Pria bernama Pati menyambut uluran tangan Yudis. “Yudisthira! Kakak tertua dari Pandawa yang terkenal bijaksana dan linuwih sangat cocok anda sandang, Kang!” Pati tak kalah memuji.
Yudis senyum. “Kita ngobrol di dalam Bung Pati. Sekalian lihat-lihat bagian dalam galeri saya ini,” ajak Yudis.
Mereka berdua masuk. Pati terkagum-kagum begitu berada dalam galeri. Matanya seolah melihat harta karun yang tak ternilai harganya. Namun, dari sekian banyak lukisan dan benda seni lainnya, Pati nampak sangat kagum ketika matanya bertemu dengan lukisan sepasang mata berwarna coklat. Meski lukisan mata itu, tanpa wajah, tapi ia seolah bisa melihat seluruh tubuh si pemilik mata.
“Itu lukisan ke sembilan yang saya buat, Bung Pati. “Yudis berkata seolah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Pati.
“Cantik. Sangat eksotis. Sepasang mata itu seolah bisa mewakili semua anatomi tubuh. Siapakan pemilik mata itu?” Pati memang pecinta seni.
Yudis hanya tersenyum. “Dia adalah wanita yang ...,” Yudis tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. “Anda suka ngopi?” Yudis mengalihkan pembicaraan.
“Boleh!” singkat Pati sambil terus menatap lukisan-lukisan yang terpampang pada dinding galeri. Yudis segera menelepon kafe sebelah. Minta dikirimi dua cangkir kopi. Kemudian mempersilakan Pati untuk duduk pada sebuah kursi yang biasa digunakan Yudis untuk melukis.
“Bagaimana, Anda suka?” tanya Yudis.
“Saya sangat suka. Tapi apa harganya tak bisa kurang, Kang Yudis?”
“Saya rasa itu sudah murah, Bung Pati. Apalagi saya menjual galeri ini dengan seluruh isinya. Jika anda seorang bisnisman, tentu anda bisa menghitung, berapa keuntungan Anda jika menjual galeri ini kembali,” jawab Yudis.
Pati tersenyum. Sebelum sempat menjawab, perempuan pelayan kafe yang berpenampilan seksi itu masuk ke dalam galeri sambil membawa dua cangkir kopi dalam nampan. Kemudian meletakannya pada meja yang menjadi pembatas Yudis dan Pati. Mata Pati membelalak ketika melihat belahan dada gadis itu. Sedang Yudis hanya tersenyum melihatnya.
Pelayan itu segera pamit. Matanya melirik genit ke arah Yudis.
“Pacar Anda?” tanya Pati.
“Bukan!” jawab yudis singkat. “Lantas bagaimana?” tanya Yudis.
“Bagaimana dengan surat-suratnya?”
“Semua lengkap dan atas nama saya pribadi,” jawab Yudis sambil mengambil sebuah map dari laci meja lalu diserahkan kepada Pati.
Pati segera membuka dan menelitinya.
“O iya, kalau boleh tahu, profesi anda apa, Bung Pati?” tanya Yudis.
“Saya hanya seorang dokter. Tapi kebetulan saya dibesarkan oleh keluarga seniman. Ayah saya bernama Rembong,” jawab Pati.
“Subhanallah ... senang sekali saya bisa berkenalan dengan putra dari pelukis senior. Bahkan Gus Rembong adalah inspirasi bagi saya.” Yudis tak menyangka kalau yang di hadapannya kini adalah putra dari seorang pelukis senior.
“Tapi saya tidak bisa apa-apa. Hanya penikmat saja.” Pati nampak merendah. Namun dadanya yang tiba-tiba membusung serta dagu yang sedikit terangkat cukuplah bagi Yudis untuk menilai bahwa di balik kata-katanya yang merendah ada jiwa yang sombong. Tapi Yudis tak mempermasalahkannya. Yang penting baginya adalah galerinya dapat segera terjual agar ia bisa tenang tinggal di Bandung bersama ibu dan istrinya.
“Jangan merendah begitu, Bung Pati. Saya yakin, darah yang mengalir di tubuh anda adalah murni darah seniman. Dan saya yakin, bahwa nominal tak masalah bagi seorang berjiwa seni seperti anda. Yang penting kepuasan batin.” Yudis berusaha memuji.
Pati tersenyum.”Oke, saya setuju. Anda mau uang cash atau via transfer?”
“Pake cek saja, Bung,” jawab Yudis dengan wajah senang. Ternyata tak susah merayu seseorang yang mempunyai sifat haus pujian.
“Kapan transaksinya?”
“Kapan Bung Pati siap?”
“Sekarang!” Pati menantang.
“Baiklah. Saya sudah siapkan surat sebagai bukti transaksi kita. Silahkan anda baca dulu.”
“Ah, Saya percaya sama orang seperti Anda. Tak usahlah kita persulit transaksi ini. Saya sudah tidak sabar ingin segera menempati galeri ini.”
“Baguslah kalau begitu. Bung Pati bisa tanda tangan di sini. Tapi kapan anda bisa memberi cek-nya?”
“Sekarang saya bisa,” jawab Pati sambil merogoh saku jas bagian dalam kemudian mengeluarkan sebuah cek. Tanpa ragu ia menuliskan nominal uang, setelah itu ia menyerahkannya kepada Yudis yang menerimanya dengan wajah sangat senang. Sebentar Yudis memeriksanya. Ia meyakinkan bahwa cek itu bukan cek kosong.
Yudis segera menandatangani surat perjanjian itu. Harusnya dalam sebuah transaksi harus ada beberapa saksi. Tapi, untuk Yudis dan Pati itu tak masalah, mereka yakin bahwa patner mereka orang yang dapat dipercaya. Pati menandatangani surat perjanjian kemudian menerima surat-surat butkti kepemilikan galeri itu. Lalu mereka bersalaman.
“Senang sekali berbisnis dengan orang seperti Anda Bung Pati,” ucap Yudis.
“Saya Bangga bisa memiliki galeri ini dari seorang pelukis muda berbakat seperti anda, Kang Yudis,” jawab Pati.
Transaksi selesai tanpa hambatan sedikit pun. Sebelum menyerahkan kunci kepada Pati, Yudis mengambil perlengkapan melukis yang ia simpan di lantai dua. Lalu membawanya masuk ke dalam mobil. Setelah itu, barulah ia menyerahkan kunci galeri kepada Pati. Kemudian bersalaman kembali. Tak lupa, mereka bertukar kartu nama. Setela itu, barulah Yudis keluar dari galeri. Kini ia sudah tak berhak lagi tinggal lama-lama di Galeri itu.
“Sesekali, tengoklah galeri ini, Kang!” seru Pati ketika Yudis sudah masuk kedalam Mercy-nya.
“Itu Pasti. Saya pamit dulu, Bung Pati. Semoga anda puas dengan Galeri ini,” sahut Yudis.
“Silahkan,” singkat Pati.
Yudis menstarter mobilnya. Lalu keluar dari halaman galeri diiringi tatapan Pati. Ia memutuskan untuk mampir ke bank sebelum pulang untuk mencairkan cek itu.
Azan zuhur berkumandang. Yudis telah berada di sebuah bank. Namun, sebelum mengurus cek itu, ia memutuskan untuk salat zuhur di mushola bank terlebih dahulu. Ia kini tak ingin meninggalkan salat sewaktu pun. Usai salat, ia segera mencairkan cek. Kebetulan nasabah sedang agak sepi di bank itu. Sehingga tak butuh waktu berjam-jam untuk memindahkan rupiah dari cek itu ke dalam rekeningnya.
Setelah itu, Yudis segera pulang. Langit sedikit mendung. Perlahan hujan turun. Meski tak terlalu deras, tapi mampu membuat jalanan macet. Rupanya bukan cuma Bandung saja yang sedang mengalami musim hujan, Jakarta pun sama. Sebenarnya ada keinginan dalam hatinya untuk menemui Arya di kampusnya. Ia ingin mengetahui bagaimana kabar Dewanti. Tapi keinginannya itu seketika musnah ketika Ratri meneleponnya. Mengatakan kerinduannya. Padahal belum sehari mereka berjauhan. Ya, memang begitulah adanya pengantin baru.
Menjelang maghrib Yudis sudah berada di Bandung kembali. Ia segera menuju Pondok Pesantren Al Ilma untuk menjemput istri dan ibunya. Kedatangan Yudis disambut hangat oleh Ustad Suhada dan Umi Siti. Terlebih Ratri. Ia sedikit pun tak melepas genggaman tangannya. Seolah telah terpisahkan begitu lama. Kedua orang tua mereka hanya tersenyum melihat kemesraan putra-putri mereka. Bakda isya, barulah Yudis, Bu Farida dan Ratri kembali ke rumah di jalan Cihanjuang.
***