Kabut mengungkung pagi. Mbah Kakung masih setia dengan perapian dan udara hangat di dalam rumah. Bu Tinah juga tidak melupakan kebiasaan paginya, menyiapkan sarapan dan gelas-gelas panas yang berisi minuman manis.
Pagi ini sangat sunyi, tak ada suara bisik serangga atau tetes hujan dari genteng rumah. Yua dan Yui juga terlihat tidak berselera mengganggu kegiatan empat bujang yang tidak juga beranjak dari tempat tidur.
Guna adalah yang paling malas, dia masih saja bergerumul dalam selimut seperti kepompong yang enggan jadi kupu-kupu, meringkuk saja adanya.
Aku mendengar El tengah menelpon seseorang, sepertinya itu suara Maharani, tapi entahlah aku tidak terlalu tertarik dengan kisah cinta orang lain. Sebenarnya, sejak awal aku kira El menyukai Eoni, meskipun aku tahu Eoni adalah seniornya di tempat mereka bekerja.
Tapi aku sedikit bisa menerjemahkan setiap kali ia memandang gadis itu dengan sorot mata yang berbeda. Hanya saja, pagi ini dan beberapa hari sebelumnya aku merasakan hawa yang berbeda, Ah! Tapi siapa pula yang peduli, Hati orang memang mudah berubah.
Dari percakapan El dan Maharani aku tahu bahwa hasil laborat dari sampel milik El dan Eoni mengalami kendala, pasalnya ada dua kerangka manusia yang ditemukan, namun masing-masing bagiannya saling tertukar, kemungkinan itu diketahui baru-baru ini.
Satu fosil berusia kurang lebih tujuh ratus lima puluh tahun yang lalu, sementara fosil yang satunya seperti masih baru, sekitar lima sampai sepuluh tahun. Jika benar maka itu adalah kasus pembunuhan yang baru saja mereka ungkap. Untuk itu mereka meminta waktu perpanjangan kajian.
Aku menungu mereka berdua selesai telfon untuk data lebih lanjut, aku harus membuat laporan mingguan dengan mewawancarai El.
Meskipun aku ahli sejarah, pekerjaanku merangkap sebagai jurnalis juga, tentu saja tanpa direncana. Aku bisa melakukannya karena telah terbiasa, Pak Wicak yang selalu menuntutku.
Bosan mendengar El yang suaranya rendah tapi amat sangat mengganggu konsentrasiku, aku memilih berpindah ke ruang sebelah, tempat di mana Sabang dan Guna sedang merajut mimpi. Setidaknya dengkuran mereka terdengar lebih baik.
Sabang terkejut, tidak mengantisipasi kedatanganku yang tiba-tiba. Aku cengar-cengir meminta maaf. Sementara Guna, tak bereaksi, lagi-lagi ia tidur seperti simulasi orang meninggal.
“Broo! Bagaimana kau dengan Maharani? Aku dengar ia sedang menelpon dengan ahli forensik kita.” Ledekku, sengaja betul supaya ia panas.
Sabang menggeliat malas, sepertinya ia tidak tertarik dengan pembicaraan ini. Aku jadi khawatir, jangan-jangan hubungannya dengan Eoni benar adanya. Pasalnya ia tidak menampilkan ekspresi apapun, lebih ke tidak peduli.
“Ah! Tidak jantan sekali kau, Bang. Masa’ cewekmu diambil orang, kau biasa-biasa saja.” Aku masih berusaha.
“Diam kau, Dif. Minggu depan akan kupacari si gadis sendumu itu. Jadi kau tidak bisa macam-macam lagi.” Ucapnya dengan mata masih terpejam, “Oh ya, kalau itu terjadi, kau tentu tidak boleh lagi berduaan dengannya tanpa sepengetahuanku.” Ia terkekeh puas.
Astaga, ingin sekali aku potong bibirnya itu.
“Pulanglah kau, aku tahu siapa yang sebenarnya ada di hatimu, gadis yang selalu kau tuliskan puisi di koran digital mingguan. Aku tahu itu, Dif.” Celetuknya tiba-tiba. Aku terkejut bukan kepalang, bagaimana ia tahu hal ini.
Aku tak pernah memberi tahu siapapun, bahkan nama penulis di koran mingguan sudah aku samarkan.
Aku melompat bermaksud ingin memiting kepala Sabang. Ia yang sadar dengan pergerakanku segera bangkit menjauh sambil tertawa penuh kemenangan.
“Hentikan itu, wahai bujang tua. Kalian tidak akan bertengkar hanya karena seorang gadis yang letak matanya tidak sejajar, bukan?” Kami berdua menengok ke arah Guna, kini ia yang jadi sasaran bogem Sabang dan aku.
Bagaimana mungkin gadis secantik dan semanis Eoni, ia bilang letak matanya tidak sejajar!
Saat kami sedang ribut-ribut di dalam, tiba-tiba keributan yang lebih besar sedang terjadi di luar.
Teriakan Bu Dhena memecah pagi, rupanya di halaman basecamp putri sudah berjejer orang-orang berseragam intel lengkap dengan sepatu tinggi dan jaket hitam tebal.
Mereka bergerak beringas menebarkan aura sangar sampai-sampai yang melihat jadi segan melawan. Mereka mencari Bu Dhena dan Bu Nada, mereka akan dijadikan saksi.
Saksi untuk apa? Aku juga belum tahu.
Sebelum paham apa yang sebenarnya terjadi, aku bersama dengan El, Guna dan Sabang segera merangsek masuk mencoba mencari tahu sebisanya.
Maharani masih pucat dengan telfon yang masih menyala, begitu juga El. Eoni tak terlihat batang hidungnya. Sementara Gembi sedang memeluk Bu Dhena yang histeris.
Meskipun dihalang-halangi, aku berhasil masuk dan satu-satunya tempat yang aku tuju adalah Eoni.
Situasi di luar masih belum kondusif, Bu Nada masih berusaha berbicara dengan sangat emosional sampai-sampai suaranya bergetar dan tergeret-geret keluar dari tenggorokan.
“Apa yang terjadi?” Perasaanku sedikit lebih baik mengetahui bahwa gadis ini dalam keadaan baik.
“Tenang, Dif. Tetap tenang.” Ucapnya sambil memegangi handuk yang masih basah, “Aku sempat menguping pembicaraan, tapi aku belum bisa menyimpulkan. Kau pasti tahu, akan lebih baik jika kita tidak mengambil kesimpulan di awal kejadian.”
Aku mengangguk paham, aku tahu kami sama paniknya. Mimpi apa kami semalam, sepagi ini basecamp kami sudah didatangi orang-orang mengerikan dari kepolisian.
“Yang aku dengar, mereka sedang menangkap Pak Wicak..”
Mataku melotot, kenapa? Ada rasa tidak terima yang besar dalam diriku, aku adalah tangan kanan beliau, aku paham seluk beluk tindakannya. Dan sejauh yang aku ketahui, ia adalah orang yang bersih, bijak dan berhati-hati.
“Pak Jayadi, ia adalah dalang dari semua ini. Ia mengajak para peneliti senior untuk diam-diam mengumpulkan bukti tentang hilangnya harta candi. Ia menjatuhkan tuduhan macam-macam pada Pak Wicak dan membuat jalan cerita sedemikian rupa agar tuduhan itu terdengar benar dan logis.”
Dadaku berguncang bukan main, ingin rasanya kepal tinjuku melayang ke wajah orang-orang jahat itu.
“Lalu mengapa Bu Dhena dan Bu Nada jadi ikut diusut?”
“Tidak, dua ibu itu hanya akan dijadikan saksi setelah penjemputan paksa ini.”
“Aku tidak boleh tinggal diam, bagaimana dengan projek ini? Jika tidak segera ditangani pasti akan mengundang malapetaka yang lebih besar.”
“Aku paham, tapi kita harus tenang, Dif. Meskipun aku bukan sejarawan seperti kalian tapi di sini lahan kerjaku juga, aku banyak dibantu dan ambil andil dalam ekskavasi ini.”
Karena tidak sabaran, aku segera bangkit dan memaksa menemui para intel itu namun Eoni menahanku, “Hati-hati, Dif. Tidak semua kejadian memberikan kesimpulan yang benar.”
Kupegang kepala gadis itu dan kuusap pelan, dalam hatiku, “Tenanglah.”