Matahari masih belum muncul ketika Yudis, Bu Farida dan Ratri pergi menjemput Tante Diana dan Rio untuk pergi ke Pondok Pesantren Al Ilma menemui Ustad Suhada. Setelah itu, Yudis segera melanjutkan perjalanannya ke Jakarta. Hari ini ia ada janji dengan seseorang yang hendak membeli galerinya. Yudis ingin urusannya ini cepat selesai. Jakarta terlalu panas baginya, terlalu banyak kenangan indah bersama Dewanti di sana.
“Ah, bagaimana kondisi Dewanti saat ini. Semoga saja dia sudah baik,” desah Yudis sambil terus meluncur di jalan tol. Tiba-tiba saja dadanya menyesak. Perasaan bersalah menekan hebat. Bagaimana ia bisa melupakan Dewanti begitu saja. Bahkan tak memberi kabar sedikit pun kepada Dewanti yang sedang terkapar di rumah sakit.
“Maafkan aku Dewanti,” desahnya.
Pukul delapan Yudis sudah sampai di Jakarta. Kebetulan jalanan tak terlalu macet. Keluar dari Tol, ia langsung menuju galerinya di Kemang. Langit Jakarta sangat cerah. Gemawan berarak, laksana bunga kol yang mengapung di lautan nan biru. Tiga puluh menit kemudian, ia tiba di depan galerinya.
Ada perasaan tak rela dalam hati ketika mengingat harus menjual galeri yang ia bangun dari nol. Dari hasil kerja kerasnya sendiri. Sejenak Yudis diam dalam mobil. Memandang sebuah Tulisan ‘Yudi’s Galeri and Colection’ yang dibuatnya sendiri menggunakan huruf timbul berbahan sabut kelapa sehingga terkesan alami. Yudis menarik napas dalam. Lalu keluar dari mobil.
Dengan langkah pelan, Yudis mendekati pintu kaca besar, membuka kuncinya. Lalu masuk. Pintu tetap dia biarkan terbuka. Bagian depan galeri itu memang semuanya terbuat dari kaca. Itu sengaja agar semua isi galeri tersebut dapat terlihat dari luar. Sedang ruangan di lantai dua, adalah kamar sekaligus sebuah ruangan tempat Yudis melukis. Bahkan Yudis membebaskan siapa saja untuk mempergunakan ruangan itu untuk berkarya. Selain itu, bagi para pemula, Yudis tak segan untuk berbagi ilmu dan pengalaman.
Yudis melihat jam tangannya. Sudah jam sepuluh kurang lima belas menit. Si pembeli berjanji akan datang jam sepuluh ke galeri. Masih ada lima belas menit. Yudis memutuskan untuk ngopi di kafe sebelah galerinya. Sebuah kafe bergaya minibar di luar ruangan. Sehingga jika ada orang yang datang ke galerinya ia bisa melihatnya. Yudis segera menuju ke sana.
“Ke mana aja Kang?” tanya pelayan kafe yang ternyata sudah kenal dekat sama Yudis.
“Aku pulang!” jawab Yudis singkat. Tak perlu berkata, si pelayan sudah sangat hafal apa yang diinginkan Yudis di kafe itu. Dia segera menyajikan secangkir kopi hitam kental dengan gula terpisah.
“O iya, Kang. Kemarin kemarin ada pria yang mencari akang,” kata pelayan kafe berpenampilan cukup seksi itu.
“Siapa?” Yudis bertanya anpa menatap.
“Kalau saya tidak salah, namanya Arya.”
“Arya!”
“Kang Yudis kenal?”
“Iya, dia temanku.”
“Dia mengatakan sesuatu?”
“Tidak, Kang. Tapi saya yakin dia membawa berita sangat penting buat Akang. Kelihatan dari wajah dan nada suaranya.”
Yudis mengangguk-ngangguk.
“Saya lanjutin kerja dulu, Kang.”
“O iya, silahkan!” sahut Yudis.
“Arya, ah ... pasti ia membawa kabar Dewanti. Ah, kenapa aku jadi cemas begini?” tanya Yudis dalam hati.
Yudis merogoh saku jaketnya. Mengambil handphone, lalu diletakkannya di samping cangkir kopi. Di pandanginya benda berwarna hitam itu. Sementara jemarinya memainkan cangkir kopi. Namun, hingga sepuluh menit lamanya, benda buatan Cina itu tetap membisu. Jangankan bersuara, bergetar pun tidak.
“Nah ...!” seru Yudis ketika melihat handphone-nya bergetar pertanda ada pesan singkat yang masuk.
Yudis segera mengambil handphone-nya dan membuka pesan singkat tersebut. Tapi ternyata itu bukan dari calon pembeli, melainkan dari Ratri. Yudis segera membacanya.
“Udah sampai, Aa? Jangan lupa sarapan ya. cepat pulang. Neng kangeeen.”
Yudis tersenyum. “Sudah sayang. Sekarang Aa lagi ngopi sambil nungguin calon pembeli. Sama Aa juga kangeeuunn ...,” balas Yudis segera.
Tak seberapa lama pesan singkat balasan dari Ratri masuk,” Makanya kejual atau tidak galerinya Aa harus pulang malam ini. Neng nggak bisa jauh dari Aa. Di Jakarta kan perempuannya cantik-cantik dan seksi-seksi. Nanti Aa Yudis tergoda lagi!”
Lagi-lagi Yudis tersenyum sendiri. “Nggak mungkin Aa tergoda sama wanita biasa jika Aa sudah punya bidadari,” balas Yudis.
“He he. Terima kasih sayang. Neng percaya kok sama Aa,” balas Ratri kembali.
Saking asiknya Yudis sms-an. Ia tak mengetahui kalau ada sebuah mobil Terano hitam berhenti di depan galerinya. Seorang pria seusinya, berbadan tegap, berwajah bersih dengan rambut pendek keluar dari mobil itu dan segera menuju pintu masuk galeri. Namun tak lama ia kembali ke dekat mobilnya. Mengeluarkan handphone dan terlihat seperti sedang menelepon.
Tepat dengan Pria itu, menelepon, handphne Yudis berdering. Yudis segera menerima telepon itu.
“Bung Yudis?”
“Iya. Siapa ya?”
“Saya Pati yang kemarin menelepon Bung Yudis. Tapi tidak menggunakan nomor ini.”
“O iya, Anda di mana sekarang?”
“Saya sudah berada di depan galeri anda.”
Yudis tak menjawab. Matanya segera berkiblat ke depan galeri. Benar saja, di sana, di samping sebuah mobil Terano hitam gagah. Seorang pria sedang berdiri memandang tulisan besar di bagian depan atas galerinya.
“Saya ke sana sekarang, Bos!” seru Yudis. Sambil memutusan telepon.
Setengah berlari Yudis menghampiri pria itu. Setelah dekat segera menyapanya. “Nama yang sangat bermakna, Pati!” Yudis mengulurkan tangan mengajak pria itu bersalaman.
***