POV KALE
Gue akhirnya menemukan sosok Aluna. Dia tengah duduk di kantin bersama cewek asing yang sepertinya bukan dari kelas 11. Napas gue terengah-engah. Kedua tangan gue bertumpu dengan kedua lutut. Jantung gue bekerja dua kali lebih cepat. Karena gue kira tadi dia berlari ke rooftop atau ke gudang sekolah untuk menangis dan melukai diri sendiri. Tapi nyatanya salah, Aluna tampak asyik makan dengan teman barunya.
“Aluna!” teriak gue seraya menegakkan tubuh. Sesaat dia menoleh ke belakang, arah gue. Gue berada beberapa meter di belakangnya. Sumpah, gue jadi takut terjadi sesuatu sama dia. Soalnya dia langsung pucat usai Lily teriak begitu. Stupid banget sih tuh cewek!
“Kale,” kata Aluna pelan, lalu dia menggigit bibir bawahnya. Gue membaca gerak bibirnya. Pun gue memasang pendengaran lebih tajam lagi.
“Oh, itu yang namanya Kale,” kata Aubrey, membuat Aluna berpaling lagi padanya. “Pantes aja lo sampe segitunya tadi. Ganteng juga.”
“Ah, Kakak. Gue malu tahu.” Aluna menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangannya. Senyum gue mengembang mendengarnya saat mengambil minuman kaleng di vending machine. Ternyata berita hubungan kami kini menyebar ke ranah kelas lain. “Please, lupain omongan gue tadi.”
Gue meletakkan sekaleng Sprite di meja tepat di samping Aluna, dan duduk menghadap ke arah berlawanan. “Kirain gue lo nangis, enggak tahunya enak-enakan makan di sini,” celetukku, tapi yang diajak bicara malah sama sekali tanpa mengindahkan keberadaan gue.
Gue menghela napas. “Aluna...,” dengan nada merengek, “lo marah sama gue karena kejadian tadi pagi? Maaf deh. Tapi itu enggak kayak yang lo bayangin. Gue cuma jelasin kenapa gue ninggalin Venya kok kemaren.”
Aluna mengangkat kepalanya. “Terus?”
“Terus, ya udah, gue jadian sama lo deh. Jadi gue enggak ngurusin dia lagi.” Bukannya merespons gue, dia malah menggembungkan pipinya. Ada sedikit semburat merah di sana. “Ya udah, biar gue dapet maaf dari lo, gue bakal ngelakuin apa pun yang lo mau. Tapi jangan makan es duren lagi, ya.”
“Serius?” Matanya langsung bersinar seperti waktu gue menerima suapan es duren darinya.
Gue mengangguk, lalu menyesap minuman. “Jadi, apa permintaan cewek gue kali ini apa?” tanya gue sambil memainkan rambut Aluna.
“Lo harus jadi pasangan gue di ambassador tahun ini!”
Gue pun hanya bisa melongo mendengar permintaan Aluna. Bisa-bisanya dia minta itu. Bukan enggak mau, tapi gue malas banget. Mending makan duren deh.
“Licik banget cara lo, Na!” Si cewek asing di antara kami tertawa. “Jadi ini yang namanya Kale? Kalian cocok, kok.”
“Yah, Kak,” Aluna menutupi kedua pipinya, “pipi gue tambah panas, nih.”
“Itu siapa, Na?” tanya gue.
“Oh, kenalin,” cewek berambut cokelat mengulurkan tangan kanannya, “gue Aubrey, 12 IIS C.”
Alis kanan gue terangkat menghadapnya, lalu membalas uluran tangan Aubrey, “Kale.” Kemudian, gue memasang wajah melas ke arah Aluna. “Kenapa ambassador sih, Na? Lo tahu kan gue males banget ikut gituan.”
Aluna menghela napas. “Waktu gue enggak banyak, Le. Udahlah, ikutan aja. Sekalian cari pengalaman juga. Toh SMA juga bukan cuma belajar dan pacaran doang, kan.” Dia mengguncang-guncangkan lengan gue. “Ayolah, Le. Kalo enggak mau, ya enggak gue maafin.”
“Udahlah. Terima aja,” sahut Aubrey. “Daripada dia nangis kayak tadi sampe pucet gitu kan kasihan.” Dia mengelap mulutnya dengan tisu. “Gue bisa bantu kalian, kok.”
“Lo sakit, Na?” tanya gue pada Aluna tanpa menghiraukan ucapan Aubrey selanjutnya.
“Enggak. Gue kesel!” jawab Aluna ketus, lalu disesap jusnya perlahan. “Kenapa sih tuh cewek mulutnya ember banget?”
Gue mengusap punggung Aluna. “Ya udah. Maaf deh maaf.” Gue membimbing kepalanya agar bersandar di bahu gue. Setelah gue pikir-pikir, enggak ada salahnya juga kalau gue mengabulkan permintaan tersebut. Malah menguntungkan gue buat bisa jadi pengalihan masalah di rumah. “Oke, gue mau ikut event itu. Tapi gue enggak bisa janji bakal menang sampe akhir, ya.”
Aluna terbangun, menatap gue dengan cerah lagi. Dan... gue terpana. “Kita enggak harus menang, yang penting lo jadi pasangan gue. Tapi kalo kita sampeberhasil masuk ke malam puncak, enggak peduli itu pemenang apa enggak, gue bakal ngasih lo sesuatu.”
Gue terus menatap Aluna tanpa berniat meresponsnya. Bila dibandingkan dengan Venya, bisa dikatakan cewek di samping gue ini sangat manis. Mata bulat berkelopak indah berada di bawah alis hitam nan tebal, sepadan dengan hidung mungil serta bibir yang terbentuk seperti pita kecil merah muda. Sedangkan Venya ... Tiba-tiba otak gue nge-hang.
Suara batuk Aubrey menyadarkan gue, tapi gue enggak mengalihkan pandangan. Tatapan gue tetap pada Aluna. “Kayaknya gue cuma ganggu orang pacaran, nih. Gue balik aja, ya.”
“Eh, jangan!” kata Aluna. Gue mengerjap melihat bibir Aluna bergerak. “Gue masih butuh lo, Kak.”
“Oke, gue harus bantu apa?”
“Ya itu tadi, persyaratannya apa aja dan kami harus nyiapin apa aja?”
“Lho, bukannya di papan pengumuman dijelasin, ya?”
“Yah, Kak, mana gue tahu. Gue aja lihat sekilas info ini di web sekolah.”
“Panitianya siapa sih tahun ini?”
“Venya,” sahut gue. Tatapan gue berpindah-pindah dari Aluna ke Aubrey. “Iya, tadi dia ngabarin itu, Na. Terus sempet nawarin gue ikutan juga. Tapi ya masa gue ikut? Entar yang ada gue enggak fokus karena ada dia.”
“Le, bisa enggak buat enggak ngomongin Venya dulu?” Aluna mengelus wajahnya sendiri. Dia terlihat frustrasi. “Ada gue, Le, cewek lo.”
“Gue enggak tahu ya apa hubungan kalian sama panitia itu,” sahut Aubrey. “Tapi yang jelas, lo Kale harus percaya sama Aluna. Karena gue yakin kalian bisa asal kalian fokus.”
“Kalo Kale enggak mau, gue terpaksa minta Gema atau Javier yang jadi pasangan gue.” Aluna meneguk jus jeruknya hingga tandas, sampai-sampai gue yang melihatnya merasa mendadak tenggorokan gue sakit.
“Ganas....” komentar gue ketika Aluna meletakkan gelasnya kembali ke meja. Gue ambil tisu untuk mengelap sekitar bibir Aluna. “Biar gue aja yang jadi pasangan lo. Kalo yang lain, usaha lo bikin gue jatuh cinta sama lo bakal sia-sia, Na.”
“Oh iya, bener.”
“Lanjut enggak, nih?” tanya Aubrey.
“Eh iya, Kak. Lanjut,” Aluna mengeluarkan ponselnya dan membuka notes, “persyaratannya apa aja?”
“Syarat utamanya tentu aja good looking dan punya bakat.”
Jemari Aluna menggantung di atas layar ponsel. “Bakat gue apaan, ya?” Dia menatap gue. “Le, bakat gue apa?”
Gue menepuk kening gue sendiri. “Lo kepolosan apa gimana sih, Na? Gue enggak ngerti lagi.”
“Ya mana gue tahu.” Aluna memberengut. “Palingan masak. Tapi masa iya gue praktek masak di panggung? Kan enggak mungkin.”
“Iya, sih.” Gue mengetuk-ngetuk meja sambil berpikir.
“Itu bisa kalian diskusiin nanti dan cantumin di CV,” sahut Aubrey. “Nah, setelah itu peserta yang daftar semua akan diwawancarai buat diseleksi lagi jadi sepuluh finalis. Lima cowok, lima cewek. Abis itu kalian dikarantina tiga hari deh.”
“Di mana, Kak?” tanya Aluna.
“Di aula, kok. Pulang sekolah. Ya kurang lebih dua jam, lah.”
“Terus selama karatina, kami disuruh ngapain aja?”
“Hari pertama foto jenik. Nanti bakal ada fotografer yang bakal foto kalian. Nah, foto itu nantinya diposting di medsos buat voting. Tapi, itupun enggak ngaruh sih ke hasil malam puncak. Nanti gue bakal bantu promoin kalian, kok. Tenang aja.”
“Thanks, Kak,” kata Aluna. “Ya seenggaknya gue bisa agak dikenal lah ya.”
“Emang sekarang enggak dikenal?” tanya gue, iseng.
“Enggak.” Aluna menggeleng. “Gue kan selalu sama kalian bertiga, Le. Bosen juga.”
“Oh, lo bosen sama gue? Ya udah.”
“Eh, enggak gitu juga maksudnya.” Dia panik, dan langsung meraih lengan gue dan membawanya ke pangkuannya. “Kalian tuh jadi bagian dari diri gue tahu. Dan kalian itu alasan gue bertahan sampe detik ini.”
“Ng..., dramanya boleh dilanjutin lagi entar enggak?” Aubrey menggoyang-goyangkan ponselnya di tangan. “Joe udah nyariin gue nih dan itu berarti gue harus balik ke kelas.”
“Eh maaf, Kak, maaf.” Aluna mengeratkan lengan gue. “Lanjut!”
Aubrey menghela napas. “Oke, hari kedua pelatihan tata rias.”
“Mampus! Gue enggak bisa dandan!” Aluna menepuk dahinya sendiri.
Gue menatap cewek gue datar. Bisanya apa sih lo, Na? Tapi bukan itu yang gue utarakan, melainkan, “Nanti gue minta Kara ngajarin lo.”
“Terakhir public speaking. Gue harap kalian nguasain materinya pas malam puncaknya, ya.” []
Gema pengingat yg baik emang. Gak kek kale ππ
Comment on chapter BUKU HARIAN UNA (BH 4)