Di ruang tamu yang nyaman, Vee duduk di sofa sambil memegang secarik kertas dengan alamat detektif swasta yang direkomendasikan oleh teman keluarganya. Dia merasa tegang, tapi juga penuh harapan akan kemungkinan menemukan petunjuk baru tentang kematian orangtuanya.
"Ini mungkin kesempatan terbaikku untuk mengetahui kebenaran. Aku harus melibatkan seseorang yang ahli dalam hal ini."gumam vee dalam hati.Vee menghubungi Rav melalui telepon dan memberitahunya tentang detektif swasta yang mungkin bisa membantu mereka.
"Rav, aku punya ide. Kenapa kita tidak mengunjungi detektif swasta ini bersama-sama? Mungkin dia bisa memberi kita petunjuk baru tentang kematian orangtuaku."
"Bagus, Vee! Aku setuju,aku juga akan membantu mu,kurasa aku bisa mencoba menghubungi paman Taska,dia forensik yang memeriksa orang tua mu di TKP, ku rasa kakek bisa membantu. Kita perlu semua bantuan yang bisa kita dapatkan untuk mencari kebenaran ini. Kapan kita bisa bertemu dengan detektif itu?"
"Terima kasih rav,itu sangat berarti untuk ku.Untuk detektif ,dia memberikan alamat kantornya di jalan Utama. Bagaimana kalau kita bertemu dengannya besok siang setelah sekolah? Kita bisa menjelaskan kasus kita dan melihat apakah dia tertarik untuk membantu." Jelas vee di telepon genggam
"Kedengarannya bagus. Besok siang kita akan pergi ke kantor detektif itu bersama-sama. Kita harus siap dengan semua informasi yang kita miliki tentang kasus ini."
Keesokan harinya, Vee berangkat ke sekolah seperti biasa. Di sekolah, Vee langsung disambut oleh Rely dengan celetukan nyaringnya.
"VEE,KEMARIN KAMU PULANG SAMA RAV?" tanya Rely antusias.
"Eh, iya. Soalnya supir kakek lagi sakit, jadi I have no choice," jawab Vee.
"Tapi kamu gak apa-apa kan? Bilang kalau Rav gajelas sama kamu ya," goda Rely.
"Eh, iya-iya. Dia gak ngapa-ngapain, Rel. Malah, aku baru tahu ternyata Rav ini teman aku pas kecil. Dulu aku satu komplek sama Rav," cerita Vee.
"Oh ya? Wah, apa jangan-jangan jodoh ya?EH,GABISA, aku gamau kamu sama bocah jail itu," kata Rely sambil tertawa.
Vee terkekeh melihat temannya itu. "Iya, aku juga cuma temen sama Rav. Udah ah, ayo buruan masuk, keburu bel."
Aku dan Rely mengikuti pelajaran sampai bel istirahat terdengar. Setelah itu, kami bergegas menuju ke kantin agar tidak kehabisan bakso kesukaan kami berdua. Sedari tadi, aku masih belum melihat Rav. Padahal, sepulang sekolah, aku seharusnya ke kantor detektif bersamanya.
Rely dan Vee duduk di meja kantin sambil menunggu pesanan mereka tiba. Rely memperhatikan kegelisahan Vee.
"Vee, kamu terlihat khawatir. Apa ada sesuatu yang salah?" tanya Rely dengan penuh perhatian.
Vee menghela nafas. "Aku sedikit khawatir karena aku belum melihat Rav hari ini. Padahal, kami harus pergi ke kantor detektif setelah sekolah."
Tadi di kelas, aku menceritakan kejadian kemarin kepada Rely agar dia tidak khawatir jika aku akan sering berhubungan dengan bocah jahil menurut temanku itu.
Rely memandang Vee dengan penuh kekhawatiran. "Mungkin dia terlambat atau ada halangan. Jangan terlalu cemas, Vee. Pasti ada penjelasan mengapa dia tidak ada di sini."
Vee mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Iya, mungkin ada alasan yang tidak bisa dia hindari. Tapi aku tetap khawatir karena ini adalah langkah penting dalam mencari tahu kebenaran tentang orangtuaku."
Saat itu, Vee tidak sengaja melihat Rav dari kejauhan. Dia melihat Rav sedang duduk di bangku dekat UKS sambil memegangi kakinya. Vee merasa penasaran dan berjalan mendekati Rav.
"Duh, ternyata Rav ada di sini. Apa yang terjadi?" ucap Vee dengan rasa khawatir.
Rav tersenyum sambil menggosok-gosok kakinya. "Hai, Vee. Aku cedera sedikit setelah olahraga tadi. Oh ya, ini temanku, Lisa. Dia yang mengobati ku sejak tadi."
"Oh hai, Lisa. Aku Vee," kata Vee sambil tersenyum.
"Hai, kamu pasti teman kecilnya Rav. Tadi Rav sudah bercerita tentangmu, lho," kata Lisa.
Aku merasa seperti ada yang mengusik hatiku. Kenapa dia malah di sini mengobrol bersantai dan mengabaikan pesanku? Aku kan khawatir tidak jadi pergi ke kantor detektif. Kenapa Rav tidak merasa bersalah? Tapi yang lebih aneh, kenapa aku menjadi kesal tidak karuan begini? Toh, nanti aku juga jadi ke kantor detektif.
"Ini tidak mungkin cemburu kan?" terbesit pertanyaan konyol di pikiranku. Tapi tentu saja tidak. Kenapa aku harus cemburu? Huh, lama-lama aku sama anehnya dengan si aneh Rav.
Rely, yang melihat ekspresi kesal dan acuh Vee, langsung menyadari bahwa temannya cemburu melihat perhatian Lisa terhadap Rav. Namun, dia berusaha menyembunyikan perasaannya. Dalam hati, Rely ingin terbahak-bahak.
"Oh iya, Rav, apakah kamu jadi mengantar ku ke kantor detektif? Aku khawatir kamu tidak bisa pergi ke kantor detektif dengan kondisi seperti ini," ujar Vee.
Rav mengangguk. "Jangan khawatir, ini hanya luka kecil kok, tidak begitu sakit juga."
Vee tanpa berpamitan langsung meninggalkan Rav dan Lisa.
"Eh, eh, yaudah, aku juga pergi dah," teriak Rely. Dia langsung mengejar Vee.
Rav terkekeh melihat ekspresi kesal Vee, tanpa ia sadari Lisa memperhatikannya.
"Vee, tungguin, ih cepet banget sih," teriak Rely.
"Kamu kenapa sih? Kamu marah sama Rav?" tanya Rely.
Aku masih diam dan mengacuhkan celetohan Rely.
"Oh, kalau gitu, kamu cemburu ya?" celetuk Rely dengan tertawa jahil.
Gerakanku langsung terhenti. "Cemburu? Ngapain? Aku itu kesel kan dia bilang lukanya ga sakit-sakit banget, tapi kenapa dia ga bisa bales chat? Kan aku khawatir ga jadi ke kantor detektif."
"Masa sih? Kayaknya kalau tadi ga ada Lisa, kamu ga akan semarah itu deh," sambil memasang muka menjengkelkan.
"IH, APASIH," kataku kesal.
Rely langsung berlari kabur.
Bel pulang sekolah pun tiba. Aku segera keluar menuju ke arah gerbang. Rav sudah menungguku di atas motor miliknya, entah kenapa aku masih sangat kesal dengan kelakuannya. Walaupun mungkin saja Lisa adalah pacar Rav, bisakah setidaknya dia menjawab pesanku? Euh, sudahlah. Rav sepertinya sadar dengan kecemburuan Vee. Sedari tadi Rav terkekeh, membayangkan ekspresi Vee saat meninggalkan UKS.
"Hai, botol minum. Ada apa dengan ekspresi wajahmu hari ini?"
"Berisik, udah cepet jalan."
Melihat respon ketus Vee, bukannya Rav merasa bersalah, dia malah terbahak-bahak di dalam hatinya, seperti melihat film komedi. Menurut Rav, melihat tingkah Vee saat marah adalah kelucuan, karena Vee jarang sekali marah, sehingga membuat Vee marah sepertinya menjadi hobi baru bagi Rav.
"Hei, Vee. Apakah kamu tahu? Lisa itu sangat cantik jika diperhatikan," Rav memancing kecemburuan Vee dengan cara jahil.
"Oh, aku tidak kenal, jadi aku tidak memperhatikannya. Kamu sudah berapa lama pacaran dengannya?" Eh, kenapa aku menanyakan hal bodoh ini? Astaga, Vee, kamu sudah tidak waras.
"Eh, kenapa kamu ingin tahu?" Balas Rav jahil
"Tidak jadi, lupakan saja," cetus Vee.
"Aku tidak pacaran dengan Lisa kok." Menyadari Vee mengabaikannya, Rav kembali bicara, "Karena ada seorang anak yang jauh 1000 kali lipat lebih cantik daripada dia."
Entah kenapa hatiku semakin terasa terhimpit, apakah si berisik ini tidak bisa diam? Kenapa dia berceloteh hal tidak jelas kepada ku?
"Rav, aku bukan ahli dalam hal percintaan tidak jelas, jadi lebih baik kamu tidak usah cerita. Aku tidak akan membantu."
Rav semakin terkekeh melihat kecemburuan yang tampak jelas pada Vee.
"Padahal, maksudku orang yang 1000 kali lebih cantik itu adalah kamu," ucap Rav dengan senyum nakal.
Aku tahu itu hanya kejahilan Rav semata, tapi entah kenapa hatiku langsung terasa sejuk setelah mendengar kata-kata tidak jelas itu. Sepertinya aku sudah sama gilanya dengan Rav.
"Rav, berhenti dengan kejahilanmu! Aku tidak percaya omong kosongmu!"
"Tenang, Vee, aku hanya bercanda. Tapi kamu harus tahu, kamu memang cantik 1000 kali lipat lebih dari siapapun."
Anak jahil ini sangat lihai membuat hatiku terombang-ambing. Tadi aku kesal tidak karuan, sekarang aku malah salah tingkah sendiri. Aku memilih mengabaikan celotehan tidak jelas Rav.
Sementara Rav yang sedang mengendarai motor berusaha menahan tawanya karena sangat gemas dengan wajah merahku dan tingkah konyolku. Dia memutuskan melanjutkan perjalanan sambil tertawa kecil melihat ekspresiku melalui kaca spion.
"Maaf ya, Vee. Aku tidak bisa menahan tawa melihat ekspresimu yang lucu."
"Kamu ini, Rav! Benar-benar anak jahil dan aneh." balas vee
"Tapi aku tahu, dalam hatimu, kamu juga menikmati kejahilanku."Rav tersenyum lebar
"Entahlah, kamu memang sulit dihadapi." Vee menyerah
"Tapi itulah yang membuat hidup kita lebih seru, bukan? Kita bisa saling menghibur dan tertawa bersama."
"Ya, mungkin kamu benar. Kita memang cocok sebagai tim detektif yang unik." Vee tersenyum kecil
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju kantor detektif, tetapi kali ini suasana lebih ringan. Meskipun Rav masih suka berbuat kejahilan, Vee mulai mengerti bahwa di balik keusilannya, Rav adalah seorang sahabat yang setia dan dapat diandalkan.Ketika mereka tiba di kantor detektif, suasana di sekitar menjadi serius. Detektif-detektif yang sibuk dengan pekerjaan mereka, menyusun bukti-bukti, dan mendiskusikan kasus-kasus. Vee merasa tegang dan berharap pertemuan dengan Detektif Maya bisa memberikan jawaban yang dia cari.
"Selamat datang, Vee dan Rav. Saya harap kalian siap untuk memulai misi yang sudah kita bicarakan sebelumnya." Detektif Maya melihat kedatangan Vee dan Rav, dan dia tersenyum ramah.
"Ya, Detektif Maya. Saya sangat siap dan ingin mencari tahu kebenaran tentang orangtua saya." Balas Vee
"Tentu saja, Detektif Maya. Kami berdua akan memberikan yang terbaik dalam menjalankan tugas ini." tambah Rav
Detektif Maya memimpin Vee dan Rav ke ruangannya yang penuh dengan berkas dan dokumen. Mereka duduk di sekitar meja yang dipenuhi dengan gambar-gambar, rekaman, dan berbagai bukti yang terkait dengan kasus kematian orangtua Vee.
"Baiklah, mari kita tinjau kembali apa yang telah kita ketahui sejauh ini. Orangtua Vee meninggal dalam perampokan misterius beberapa tahun yang lalu. Dan Vee, kamu merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kejadian itu, bukan?" tanya Maya
"Ya, Detektif Maya. Aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan cerita yang diberikan oleh polisi pada saat itu. Aku ingin tahu apakah ada bukti lebih lanjut yang bisa mengungkap kebenaran di balik kematian mereka."
"Baik. Aku sudah melakukan beberapa penyelidikan awal dan menemukan beberapa kejanggalan dalam laporan polisi. Sepertinya ada beberapa fakta yang terlewatkan atau disembunyikan. Kami perlu memeriksa ulang semua bukti yang ada dan mencari petunjuk baru."
Detektif Maya menyusun kembali berkas-berkas dan memperlihatkan beberapa foto kepada Vee dan Rav. Mereka mengamati dengan seksama setiap gambar dan berusaha mencari tahu apakah ada sesuatu yang terlewat.
"Apa kamu menemukan sesuatu yang mencurigakan, Detektif Maya?" Tanya Vee
"Masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan, tapi ada beberapa detail yang menarik. Misalnya, ada saksi mata yang mengatakan melihat seorang pria mencurigakan meninggalkan tempat kejadian setelah suara tembakan terdengar. Selain itu, korban juga ditemukan dengan luka-luka yang tidak sesuai dengan kejadian perampokan biasa." Jelas Maya
"Jadi, ada kemungkinan bahwa ini adalah pembunuhan yang direncanakan dengan menyamar sebagai perampokan?" Tanya Rav
"Itu adalah salah satu kemungkinan yang harus kita telusuri lebih lanjut. Kami juga perlu mencari tahu siapa pria tersebut, apa motifnya, dan apakah ada koneksi antara dia dengan korban."
Vee merasa hatinya berdebar-debar. Dia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan kematian orangtuanya. Dia merasa semangat dan siap untuk menggali lebih dalam."Apa langkah selanjutnya, Detektif Maya?" Vee bertanya antusias
"Pertama, kita akan berbicara dengan saksi mata yang melihat pria mencurigakan tersebut. Kita perlu mencari tahu apakah dia bisa memberikan informasi lebih lanjut tentang orang tersebut. Selain itu, aku akan memeriksa ulang tempat kejadian dan mencari petunjuk yang mungkin terlewat. Dan tentu saja, kita akan melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang latar belakang orangtua Vee, termasuk hubungan mereka dengan orang lain yang mungkin terlibat dalam kasus ini."
"Aku siap, Detektif Maya. Aku ingin menemukan kebenaran tentang kematian orangtua ku dan menghadapinya."
"Bagus sekali, Vee. Kalian berdua akan bekerja sama dengan saya untuk menyelidiki kasus ini. Tapi ingat, kita harus hati-hati dan waspada. Pelaku mungkin masih mengawasi setiap langkah kita. Bersiaplah untuk menghadapi bahaya dan rintangan di sepanjang jalan."
Vee dan Rav saling bertatap mata, menyadari bahwa mereka telah terjun ke dalam misi yang penuh dengan misteri, intrik, dan bahaya. Mereka bersumpah untuk saling mendukung dan melindungi satu sama lain saat mereka memasuki babak baru penyelidikan yang akan menimbulkan ketegangan di setiap langkahnya.
DRRRT DRRRT DRRRT
Ponsel Rav berbunyi. "Vee, kamu makan duluan ya. Aku harus angkat telepon ini."
Tadi setelah dari kantor Detektif Maya, kami memutuskan mengisi perut terlebih dahulu sebelum pulang. Sepertinya semangkuk bakso hangat dapat menghangatkan pikiranku. 15 menit berlalu, Rav masih saja bertelepon di luar. Aku tidak tahu itu siapa.
"Dasar, memangnya seberapa penting orang yang ditelepon?" gumamku dalam hati. Tiba-tiba terlintas nama Lisa di hatiku, dan aku sepertinya kembali kesal seperti saat pulang sekolah. Tak lama kemudian Rav kembali, sepertinya dia menyadari perubahan ekspresi wajahku.
"Hei, botol minum, mukamu merah banget. Gak apa-apa?"
"Berisik banget sih, udah ayo pulang cepat," balas Vee ketus.
"Eh, sabar dong, baru juga mau makan," jawab Rav dengan nada memelas.
"Makanya, kalau makan ya makan, jangan pacaran mulu di mana-mana," Sepertinya aku salah berbicara. Aku memang sudah tidak waras belakangan ini. Sementara itu, Rav yang awalnya heran dengan sikap Vee, sekarang sedang terkekeh-kekeh gemas dengan kelakuan konyol temannya ini.
"Vee, aku ga berniat kepedean sih, tapi apa kamu lagi cemburu?" Rav bertanya dengan nada jahil.
"HAH, KAMU GILA? UDAH, AKU MAU PULANG, AKU JALAN!"
Rav semakin terbahak-bahak melihat tingkah konyol temannya itu. Dia kemudian mengejar dan mengambil motornya untuk mengantar Vee. Di perjalanan, Rav menjelaskan penelpon tadi kepada Vee. "Vee, tadi aku telepon paman Taska. Kamu ingat forensik yang aku bilang, nah dia bilang dia akan membantu kita. Aku berencana bertemu dengan paman hari Sabtu. Kamu mau ikut?"
Aku sangat malu saat menerima penjelasan yang diberikan Rav, sampai tidak bisa berkutik.
"Sudah, tidak perlu malu. Kalau kamu berpikiran aku menelpon Lisa, kalo dilihat-lihat, kamu ini sangat posesif ya," Rav terkekeh jahil.
"APASIH, aku ga ngira kamu telpon Lisa. Lagian, kalau iya juga kenapa, dasar aneh."
"Ya udah deh, iya. Daripada botol minum loncat dari motor."
Aku sudah tidak minat menanggapi, lebih baik aku fokus pada yang akan terjadi. Hari Sabtu aku akan menerima informasi baru. Aku harus siap untuk ke depannya.