Seperti rencana yang telah mereka rancang, di hari Jumat siang ini mereka berempat akan meluncur ke daerah Kepulauan Seribu. Sederet acara juga telah mereka buat, di tengah gelap malam, di bawah ribuan bintang, dan dalam dekapan angin malam, mereka akan bersenang-senang.
Mereka turun dari bus yang membawanya ke Muara Angke, hanya memakan waktu enam puluh menit dari titik kumpul, yaitu rumah Gema. Regan, Ninda, Ana, Evi, dan David menunggu konfirmasi dari Rama dan Gema yang sedang mencari kapal untuk membawa rombongannya ke pulau Semak Daun.
“Hei, ayo! Kapalnya sudah siap!” sahut Gema sambil melambaikan tangannya.
Mereka berjalan menyusuri dermaga yang cukup ramai ini. Sinar matahari yang menyilaukan dengan suhu cukup menyengat membuat rombongan ini kompak menggunakan kacamata serta topi untuk menghalaunya. Bahkan dari pakaian pun semuanya terlihat kompak. Kaus polos berselimut kemeja pantai tanpa di kancing yang dikenakan para cowok. Sementara cewek, celana selutut yang berbalapan dengan bajunya.
Selama berlayar tiada hentinya ketiga cewek itu mengangkat ponsel, memaparkan berbagai macam ekspresi. Sambil berteriak-teriak kegirangan menatap pemandangan laut yang begitu luas. Sedangkan tim cowok, hanya menyandarkan tubuhnya ke pagar pembatas sambil mengobrol ringan. Sesekali, Rama atau David juga mengangkat ponselnya hanya untuk sebatas kebutuhan sosial medianya.
Saat mereka sampai di lokasi, Regan, Rama, Gema juga David memasang dua tenda berwarna kuning yang dihadapkan langsung ke permadani biru. Sementara itu, Ninda dan kawan-kawannya sibuk mengangkat ponsel untuk merekam semua aktifitas teman-temannya.
“Sekarang, gue sama keempat jagoan, mau kemping. Nih, kenalin ini jagoan gue yang pertama namanya Rama,” ucap Ninda, berjalan menghampiri Rama yang langsung merespons dengan lambaian tangannya.
“Nah, kalo yang ini jagoan dua dunia. Dunia nyata oke, dunia maya juga oke. Halo Gema,” kata Ninda, membuat cowok bertopi dengan warna navy itu menunjukkan gaya sok cool-nya.
Setelah itu, Ninda menghampiri David yang sedang menancapkan patok di setiap sudut tenda. Dia berjongkok, berdampingan dengan cowok kalem dan friendly itu. “Nah, ini jagoan GHS, David Aryasatya Madani. Sang ketua osis, dan salah satu atlet futsal.”
David tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah kamera ponsel Ninda. “Hai!”
“Dan yang terakhir, jagoanku sampai titik darah penghabisan. He is my boyfriend, Regan Megantara.” Ninda tersenyum lebar seraya menyandarkan kepalanya ke bahu Regan, saat dia merangkulnya lalu mengecup dahinya dengan begitu manis.
“Pacar gue emang manis, meskipun dulunya asem,” ungkap Ninda diiringi dengan tawa kecil.
Selesai memasang tenda, mereka mulai mengekspor pulau ini. Mencari kayu bakar, juga berlari memecah garis pantai di bawah langit yang kian detik mulai berubah senja. Kemudian mereka duduk di atas pasir putih, menikmati matahari terbenam di penghujung luasnya laut. Sangat menakjubkan.
Puas dengan penampakan di depannya, otak Ninda mengintrupsi untuk melakukan sesuatu yang jail. Kedua tangan Ninda telah mencengkeram pasir, dalam hati dia mulai menghitung. Satu, dua, tiga! Ninda menumpahkan pasir di atas kepala Regan dan Rama bersamaan. Membuat cowok yang menghimpitnya itu terkejut bukan main. Melihat keterkejutan mereka, segera Ninda berlari menjauhi teman-temannya.
“NINDA!” teriak Regan sambil tertawa. Sementara Rama terdiam saja, sambil mengusap rambutnya yang penuh dengan pasir.
Entah apa yang merasuki Ana dan juga Evi, melihat apa yang dilakukan oleh Ninda, membuat tangannya ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Ana ke David, yang di respons dengan senyuman lalu diam-diam menempelkan pasir ke pipi Ana. Kalau Ana tidak bisa mengontrol emosinya, sudah dapat dipastikan ia akan berteriak kegirangan.
Berbeda dengan Evi yang malah direspons dengan mata yang melotot dari Gema. “Kampret!”
Karena takut, Evi berlari terbirit-birit menghindar dari Gema yang telah siap dengan tumpukan pasir di kedua tangannya. “Gema! Ampun! Gue gak sengaja! Lagian kenapa sih lo anggap ini serius, padahal gue canda doang!”
Gema melempar pasir itu dan tepat mengenai punggung Evi, alhasil gadis itu memekik merasa aneh dengan bekas lemparan itu. Baiklah, Evi mengerti sekarang perang dunia ketiga sudah di mulai. Dengan semangat berapi-api Evi memungut pasir dan melemparnya ke arah Gema tanpa memberikan jeda sedikit pun.
“Rasakan!”
“Eh, kampret! Kena mata gue!” seru Gema berusaha melindungi wajahnya.
“Bodo amat! Gue gak peduli sedikit pun sama lo!” pungkas Evi.
Jika teman-temannya menikmati sore dengan perang pasir, berbeda dengan yang dilakukan Ana sama David. Mereka tetap terduduk menikmati fenomena indah di ujung sana. Bagi Ana, ini merupakan momen yang selalu diharapkannya, sementara bagi David ini merupakan pengalaman pertama menikmati keindahan alam berdua dengan cewek.
Entah darimana datangnya keberanian, tangan David mendarat di tangan Ana. Sontak cewek di sampingnya menegang, tatapannya yang diluruskan dengan fenomena di hadapannya perlahan merenggang. Sekarang perasaannya dibuat gila oleh David, kenapa cowok ini tiba-tiba saja memegang tangannya.
“Hanya karena warna jingganya, senja memikat. Sederhana ya?” gumam David, tapi masih bisa Ana dengar jelas apa yang dia ucapkan.
“Sama kaya cinta, tumbuh dengan sederhana tapi orang dibuat mabuk olehnya,” timpal Ana, tanpa David sadari ia telah mengutarakan apa yang dirasakannya.
“Kamu sedang jatuh cinta, An?” tanya David, membuat cewek itu terdiam sejenak.
“Kenapa?” Ana menoleh memerhatikan setiap titik pesona yang tergambar di wajah David.
“Enggak kenapa-kenapa sih, tapi sama siapa?” Tubuh David, tiba-tiba saja menegang. Kenapa? Ia tidak tahu.
Ana kembali terdiam. Haruskah ia mengucapkan perasaannya? Atau lupakan saja tentang perasaannya? Ana menghela napas panjang dengan kepala menunduk, sedetik kemudian ia kembali menatap David yang juga menatapnya; menunggu jawaban darinya.
“Sama kamu.”
Setelah mengucapkan kalimat sakral itu, Ana tidak sanggup melihat David. Raut wajahnya berubah. Sekarang yang Ana rasakan hanya rasa takut, ia telah lancang membeberkan rasa cinta kepada David. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, Ana merasa ini adalah waktu yang tepat untuk itu. Tangan yang tersampai ditangannya, kini sudah tidak ia rasakan lagi. Kemana dia? Apa dia marah?
Benar saja, David sudah beranjak dari sampingnya. Sekarang, Ana benar-benar ketakutan. Ingin sekali ia menghilang saat ini juga, ia belum siap menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Ana!” teriak Ninda.
Ana menoleh ke arah Ninda yang berjalan menghampirinya. “Lo lagi ngapain? Senjanya udahan, yuk kita mandi,” ajak Ninda.
Kini mentari telah berada di penghujung luasya laut, perlahan similir angin yang berembus dari arah laut mulai menggelitiki tubuh mereka. Di atas batang pohon yang kering mereka duduk berdampingan, Rama segera menumpuk kayu bakar untuk api unggun nanti malam. Sedangkan Gema, telah memetik gitarnya mulai bernyanyi sendirian.
Ketiga cewek telah bergabung, duduk di sepotong dahan menghadap api unggun yang sedang Rama pelihara. Kemudian dua cowok lainnya datang, Regan duduk di samping Ninda sementara David duduk di antara Regan dan Gema. Tatapannya lurus ke arah api unggun, dan membiarkan kedua tangannya menikmati kehangatan dari bunga merah itu.
Semenjak jadian, sikap Regan dan Ninda berubah drastis. Tidak ada lagi sikap keplayboyan, tidak ada lagi gombalan mematikan, tidak ada lagi acara pendekatan dengan gadis lain, begitulah sikap Regan saat ini. Juga tidak ada lagi kegalakkan yang mengendap dalam diri Ninda. Permainan ini sungguh sangat sempurna!
Regan mengambil tujuh buah jagung, juga jaket milik Ninda. Sepertinya Ninda sangat kedinginan, hal itu terlihat dari gerak-gerik tangannya. Regan mulai menyampaikan jaketnya ke tubuh Ninda, membuat gadis itu sedikit tersentak dan perlahan senyum manis tercetak di bibirnya.
“Kalo udah punya doi, enak ya ada yang perhatian,” celetuk Evi yang berada di tengah-tengah Ana dan Ninda.
“Lo pengen dapat perhatian juga? Sadar dirilah.” Gema menghentikan petikan gitarnya, dan membawa satu buah jagung di dekat Regan.
“Apaan sih, gue sadar gue cantik!” timpal Evi yang mulai jengkel dengan ucapan Gema.
“Tapi bodi lo enggak cantik, dan lo itu terlalu lebay.” Gema masih menanggapi.
“Tuh, Vi, kalo lo kurusan dikit sama enggak lebay, si Gema siap memberikan perhatiannya sama lo.” Ana malah ikut-ikutan memanas-manasi.
“Apaan sih, An!” ketus Evi.
“Kok jadi gue, ogah banget gue pacaran sama si Evi!” tolak Gema langsung.
“Emang guenya mau, gue juga ogah punya pacar kayak lo!” sahut Evi.
Ninda meraih jagung miliknya dan juga milik David. Karena sejak kedatangannya hanya dia yang masih bungkam, paling tidak dia tersenyum saat mendengar kegaduhan teman-temannya.
“Kenapa sih Vi, Gema juga ganteng, bolehlah,” goda Ninda seraya memberikan jagung ke pacaranya, bermaksud untuk di kasih kayu di ujungnya.
“Betul tuh Vi, coba deh kalian couple sekarang, cocok, kok.” Setelah memasang kayu ke jagung miliknya juga jagung milik Ana, Rama ikut meramaikan ocehan enggak jelas ini.
Setelah Evi sebal dan tidak menanggapi ucapan teman-temannya, akhirnya hening. Hanya suara deburan ombak, kesiur angin, dan api yang meletup-letup. Mereka sibuk dengan jagung bakarnya masing-masing.
“Gan punyaku udah matang belum?” tanya Ninda sambil memutar-mutar jagung bakarnya.
Regan merangkul tubuh Ninda, dan yang dirangkul menyenderkan kepalanya ke tubuh Regan. “Belum, bentar lagi.”
“Gue—”
“Gue—”
Tanpa sengaja Ana dan David menyebutkan kata yang sama dan tingkah mereka juga sama, hendak beranjak. Bedanya Ana menatap David, sementara David seolah tidak peduli dengan kejadian tadi. Kelima temannya yang sibuk dengan jagung bakarnya menoleh bersamaan ke arah mereka berdua. Terkecuali Evi dan Ninda yang masing-masing sibuk dengan pikirannya.
“Gue mau nyeduh kopi, kalian mau juga?” tawar David.
“Iya Vid, sekalian aja bawa ke sini sama termosnya,” jawab Gema.
Saat David masuk ke dalam tenda, Ana pamit membawa camilan ke tenda. Ana menghela napas cukup panjang begitu berada di tenda. Ucapannya tadi memengaruhi keadaannya saat ini, toh, akibat dari ucapan itu sikap David jadi tak acuh dan seakan menghindar darinya.
Di sisi lain, David mengusap wajahnya. Ucapan Ana membuat batinnya terusik, ia ambigu harus apa selanjutnya. Apa dia akan membalas perasaan Ana, atau seperti sekarang tak acuh kepadanya. Perlu kalian ketahui, David sangat ketakutan, tapi bersikap seperti ini juga untuk kebaikan perasaan Ana.
David dan Ana kembali, masing-masing membawa pasokan untuk perutnya. Baru saja Ana duduk, Evi langsung memungut beberapa camilan dari kantung keresek yang Ana bawa. Sementara Ninda masih setia menikmati rangkulan Regan yang terlihat begitu manis.
“Tuh, kan, lo makan mulu, ya bodi lo semakin berisi,” cetus Gema.
“Enggak apa-apa yang penting gue bahagia!” ketus Evi.
“Kalian berdua berantem mulu, lama-lama jadian!” lerai Regan yang tengah menyeduh kopi.
“Aku kan pengennya jadian sama kamu, Gan,” rengek Evi.
Refleks Ninda memukul kepala Evi dengan jagungnya. “Enggak bisa!”
“Lo mah jahat Nin, katanya benci Regan faktanya lo cinta.” Evi merengek lagi.
“Daripada jadi nyamuk yang tidak dihargai mending main musik, setidaknya melodinya bisa dihargai,” ujar Rama mengakhiri ocehan yang bisa mengakibatkan perang dingin.
“Setuju!” Ana menyahut semangat.
Gema terdiam sejenak saat gitar kembali ke pangkuannya, memikirkan lagu apa yang mewakili perasaannya saat ini. Ditatap sekitarnya, satu persatu pohon kelapa dan beberapa pohon besar lainnya ia potret. Selanjutnya, Gema memandangi langit dengan ribuan bintang di dalamnya. Detik berikutnya, ia menghela napas berat, entah kenapa setelah menatap semesta dengan keindahan di dalamnya hatinya tersentil. Mendadak, ia merindukan orang tuanya yang jauh di luar sana.
Seketika itu pula, teringat ucapan Rama sehari yang lalu. Temannya yang paling pintar itu mengingatkan tentang keluarganya. Apa yang diucapkan Rama waktu itu memang benar, semenjak orang tuanya pergi, Gema menjadi pecandu game online.
Satu petikkan gitar mulai terdengar di telinga teman-temannya. Tatapan Gema tidak lepas dari ribuan titik cahaya yang bertebaran di atas sana, sungguh megah semesta ini. Lagi-lagi Gema memejamkan matanya, merasakan setiap helai sapaan angin ditubuhnya.
Dirimu laksana surgaku, tempatku mencurahkan. Segala rasa cinta suci yang tulus di dalam batinku, tiada yang mau gantikan titahmu di hatiku. Menyejukkan seluruh jiwa, melebur ke dasar sukmaku ….
Bernyanyi adalah kemampuan luar biasa yang terlahir dari diri Gema. Masuk ke GHS pun berkat beberapa sertifikat kejuaran dalam lomba bernyanyi selama di putih biru. Sekarang, Gema adalah senior di ekstrakurikuler musik dia juga telah menyumbang beberapa piala untuk sekolah ini.
“Ini hidup lo yang sesungguhnya, bukan game online, tapi musik.” Rama merangkul Gema dengan senyum sahabat yang terukir di sana.
Gema balas tersenyum. “Thanks, dan sorry tentang sikap gue kemarin.”
“Ge, request lagu yang bau-bau cinta, dong,” sahut Ninda seraya menoleh ke arah Gema yang berada di hadapannya.
“Bucin mulu!” balas Evi jutek.
Sebagai balasan, Gema memberikan isyarat ‘oke’ untuk Ninda. Gema mulai memetik gitarnya menimbulkan alunan romantis untuk dua sejoli itu. Entah apa yang merasuki Gema, hingga detik selanjutnya lagu legendaris yang terkenal pada jamannya, berhasil membuat tiga temannya terbelalak.
Tak gendong ke mana-mana, tak gendong ke mana-mana, enak to, mantap to, daripada bucin-bucinnan mendingan yok jomblo to, enak to,…
“GEMA!”
Di bawah langit yang sama, dengan bintang-bintang yang bertebaran di sana. Di atas pulau yang sama di sepanjang garis pantai di antara hilir-mudiknya angin mereka menyenandungkan gema yang mungkin tidak akan pernah terulang kembali.
O0O