Di halaman aku melihat Sabang, Guna dan El dipegangi beberapa orang yang mengekan kacamata hitam.
Sementara Pak Kadus, Bonu dan beberapa pemuda desa terlihat tidak melakukan apa-apa. Di sisi lain aku melihat Pak Jayadi dan Mas Aji memasang ekspresi serius mendengarkan ucapan dan isak tangis dari Bu Nada.
Bu Dhena juga tak kalah tegas, meski wajahnya merah padam menahan sesuatu. Mereka tengah menukas penjelasan-penjelasan palsu yang Mas Aji utarakan terlebih dahulu.
Tanpa menunggu waktu lama, keramaian tercipta tanpa diminta di teras basecamp.
“Begini, Bu, kami memiliki bukti yang mumpuni, dan bukti itu tertulis. Percuma saja Bu Nada bercakap panjang lebar karena yang mengusulkan penangkapan bukan kami. Kami hanya menjalankan tugas.” Ucap salah satu intel yang memiliki badan paling berotot dan sepatu paling bersih.
Guna terlihat berontak, sementara aku masih belum melakukan apa-apa. Pandanganku masih menyisir sekitar mengamati dan mencari-cari di mana Pak Wicak berada.
Bu Nada masih saja melakukan pembelaan, padahal kita semua tahu segala yang ia ucapkan hanya akan menjadi sia-sia.
“Sudah, sudah! Sekarang tunjukan Wicak dan suruh ia kemari.” Mas Aji memaksa.
Semua orang saling tatap, tidak ada satu pun dari kami yang tahu di mana ia berada.
“Itu Nadif!” Pak Jayadi meneriaku, “Di mana Bosmu?”
Salah satu pria berjaket dan berkacamata hitam menarikku, aku digelandang ke halaman basecamp seperti seorang tahanan. Andai saja keadaan lebih baik, sudah aku pukul wajah lelaki yang memegang punggung bajuku.
“Jangan diam saja!” geramnya.
“Tidak tahu, Pak.” Aku mengutuki diriku sendiri, ngapain juga aku masih berhormat-hormat ria pada penghianat ini.
“Jangan bohong, codot! Kau sembunyikan di mana bos tengikmu itu! Orang yang amat sangat kau hormati itu adalah pelaku penjarahan selama ini. Dialah orang yang tega memakan harta warisan sejarah untuk mengenyangkan perut sendiri!” Bentak Pak Jayadi dengan nada kasar dan lebih keras.
Rahangku mengeras, “Maaf tidak tahu, Pak.”
Dari arah yang tidak diduga Mas Aji memukul wajahku sampai membuat mata dan hidungku berair. Perih.
Eoni dan beberapa gadis berteriak. Eoni hendak berlari ke arahku namun Gembi menahannya. Kejadian itu memicu reaksi lain. Guna, Sabang dan El berhasil lolos dari pegangan orang-orang yang menahannya.
Namun sebelum salah satu bogem dari mereka mengeri bagian tubuh Mas Aji, Mbah Kakung sudah lebih dulu muncul menenangkan semuanya.
“Kalian orang kota apakah akan mempertontonkan pertandingan gulat di sini? Di desa kami yang damai ini?” Mbah Kakung dengan tubuh rentanya berjalan ke tengah halaman.
“Aku tidak tahu bagaimana adab yang diajarkan atasan ataupun orang-orang kota pada umumnya, tapi jika itu bukan kebaikan dan tidak sesuai dengan cara hidup kami para orang pegunungan, silahkan lakukan itu di tempat lain. Aku tidak ingin anak cucuku terkotori oleh contoh-contoh yang tidak baik dari tingkah laku kalian.”
Halaman senyap, tentu saja, tidak ada satu orang pun yang berani menentang Mbah Kakung.
“Apa ada salah satu dari kalian yang akan menjelaskan keributan pagi ini? Ayamku jadi enggan berkokok, sepertinya malaikat tengah meninggalkan bukit ini sebab kebencian-kebencian yang menguasai udara.”
Tidak ada satu pun dari kami yang membuka mulut.
“Dhena, apa yang terjadi?” Mbah Kakung menunjuk satu orang.
Dengan nafas yang lebih baik Bu Dhena menjelaskan, ia mengatakan ketidakterimaannya dengan dugaan tidak benar yang Pak Jayadi dan kawan-kawan jatuhkan.
Ia lebih tidak percaya bahwa rekan-rekan satu penelitian saling mencurigai satu sama lain.
“Ada lagi?” Tegas Mbah Kakung.
Pak Jayadi mengangkat tangan, “Dengan tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun. Kami butuh Pak Wicak, Mbah. Kami mohon izin untuk membawa pimpinan dalam projek kami untuk bersaksi dalam dakwaan yang jatuh padanya.”
“Kalian mencari Wicak?” Mbah Kakung tertawa, menampakkan garis matanya yang semakin keriput, “Dari tadi ia di sini, menatap keributan yang tidak berkesudahan. Dari tadi ia duduk di teras rumahku dengan perasaan bingung, sebenarnya sedang apa ini! Itu dia.”
Semua orang menengok ke satu arah, di sana sedang duduk Pak Wicak sendirian menatap orang-orang yang menatapnya.
“Bagaimana mungkin kalian mencari seseorang yang sudah jelas berada sangat dekat? Bagaimana mungkin kau bilang ada sesuatu yang disembunyikan padahal kalian bisa menemukannya dengan mudah? Hah! Kebencian memang sudah menutupi hati orang-orang ini.” Bisiknya keras-keras, seolah sedang berbicara dengan diri sendiri.
Seperti sudah direncana begitu salah satu dari intel berjaket hitam menjangkau Pak Wicak, derum mobil jeep segera berbunyi. Mereka menggelandang Pak Wicak agar segera masuk ke dalam mobil.
Keributan kembali pecah, Sabang dan Guna yang berusaha mengejar, kepayahan karena ditahan petugas.
Bu Dhena dan Bu Nada juga dinaikkan ke mobil yang lain.
Gembi dan Maharani tak kuasa menahan tangis sambil memegangi pundak Eoni yang hanya menatap nanar kejadian dan tidak melakukan apapun.
“Tunggu!” Akhirnya Pak Wicak berbicara.
Semua orang sontak diam dan terkejut.
“Nadif, aku ingin bicara berdua denganmu sebentar.”
Aku pun mendekat.
“Aku ingin berbicara berdua, kuharap tidak ada laki-laki berjaket hitam yang kepo dengan pembicaraan antara ayah dan anak ini.” Itu tandanya Pak Wicak hanya ingin obrolannya didengar olehku.
Lelaki yang ia maksud melepaskan pegangannya dan memberi kami waktu berdua.
Dengan suara yang sangat pelan tapi masih bisa aku dengar Pak Wicak membisikkan sesuatu, “Nadif, tolong selepas kejadian ini kau ajak bicara Mbah Kakung, singgung mengenai Orang Dalam, maka kau akan mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Tentangku, tentang situs misterius ini, tentang dugaan-dugaan yang tidak jelas kebenarannya. Kau akan tahu kebenarannya. Aku paham, kau tidak akan mempercayai siapapun tanpa bukti dan langkah yang jelas, kau membelaku saat ini semata-mata hanya karena aku adalah seseorang yang kau hormati, bukan karena menurutmu aku benar dan tidak bersalah. Kau orang baik, Dif. Dan aku tahu kau yang akan memberikan kebenaran pada siapa saja.”
“Terlalu lama, waktunya habis.” Mas Aji berteriak kasar.
“Sekali lagi aku ingatkan untuk berkata yang baik-baik di atas tanah nenek moyangku.” Mbah Kakung berseru hingga membuat semua orang gemetar.
“Baik, Pak Tua!” Mas Aji dengan nada yang tidak ada baik-baiknya sama sekali.
Semua orang yang diminta naik, akhirnya masuk ke dalam mobil tanpa perlawanan lagi. Hampir semua peneliti senior diangkut. Sementara yang tidak tahu apa-apa masih tertinggal dengan jutaan pertanyaan tanpa ada penjelasan.
Para pria berjaket hitam juga sudah naik seluruhnya.
Saat derum mesin mobil hendak menjalannya gasnya, aku teringat sesuatu, “Tuan, boleh saya berbicara dengan Mas Aji? Sekali saja. Tidak perlu berdua.”
Salah satu dari mereka memanggilkan orang yang aku maksud. Dari dalam kendaraan Mas aji melongokkan kepalanya. Tanpa menunggu ba bi bu lagi, segera kutonjok wajahnya dengan sempurna. Bogemku menghantam hidung, gigi dan matanya dalam sekali berangkat.
Semua orang terkejut dan sebagian berteriak. Intel yang tadinya sudah naik kembali turun dan mendorongku.
“Itu balasnnya karena kau sudah memanggil Mbah Kakung dengan sebutan yang tidak seharusnya!” Mundurku sambil tertawa.