengetahuannya.
***
[1] Om menangis?
[2] Ah ... tidak ...Om hanya kelilipan
[3] Nangis juga nggak apa-apa om, kata ayah menangis itu bisa meluluhkan hati. Aku juga sering menangis kalo sedang rindu dengan ibu. Jangan-jangan om sedang rindu ayahnya yaaa sampai nangis begitu, ayo ngaku?