“Azveera Vee Azveeraa! Bangun sudah jam 6:15, Vee. 15 menit lagi kamu harus masuk, Nak!" Nenekku membangunkanku dengan sabar"
"Duh, maaf Nek. Aku agak terlambat bangun pagi ini," kataku sambil menggosok mataku yang masih mengantuk.
Nenek menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Kamu ini, Vee. sebentar lagi sekolah dimulai, tapi kamu masih bisa tidur pulas. Cepat mandi dan siapkan dirimu, ya."
Aku mengangguk, segera beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Saat air hangat menyiram tubuhku, pikiranku teringat pada misi pribadiku. Aku harus mencari tahu siapa sebenarnya pelaku di balik kematian orangtuaku. Aku tidak bisa menerima penjelasan seadanya yang beredar di media. Aku yakin ada yang tidak beres.
Setelah selesai mandi, aku segera mengenakan seragam sekolahku yang sudah terlipat rapi di atas meja. Nenek menunggu di ruang makan dengan sarapan pagi yang sudah disiapkannya. Aku duduk di sebelahnya, tetapi pikiranku masih melayang pada misteri di balik kematian orangtuaku.
"Nek, bagaimana jika aku mencari tahu sendiri tentang peristiwa itu?" tanyaku tiba-tiba.
Nenek terlihat terkejut mendengar pertanyaanku. Dia menggenggam tanganku dengan penuh kasih sayang. "Nak, itu sangat berbahaya. Polisi sudah menangkap pelaku dan kasusnya dianggap selesai. Lebih baik kita fokus pada masa depanmu yang cerah."
Namun, keinginan dalam diriku begitu kuat. Aku merasa ada yang tidak beres dan aku harus mencari kebenarannya. Aku ingin tahu siapa yang bertanggung jawab atas kematian orangtuaku. Aku tidak bisa membiarkan pelaku itu bebas.
"Aku mengerti kekhawatiranmu, Nek. Tapi aku merasa ada yang disembunyikan. Aku harus melakukan ini, untuk kedamaian pikiranku sendiri," ujarku dengan tekad.
Nenek memandangku dengan tatapan penuh cinta dan kekhawatiran. Akhirnya, dia mengangguk pelan. "Baiklah, Nak. Tapi janji padaku, kamu akan berhati-hati. Jangan terlalu memaksakan dirimu. Kita bisa mencari kebenaran, tapi dengan cara yang aman dan bijaksana."
Aku tersenyum, merasa lega karena Nenek mendukung keputusanku. "Terima kasih, Nek. Aku akan berhati-hati. Aku berjanji."
Setelah sarapan, aku mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Aku melihat foto orangtuaku di dinding kamarku, senyum mereka yang begitu hangat dan ceria. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menemukan kebenaran dan membawa pelaku keadilan. Misi pribadiku dimulai hari ini.
15 menit perjalanan menuju sekolah, dan aku seharusnya sampai tepat waktu. Sekolahku tidak terlalu jauh, dan lalu lintas juga tidak terlalu padat. TRINGGG TRINGGGG TRINGG TRINGGG, ternyata prediksiku salah. Aku terlambat. Meskipun sebenarnya hanya terlambat 2 menit, tetap saja gerbang sekolahku sudah ditutup, setidaknya sampai upacara selesai. Aku akan diizinkan masuk, meskipun akan dihukum. Mungkin harus hormat bendera? Tapi setidaknya aku masih bisa mengikuti pelajaran.
Sambil menunggu gerbang dibuka, aku duduk di kursi panjang belakang sekolah. Jika aku menunggu di depan gerbang, pasti malu karena peserta upacara akan memperhatikan satu-satunya siswi yang terlambat di SMA Garuda ini. Tentu saja, ini adalah hari pertama ajaran baru, dan aku sekarang menjadi siswi baru di SMA Garuda setelah kejadian tragis yang merenggut keluargaku. Aku tidak kuat tinggal di rumah lama, jadi aku memutuskan untuk pindah ke sekolah baru. Dan sekarang, aku terlambat di hari pertama.
Semua orang berlomba-lomba mendapatkan bangku yang mereka inginkan, seperti "rebutan bangku". Namun, aku tidak peduli dengan itu. Biasanya, aku hanya memilih tempat yang tersisa. Saat aku sedang membaca novel sambil menunggu upacara selesai, suara deruman motor terdengar. Awalnya, aku tidak memperdulikannya, sampai pemilik motor itu duduk di sebelahku.
Aku menengok sekilas dan melihat bahwa seragamnya sama dengan seragamku. Artinya, kami berdua bersekolah di SMA yang sama. Dia terlihat lelah saat menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi panjang. Rambutnya berantakan, bibirnya pucat, dan matanya redup. Namun, itu tidak menutupi ketampanannya. Alisnya tebal, hidungnya mancung, dan wajahnya hampir sempurna.
Aku merasa iba melihat kondisinya, jadi dengan hati-hati aku bertanya, "Eum, hai? Aku Azveera, panggil aku Vee. Kamu?" Lawan bicaraku menengok sekilas, kemudian menghadap ke depan seperti tidak peduli. "Euh, dasar tidak sopan. Orang nanya baik-baik juga. Ck, aneh," gumamku dalam hati.
Ternyata, laki-laki itu akhirnya menjawab setelah satu menit yang terasa cukup lama, "Ravindra, panggil aja Rav." Aku mengangguk, lalu aku kembali bertanya, "Eum, kamu gak apa-apa? Muka kamu kayak pucat, kamu lagi pusing?" Laki-laki itu tidak menengok ke arahku, tapi dia menjawab, "Dikit."
Aku langsung membuka tas dan menawarkan air minum kemasan yang kubawa. Aku memberikannya kepadanya dengan harapan bisa membantunya merasa lebih baik. Ravindra menatap mataku dengan mata yang redup. Bagiku, terlihat jelas bahwa Rav sedang sedih. Kemudian, dia mengambil air minum yang kuberikan dan meminumnya. "Thanks," gumam Rav pelan.
"Apa?" Aku tidak mendengarnya dengan jelas.
"Makasih," ucap Rav dengan lebih jelas.
"Oh, iya, iya," jawabku sambil tersenyum.
Aku menarik nafas pelan dan mengumpulkan keberanian untuk bertanya lagi, "Kamu lagi sedih ya?" Rav kali ini menatapku cukup lama sampai aku merasa tidak enak. "Eh, maaf, lupakan saja pertanyaanku. Aku hanya khawatir. Maaf, lupakan saja." Tapi ternyata, Rav menjawab, "Yeah, mungkin sedikit sedih. Tidak apa-apa." Dari yang tadinya menunduk, aku langsung menengok ke arah Rav. Dia kemudian mengangguk.
"Iya, itu sangat tidak apa-apa. Aku tahu banyak sekali hal yang terjadi tanpa kehendak kita, terjadi begitu saja. Kita pun hanya bisa kecewa dan menerima. Tapi aku harap kamu tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan itu," ucapku sambil menatap jalan raya yang padat, sambil tersenyum dengan tulus. Angin berkesiur membuat rambutku bergerak-gerak, menambah kecantikanku.
Aku melanjutkan obrolan, "Kurasa daripada berlarut-lama dalam kesedihan, ada baiknya kita belajar menerima keadaan yang telah terjadi. Namun, jika masih bisa mencegah keadaan yang dapat membuat kita sedih, maka lebih baik berusaha sekuat tenaga untuk mencegahnya." Aku masih tersenyum lembut dan tulus.
Tanpa sadar, Rav masih memperhatikanku, membuat wajahku semakin merah. Aku menyadari dan segera mengalihkan pandangan serta bilang kepadanya bahwa sepertinya gerbang sudah mau dibuka dan aku ingin memeriksanya.
Setelah aku berdiri dan berjalan tiga langkah dari Rav, dia memanggilku, "Vee..."
Aku menengok sambil memasang muka malu dan gugup. "Terima kasih," ucap Rav sembari mengulas senyum yang jarang sekali ia tunjukkan kepada siapa pun. Dia tersenyum dengan sangat tulus.
Aku masih bergeming, tidak bergerak sedikit pun. Pipiku sepertinya semakin merah. Aku menyadari betapa konyolnya aku bertingkah dan segera menjawab, "Eh, ooh, i-iya, tidak masalah. Sudah dulu ya, aku duluan dah."
"Vee..." Rav memanggil lagi.
"Apakah kita pernah bertemu?" Rav akhirnya bertanya. Sedari tadi, dia merasa aku sangat familiar.
"Eh, t-tidak. Sepertinya aku murid baru di sini," jawabku gugup.
"Iya... sangat gugup,"
lalu aku langsung berlari.
"Dia lucu sekali," gumam Rav tanpa kusadari, sambil mengulas senyum yang mempesona.
Astaga, kenapa dia tampan sekali? Aku bahkan hanya mengatakan kata-kata sok bijak. Mengapa dia menatapku seolah-olah aku memberinya uang miliaran? Aghh, aku tidak kuat berada di dekatnya. Aku bergumam sendiri sambil berjalan menuju gerbang dan segera masuk kelas.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Azveera?" panggil seseorang dengan rasa terkejut.
"HAHH, Rely? Kamu dulu sekolah di SD Pelita kan?" jawab Vee dengan antusias.
"HAHAHA, iya! Kamu masih ingat? Eh, tapi kok aku baru tahu kamu sekolah di SMA Garuda, atau kamu baru pindah?" tanya Rely dengan rasa penasaran.
"Yup, I'm new here," jawab Vee singkat.
Sepertinya keputusan ku untuk pindah ke SMA ini sangatlah bagus. Selain bertemu si tampan Rav itu, aku juga bertemu teman baikku saat SD. Sepertinya keberuntungan mulai datang padaku di SMA baru ini.
TRINGGGG TRINGGGG! "Huffft, akhirnya istirahat. Rely, temani aku ke kantin yuk," ajak Vee.
"Ayoo, aku bakal kasih tau makanan enak yang bakal bikin kamu gendut di SMA ini," goda Rely.
Sejujurnya, aku bukan ingin makan di kantin. Di sekolah lama, aku sudah lama sekali tidak makan di kantin. Biasanya aku lebih memilih untuk makan bekal di kelas sendirian. Tapi aku sangat penasaran dengan anak laki-laki yang aku temui tadi pagi. Aku kira aku bisa menemukan dia di kantin.
"Kamu ngapain sih dari tadi kaya nyariin orang ilang? Kamu lagi cari apa sih?" tanya Rely penasaran.
"Gini, Rely. Tadi pagi itu aku ketemu sama siapa ya, namanya... ohh, Rav, Rav. Nah, dia awalnya kayak jutek gajelas gitu, tapi mukanya kaya sedih terus ternyata pas aku tanyain dia lagi pusing terus sedih gitu. Terus pas aku mau masuk gerbang, dia bilang katanya dia familiar sama aku. Makanya aku kepo gitu," cerita Vee.
"HAH, Rav? Ravindra?" tanya Rely kaget.
"Iya itu, kenapa emang, Rely?" jawab Vee.
"Dia kakak kelas kita, kelas 12 MIPA 2. Dia itu banyak banget yang suka, ya wajar sih ganteng mah ga usah ditanya. Dia juga jago banget karate, pinter pula. Dia ranking eligible 1 di sekolah kita. Anak basket juga. Tapi dia termasuk anak jail banget-deh, huh, ngeselin tau kalo temenan sama dia. Makanya aneh aja kalo kamu bilang dia sedih. Orang kerjaannya haha, hihi, haha, hihi," jelaskan Rely.
Aku sedikit tercengang mendengar penjelasannya. Kelihatannya hidupnya sangat baik, tapi tadi dia terlihat sangat sedih.Vee melanjutkan ceritanya dengan Rely tentang pertemuan pagi tadi dengan Rav. Meskipun Vee mencoba untuk tidak memikirkannya, namun ketertarikan Rav yang terlihat membuatnya penasaran. Di tengah percakapan mereka, tiba-tiba Rav muncul di kantin. Mata mereka bertemu, dan ada kilatan kejutan di mata Rav saat melihat Vee.Rav mendekati mereka dengan perasaan campur aduk. Dia merasa bahwa ada yang spesial dalam pertemuan mereka tadi pagi, dan sekarang dia baru menyadari bahwa Vee adalah teman masa kecilnya saat melihat gelang yang dikenakan Vee. Gelang itu tidak pernah dilepasnya karena gelang itu adalah pemberian dari ibunya. Mereka sering bermain bersama saat masih berada di satu kompleks perumahan, dan meskipun Vee telah pindah bertahun-tahun lalu, kenangan itu masih terjaga dalam ingatan mereka.
"Vee, dia terus memperhatikanmu"
"Iya, Re. Aku juga merasakannya. Apa ada yang aneh dengan wajahku?"
"Tidak, atau mungkin dia suka padamu? Hahaha."
"Aduh, enggak mau deh. Memang dia ganteng sih, tapi berisik dateng dateng ke kantin jailin orang tuh."
"Hahaha, iya deh. Yuk, kita ke kelas, mau masuk juga nih."
Di kelas, Rely menceritakan banyak hal tentang sekolah baru kita ini, mulai dari guru yang mengerikan, kakak kelas yang galak, hingga ulah nakal Rav yang sering kali mendapat hukuman. Rely juga mengingat kembali kenangan kami saat masih SD. Ketika aku sedang asyik mengobrol, tiba-tiba ada seseorang yang memberikan secarik kertas padaku. Aku penasaran dengan kertas tersebut dan membuka lipatannya dengan hati-hati. Ternyata, itu adalah pesan dari Rav.
"Halo, orang yang baru saja memberiku minum. Ingat, aku si ganteng Rav. Aku tahu kamu perhatian padaku, makanya aku juga ingin memperhatikanmu. Nanti, pulang sekolah kita bareng ya! Aku akan menunggumu di depan gerbang."
Aku membacanya tanpa berkedip, sempat tidak percaya saat Rely mengatakan bahwa Rav adalah anak yang nakal. Tadi pagi, dia terlihat pendiam dan tidak suka berbicara. Namun, setelah membaca surat ini, aku mulai mengerti bahwa Rely benar, Rav memang anak yang aneh dan nakal.
"Dasar anak aneh," ucap Rely sambil membaca surat itu, "Jadi, Vee, apakah kamu akan pulang bersamanya?" "Enggak lah, aku ngga mau pulang sama anak aneh itu, ogah!"
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TRINGG TRINGGG, bel pulang sekolah berbunyi. Aku memang tidak berniat untuk pulang bersama Rav si anak nakal ini, tapi aku hanya penasaran apakah dia benar-benar menungguku. Saat aku menuju gerbang sekolah, aku menerima pesan dari nenek bahwa supir kakek sedang sakit dan kakek sedang ada rapat penting di perusahaan. Jadi, aku terpaksa harus memanggil taksi. Saat sedang mencari taksi, terdengar suara deru motor mendekatiku, dan tentu saja itu adalah si nakal, Rav.
"Hai, botol minum, ayo naik," kata Rav dengan nada lembut.
"Aku punya nama tau, aku lagi tunggu taksi. Kamu pulang aja," jawab Vee sambil mempertahankan sikap teguhnya.
"Tidak ada taksi yang lewat sekolah ini, Vee," ujar Rav dengan nada yakin.
"Ada," balas Vee dengan mantap.
"Yaudah, aku tungguin kamu sampe dapet taksi," kata Rav tanpa memberikan argumen lebih lanjut.
Saat mereka menunggu taksi, Vee melihat ke sekeliling dan memperhatikan betapa sunyi dan terpencilnya lokasi sekolah. Semakin lama, semakin jelas baginya bahwa mungkin taksi memang jarang melintas di daerah ini.
"Hmm, mungkin kamu benar," akui Vee dengan sedikit rasa malu. "Maaf, aku mungkin salah mengira."
Rav tersenyum kemenangan. "Gak apa-apa, botol minum. Sekarang ayo naik motor, biar aku anter kamu pulang."
Vee ragu sejenak, tetapi melihat keadaan yang tidak memungkinkan untuk menunggu taksi, ia memutuskan untuk menerima tawaran Rav.
"Baiklah, tapi jangan coba-coba ngelempar aku di tengah jalan, ya," ujar Vee sambil tersenyum kecil.
Rav tertawa. "Janji, botol minum. Ayo, naik."
Mereka berdua naik ke motor Rav dan berangkat pulang menuju rumah Vee. Meskipun awalnya ragu, Vee mulai merasa nyaman dengan kehadiran Rav yang jahil itu. Tidak disangka, perjalanan pulang yang awalnya terasa terpaksa berubah menjadi momen yang menghibur dan menghangatkan.Saat di perjalanan hujan turun dengan derasnya. Vee dan Rav mencoba mencari tempat berlindung, namun tak ada yang terdekat kecuali sebuah kedai kopi kecil. Vee dan Rav masuk ke dalam kedai kopi dengan pakaian mereka yang basah kuyup akibat hujan yang deras. Di dalam kedai, suasana hangat dan wangi kopi menguar, sementara mereka berdua saling pandang, tersenyum kecil karena situasi yang tak terduga ini.Rav, memutuskan untuk tidak memberi tahu Vee bahwa mereka adalah teman masa kecil. Sebagai gantinya, dia memutuskan untuk menjahili Vee dengan cara yang menggemaskan. Dia pura-pura menggigil, memeluk dirinya sendiri, dan berbicara dengan suara getir, "Wah, Vee, aku merasa kedinginan dan basah. Kamu bisa memijit tangan ini untuk menghangatkannya?"
Vee, yang merasa ragu tapi tertarik dengan reaksi dan sikap misterius Rav, memberanikan diri memijit tangan Rav dengan lembut. Dia bisa merasakan denyutan kehangatan yang mengalir dari tubuhnya ke tangannya, dan wajah Rav berubah menjadi terkejut namun tersenyum melihat Vee yang berani melakukannya.
mereka berdua tergelak saat menyadari bahwa mereka tengah bermain-main dalam suasana yang riang di tengah hujan. Mereka saling melempar lemparan bercanda dengan adonan kue yang lezat dan berbagi gelas kopi hangat. Di balik permainan mereka, Vee mulai merasakan kilauan kenangan masa kecil nya Bersama dengan anak laki laki jahil di masa lalunya.
Sambil tertawa, Vee berkata, "Rav, kamu anak aneh! Tapi aku suka caramu mengubah suasana menjadi menyenangkan di tengah hujan seperti ini."
Rav dengan senyum lebar menjawab, "Terima kasih, Vee. Aku senang bisa membuatmu tersenyum."
Kedua mereka melanjutkan permainan dan candaan mereka, semakin akrab dan nyaman satu sama lain. Sementara itu, kilauan kenangan masa kecil Vee semakin kuat, tetapi masih ada puzzle yang belum terpecahkan dalam ingatannya.
Setelah permainan mereka mereda, mereka duduk di sudut kedai kopi yang nyaman, menikmati aroma kopi yang menggoda dan suasana hangat. Vee memperhatikan wajah Rav yang bersinar dalam cahaya redup.
"Rav, sebenarnya kita pernah bertemu di masa kecil, bukan?" tanya Vee dengan tatapan penuh keingintahuan.
Rav terkejut mendengar pertanyaan itu, tetapi dia menyembunyikan kejutan itu dengan senyum misterius. "Apakah kamu yakin?" jawabnya sambil menyeruput kopi hangat.
"Ya, ada sesuatu dalam kilauan matamu yang membuatku teringat akan seseorang dari masa kecilku. Namun, aku tidak bisa menghubungkan titik-titik itu. Apakah kamu tahu?" Vee menjelaskan dengan penuh harap.
Rav memandang Vee dengan penuh kelembutan. "Vee, kita dulu teman masa kecil. Kita sering bermain bersama di komplek perumahan kita. Tapi setelah kamu pindah, kita kehilangan kontak. Aku tidak pernah melupakan kenangan itu, dan ketika aku melihatmu pagi tadi, aku tahu itu kamu."
Vee tercengang mendengar pengakuan Rav. Puzzel masa kecilnya akhirnya terpecahkan. Mereka berdua saling tersenyum, menyadari betapa kecilnya dunia ini.
"Mengapa kamu tidak memberi tahu aku sejak awal?" tanya Vee dengan rasa ingin tahu.
Rav meraih tangan Vee dengan lembut, "Aku ingin memastikan bahwa kita membangun hubungan baru yang tulus, tanpa membebani dengan masa lalu. Aku ingin mengenalmu lagi, Vee, sebagai seseorang yang baru, bukan hanya kenangan masa kecil."
“Manusia jahil ini tidak berubah,kata kata mu manis sekali pak buaya”
Rav terkekeh mendengar komentar Vee.
Hujan sudah reda, Rav memutuskan untuk kembali menaiki motornya dan mengantarkan Vee ke rumahnya.
"Makasih yaa, bapak jahil aneh, sudah anterin aku," ucap Vee dengan senyum.
"Iya, sama-sama, bu kirane," jawab Rav sambil tersenyum.
Vee terdiam sejenak, wajah riangnya agak berubah menjadi redup, bercampur kesedihan. Rav memperhatikan perubahan ekspresi Vee dan bertanya, "Vee? Kamu kenapa?"
"Eh, maaf, Rav. Aku agak kaget denger panggilan itu lagi. Udah lama ga ada yang panggil aku 'kirane', terakhir mama papa aku yang panggil," ujar Vee dengan sedih.
"Sorry, Vee. Aku cuma mau inget-inget jaman kamu dipanggil pake panggilan itu pas kecil. Maaf ya, kamu jadi sedih," ucap Rav dengan penyesalan.
"Ah, gapapa. Aku ga sedih kok. Oh iya, aku juga lagi cari tahu pelaku sebenernya di perampokan itu, jadi agak keinget mama papa terus. Maaf ya kalau jadi baperan," kata Vee mencoba mengalihkan perhatian.
"Hah, serius? Kamu mau cari tahu sendiri? Tapi bukannya pelakunya udah ditangkep?" tanya Rav.
"Iya, aku bakal cari tau. Engga, Rav. Aku percaya bukan mereka pelaku sebenernya," jawab Vee dengan tekad.
"If you believe, then I believe it too. I will help you too, okay?" tawar Rav.
Aku sedikit terkejut, Rav menawarkan bantuan untuk mencari pelaku sebenarnya. Namun, ku rasa aku butuh bantuannya. Rav adalah cucu dari pemilik DG Group. Aku tahu itu sejak kecil. Kakeknya merupakan teman baik dari ayahku. Ku rasa akan membantu banyak jika Rav bisa membantu.
"Are you sure, Rav? It's not going to be easy," tanyaku, masih agak ragu.
Rav meyakinkanku, "I am sure, Vee. Kita akan menyelesaikannya bersama. Aku akan menggunakan sumber daya yang ada untuk membantu kita mencari kebenaran. Kita tim, Vee."
Aku tersenyum, merasa terharu dengan tawaran bantuan Rav. "Terima kasih, Rav. Aku sangat menghargainya. Kita akan menemukan kebenaran ini bersama-sama."
Mereka berdua saling tersenyum, mengetahui bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi mereka siap menghadapinya bersama. Dalam kebersamaan dan keyakinan, Vee dan Rav memulai misi mereka untuk mencari tahu pelaku sebenarnya di balik perampokan yang terjadi beberapa waktu lalu.