POV KALE
“Kalo butuh saran model busana atau apa pun, jangan sungkan bilang ke gue ya,” kata Aubrey. Dia merebut ponsel Aluna dari genggaman empunya. “Sini hape lo! Gue tulis nomer gue.”
Ternyata kakak kelas satu ini aktif sekali, Guys!
Aluna menyunggingkan senyum. “Sekalian akun IG-nya ya, Kak!”
Aubrey tertawa seraya mengetik nomornya dengan cekatan. “Pasti. IG lo mana? Oh, ini dia. Follow @aubreyy16_.” Dia pun mengecek ponselnya. “@unalune00 follows you! Eh, lo anak 2000? Berarti sekarang sembilan belas tahun dong.”
“Hah?” Aluna menggeleng cepat. “Gue masih enam belas, Kak.”
Gue enggak mengerti lagi cewek-cewek ini mikirin apa. Gue cuma bisa menggeleng dalam diam, lalu menghela napas.
Aubrey kembali tergelak. “Gue bercanda lagi, Na. Enggak usah dibawa serius gitu lagi. Udah ah, gue pamit.” Dia menghampiri Aluna dan mendaratkan ciuman di pipi kirinya, membuatnya terlihat agak bingung. “Gemes gue sama lo, Na!” Dia mengusap lembut pipi Aluna. “Kale, jagain adek gue! Kalo dia kenapa-napa atau kalian kalah, lo yang gue salahin!”
Gue mengernyit. “Ketemu tuh cewek di mana sih, Na?” tanya gue sambil menatap punggung Aubrey yang menjauh.
“Toilet.”
“Oh, pantesan aneh gitu.” Gue bersungut-sungut, lalu kembali menyesap Sprite.
Tangan Aluna mendarat di bahu gue berkali-kali sambil berkata, “Enggak sopan lo ya, Le. Itu kan pemenang ambassador tahun lalu. Emangnya lo enggak tahu?” sampai-sampai tersembur apa yang gue minum. Untung enggak ada orang lain. Errr, cewek kalau marah memang seram!
Gue terbatuk-batuk karena tersedak. “Na, lo mau bunuh gue jangan gini caranya.”
“Eh, maaf, maaf.” Aluna menepuk-nepuk punggung gue, pelan. “Ya Tuhan, maafin gue, Le.” Dia panik. “Minum air putih ya, bentar gue beli.”
Gue raih lengannya sewaktu dia hendak melangkahkan kakinya. “Enggak usah, Na. Lo aja, cukup!”
“Ih, apaan sih?” Dia kembali duduk. “Kenapa?”
“Harusnya gue yang nanya itu. Lo kenapa kayak orang linglung gitu tadi, terus lari?”
“Maaf. Anxiety gue kambuh, Le. Sempet sesek tadi, makanya gue keluar. Gue takut apa yang gue bayangin itu kejadian kalo satu kelas tahu. Tapi Lily, ah... kesel banget gue sama dia!”
Gue menahan senyum. “Emang tanggal berapa sih ini?” Gue mengecek ponsel. 1 November 2019. “Oh, pantesan. Awal bulan ternyata.”
“Kenapa awal bulan?”
“Ya biasanya cewek pada suntuk di tanggal-tanggal segini. Kayak Kara. Tiap bulan, ada aja yang bikin suntuk.”
“Ya makanya tugas lo itu bikin cewek tenang, bukan dikekang. Dimanja, bukan dipaksa.”
Tawa gue pecah. “Beneran, Na, lo itu gemesin.” Kali ini senyum gue mengembang. “Lo bikin kacau satu kelas, satu grup, dan satu hati.”
Aluna bergeming. Gue lihat matanya menyiratkan sesuatu, tapi gue enggak bisa menebak itu apa. Jadi yang gue katakan selanjutnya adalah, “Enggak apa-apa. Biar aja semuanya tahu. Itu bisa jadi dorongan gue buat tetep fokus ke lo.” Gue sisipin anak rambutnya ke belakang telinga. “Eh, balik yuk ke kelas!”
“Le, kalo gue mati sekarang, lo harus jaga persahabatan kita ya.”
Kali ini gue yang bergeming. Gue enggak salah dengar, kan? “Lo ngomong apa sih, Na?” Gue malah cengengesan sambil menggeleng. “Jangan ngomong sembarangan, ah. Enggak lucu!”
Aluna menggenggam jemari gue. “Gue enggak bercanda, Le.”
Gue menelan ludah, berusaha mencerna perkataannya. Apa ini ada kaitannya dengan tiba-tiba dia meminta gue jadi pacarnya?
“Na, serius. Ada yang lo sembunyiin ya dari gue? Dari kemarin lo tuh aneh banget. Enggak ada angin, enggak ada hujan, tiba-tiba aja lo nembak gue. Maksa gue buat nerima lo.”
Aluna terdiam. Pandangannya menunduk. Dia melepaskan genggamannya, lalu jemarinya saling bertautan di atas pangkuannya.
“Lo lagi ada masalah? Atau ... lo sakit parah?” tebak gue langsung. Biasanya kan kalau sakit, ngomongnya aneh-aneh kayak di film-film itu. Gue semakin enggak tahan melihat sikap Aluna yang enggan merespons. “Jangan bikin gue kayak orang bego di sini dong. Gue kan cowok lo. Gue harus tahu kondisi lo. Apa pun itu jangan lo sembunyiin dari gue.”
“Kita bahas itu nanti aja ya, Le. Jangan di sini juga. Kedengeran anak-anak. Malu gue. Masih mumet gue. Sorry....”
“Biarin aja mereka, sih.”
“Tapi gue enggak mau ada yang tahu lagi tentang hubungan kita, Le.”
“Emang masalah kalo ada mereka tahu, ya?”
Aluna memukul gue lagi. “Lo pura-pura lupa, bodoh, atau gimana, sih?” Matanya memelotot. “Lo kan sukanya sama Venya, si Bintang Sekolah. Bukan gue, Le.”
“Kalo gue bilangnya sekarang gue suka sama lo, gimana?”
“Ah, lo kan labil. Mana percaya gue. Barusan aja ngomong 'berarti gue harus manjain Venya, ya'.” Aluna berdecak. “Gue sekarat di tempat terus pada saat yang bersamaan si Venya teriak paling lo bakal milih dia.” Matanya masih memandangi wajah gue ketika tangannya meraba ke atas meja, mencari minum, mungkin.
“Tunggu di sini! Gue beliin,” kata gue. Sekarang gue harus lebih peka. Gue enggak mau kehilangan Aluna gara-gara gue yang enggak peka sama sekali.
Ponsel di saku gue bergetar beberapa saat setelah kembali duduk dan meletakkan botol mineral di meja. “Balik ke kelas yuk, Na!”
“Enggak! Gue enggak mau!” Aluna membuka tutup botol, lalu meneguknya.
“Oh, lo mau kita bolos lagi kayak kemarin? Gue mah ayo aja.” Gue cek WhatsApp ketika muncul notifikasi bertuliskan nama klien selebgram. Senyum gue pun mengembang melihat nominal yang telah ditransfer ke rekening milik gue.
SAYSS: Bro, thanks. Gue suka editan lo. Next gue make jasa lo lg ya. Udah gue transfer ke rek lo. 6jt, kan?
“Kenapa lo senyum-senyum gitu?”
“Gue gajian, Na. Akhirnya gue dapet uang sendiri dengan hasil jerih payah gue lagi.”
“Congrats, Lele Sayang.” Aluna mengacak-acak rambut gue. “Jangan boros-boros, ya. Sisihin buat ditabung. Siapa tahu lo ada sesuatu yang mendadak.”
Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mengajukan satu permintaan gue. Gue hela napas, lalu berkata, “Aluna, gue boleh ngajuin sekarang permintaannya enggak?”
“Yakin?”
“Iya. Mumpung gue inget. Kalo nanti, takutnya gue enggak sempet.”
Aluna membenarkan posisi kursinya, menghadap gue secara utuh. “Maaf kalo cewek lo ini enggak ada anggun-anggunnya.”
“Jadi diri lo sendiri aja, Na.” Gue elus kepalanya.
Aluna tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. “Jadi, lo mau apa dari gue?” tanyanya. “Terus lo juga ada utang cerita kan sama gue. Ayo ceritain!”
“Gue mau ngerasain hidup sederhana.”
“Lho, kenapa? Lo enggak nyaman dengan apa yang lo punya sekarang?”
Gue menggeleng. “Enggak. Bukannya gue enggak bersyukur, tapi lama-lama gue jadi sadar kalo orang tua gue lebih mentingin harta dan tahta. Sementara gue dan Kara jadi korbannya.” Gue tersenyum masam. “Untung Kara enggak sampe kelepasan gara-gara stres.”
“Ya ampun. Terus gimana sekarang keadaannya? Perlu gue tengok enggak?”
“Udah mendingan. Dia cerita semuanya semalam ke gue. Kalo mau nengok, jangan sekarang. Kondisi rumah lagi parah. Gue enggak mau lo yang jadi korban omelan Bokap.”
Aluna menepuk-nepuk lembut punggung telapak tangan gue. “Okay. Nanti gue pikirin gimana caranya ngabulin permintaan lo.”
“Apa pun, Na. Bawa gue pergi jauh juga enggak apa-apa. Biar mereka ngerasain gimana rasanya ditinggalin anak-anaknya.”
“Lo tenang aja.”
“Eh, tapi, Na, gue bilang kalo gue udah punya cewek ke Kara. Dan cewek gue itu lo.”
Setelah itu, Aluna hanya diam seriba bahasa sampai kami berdua tiba di depan kelas. Gue enggak salah ngomong kan tadi?
“Ayo, masuk! Ada gue, kok. Enggak usah takut.” Gue genggam erat jemari Aluna. “Toh mereka enggak makan orang ini, kan?”
“Iya sih, tapi—”
“Udah enggak usah pake tapi-tapian. Ayo!” Gue menarik tangannya.
“Ih, tunggu Mr. William keluar dulu, Le.”
“Oh iya, lupa.” Gue segera menariknya untuk merapat ke dinding balik lemari kaca ketika melihat pintu dibuka dari arah dalam. Gue pun menyembunyikan tubuh mungil Aluna di balik tubuh gue yang tinggi. Gue lihat matanya terpejam rapat. Lucu!
“Enggak usah sampe nahan napas gitu, Na. Gue bukan vampir!” celetuk gue. Tapi pada akhirnya, gue hanya dapat menghela napas, menyadari bahwa perasaan itu belum ada. “Ah, enggak ada, Na. Perasaan gue buat lo masih enggak ada.”
Aluna membuka kedua matanya dan mengembuskan napas. “Akhirnya gue bisa napas lega.” Dia tersenyum tipis. “Bener kan kata gue tadi.” Dia menepuk-nepuk lengan gue. “Gue enggak maksa kok, Le. Masih 28 hari lagi. Masih ada waktu buat gue mahat hati lo.”
“Tapi jujur, Na, gue itu sayang sama lo. Tapi masih sebatas sahabat dan gue tahu peran gue di sini tuh apa.”
“Gue ngerti, kok. Makanya izinin gue buat ada di hati lo, ya.”
Gue mengangguk. Dan gue akan tetap mencari tahu apa yang tengah disembunyikan Aluna dengan cara tetap mengikuti permainannya, walau hati gue kini tengah ribut.
Beberapa siswa 11 IIS A sudah keluar. Tatapan-tatapan kepo pun serta bisikan-bisikan dilayangkan pada kami berdua. Tapi bisa gue pastikan kalau kabar tentang gue dan Aluna enggak akan menyebar luas. Kalaupun itu terjadi, gue enggak akan diam.
“Ayo, Na, masuk!” Gue menuntunnya berjalan menuju kelas. Dia menundukkan pandangannya sambil menggenggam erat tangan gue.
Suasana kelas berubah menjadi sunyi. Semua mata fokus melihat kami. Tapi gue tetap enggak peduli tentang itu. Gue tetap mengantar Aluna sampai duduk di kursinya. “Na, kalo lo enggak bisa, enggak usah dengerin yang lain ya. Fokus ke pelajaran dan gue aja.” []
Hahahaa javier pasti lucu deh orangnya 😆😚
Comment on chapter 2. DUNIA KALE