Aku manarik napas dalam, lalu membuannya perlahan. Ada sesuatu yang harus aku tahan. Sebuah emosi yang mampu meledak kapan saja saat siapa pun yang membahas tentang sosok itu. Dia ibarat luka dan aku sedang berusaha bersusah payah untuk menyembuhkan dengan tidak lagi mengingatnya. Aku mati-matian berjuang dengan perasaanku agar kisah suram di masa lalu itu tak pernah terlintas kembali di benakku. Aku lelah. Aku trauma dengan itu semua. Hampir sembuh luka itu, lalu Raya mengungkit-ungkitnya, hingga kembali mengalir darah.
Aku membuka mata lalu menoleh sedikit ke arah Raya. Aku melihat ada raut wajah tulus seorang sahabat terpancar dari matanya. Namun, aku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Hatiku masih belum siap untuk kembali pulang ke tanah kelahiranku sendiri.
Meski perjalanan kali ini aku mendapat banyak bantuan biaya dari Raya, jujur kali ini aku sangat kesal dengannya. Diam-diam dia telah mengganti tiket pulangku. Mendadak, tiket yang seharusnya mengantarkanku pulang ke Bandung, dia ganti menjadi ke Makassar tanpa sepengetahuanku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Raya yang memegang tiket kami semua. Kalau pun aku tetap ngotot untuk balik ke Bandung rasanya hanya sia-sia. Jangankan untuk membeli tiket, sisa-sisa uang yang kupunya hanya cukup untuk membeli sepotong roti dan air mineral di bandara.
“Jangan mentang-mentang kau orang kaya jadi bisa seenaknya padaku,” ucapku ketus.
“Astaghfirullah, Wellang…,” ucap Raya pelan dengan raut sedih menghiasi wajahnya.
Matanya berkaca-kaca. Aku yang tengah marah mendadak tak tega. Hatiku luluh seketika saat melihat sahabat terbaikku harus menitikkan air mata.
Rona terbangun dari tidurnya. Raya segera menghapus air mata yang hampir jatuh di pipinya. Sepertinya tadi Rona memang sedang tertidur pulas. Kupikir dia terbangun lantaran mendengar obrolan kami sebelumnya. Ternyata dia hanya menanyakan berapa lama lagi pesawat akan mendarat di Singapura.
“Kita sudah di mana, Honey? “ tanya Rona dengan mata yang setengah terbuka.
“Masih di atas lautan,” jawab Raya.
Seketika, Rona melihat keluar jendela. Sesaat kemudian dia menatap Raya.
“Masih lama?” ucap Rona dengan suara manja.
Raya hanya mengangguk sambil tersenyum lalu menepuk dada kirinya seolah meminta Rona untuk tidur kembali. Rona membetulkan posisi duduknya lalu tidur kembali di lengan Raya. Kali ini tampak makin nyenyak. Sebab Raya membelai-belai lembut kepala Rona.
Kami terdiam sesaat. Setelah Raya memastikan Rona terlelap, dia pun melanjutkan kembali ucapannya.
“Aku hanya ingin berusaha menjadi sahabat yang selalu mengingatkanmu jika bersalah. Bukankah itu yang selalu kau minta?”
Aku tersentak mendengarnya. Kata-kata Raya itu kembali mengingatkanku pada sebuah permintaan. Aku yang kerap berdoa untuk diberikan teman dan lingkungan yang mampu mendekatkanku pada ketaatan. Allah telah mengijabahnya. Dengan menghadirkan Raya. Ya, aku kerap meminta kepada Raya agar menjadi sosok yang bisa mengingatkan ketika aku berada di jalan yang salah. Bukan yang selalu membenarkan setiap tindakanku, tapi menjadi teman yang selalu berkata tentang kebenaran. Menjadi teman yang saling mengingatkan dalam setiap kebaikan. Saling mendoakan.
Aku hanya terdiam. Raya mengambil dua lembar e-ticket dari dari balik jaketnya. Sementara aku segera memejamkan mata sambil mengatur napas menahan marah.
“Jika kau tak mau pun tidak apa. Aku tidak memaksa. Ini…,”
Raya meletakkan tiket itu di tanganku. Perlahan kubuka mata. Ada dua print e-ticket di tanganku dengan tujuan yang berbeda.
***