“Kebutuhan diri dan kebutuhan ambisi adalah dua hal yang berbeda, Nak.” Mr. Arief mencoba menasehatiku yang masih saja bebal.
Sebelum ini, pulsa dan kuota internetku benar-benar tandas. Tidak ada warga desa sini yang menjual benda tidak terlihat itu, konter juga tidak ada, paling dekat jaranknya 2 Km dari gerbang desa.
Namun keberuntungan nampaknya sedang berbaik hati, tanpa disangka ada pesan masuk yang memberitahu ada pulsa internet yang masuk ke ponselku. Dugaan besarku itu adalah kiriman dari Pak Bah atau Mr. Arief, dan tanpa menunggu lama segera aku telfon salah satu dari mereka.
“…kerjakan dulu tugasmu di situ sampai tanggung jawabmu selesai. Kami di sini selalu bantu kau.” Mr. Arief berteriak dari ujung telepon.
“Sudah sejak dari dulu-dulu aku yakin kalau Pram ini ayah kau, Nak. Orang yang kau panggil-panggil jika sedang mengigau.” Pak Leo yang turut serta dalam panggilan, ngotot mendukung argumen Mr. Arief.
“…aku juga sebenarnya percaya tapi aku tidak mau buru-buru untuk mengambil kesimpulan seperti Leo. Memang tidak semua keyakinan bisa datang cepat-cepat, namun ini sudah cukup lama untuk menunggu, barangkali kini waktunya kita untuk bisa percaya dan mengambil langkah nyata. Apakah sebaiknya kita datangi saja Pram itu dan kita tanya-tanya secara langsung atau meminta ia yang datang menemui kita.” Pak Bah terdengar serius dengan kalimatnya kali ini.
“Tentu, tentu harus kita datangi orangnya.” Ucapku menggebu-gebu, sudah lelah sekali aku mendengar kata ‘berita penting tentang Pram, ayahmu’ atau ‘kabar baik tentang Pram’ yang ternyata salah dan tidak kunjung ada selesainya.
“Nak, tapi ‘kita’ yang aku maksud adalah aku, Arief dan Leo, tanpa kau. Kau harus menyelesaikan pekerjaanmu seperti yang tadi Arief bilang. Cukupkan ambisimu pada tugas yang tunai dengan baik dan hari-hari yang penuh rasa bersyukur terlebih dahulu. Biarkan kami mengambil tanggung jawab yang memang sudah seharusnya kami bawa, bagaimanapun kau sudah kami anggap anak sendiri dan Pram adalah salah seorang kawan lama yang tidak sedikit jasanya dalam membantu Leo dan Arief.” Hanya Pak Bah yang nasehatnya paling masuk di telingaku, mungkin karena cara bicaranya yang pelan dan penuh pembawaan yang menenangkan. Beda sekali dengan Pak Leo dan Mr. Arief.
“Nah dengar itu, Dif. Anak mana coba yang bapaknya tiga dan kamu ikut mengurusmu semua.” Pak Leo menyahut kencang.
“Empat dengan ayah yang sedang kita cari ini.” Lanjutku, semua jadi tertawa dari tempat masing-masing.
Saat senja sedang puncak-puncaknya, pelan-pelan aku memahami semuanya, tentang siapa dan apa yang sedang ingin aku ketahui. Pikiranku masih dan tetap saja melayang kemana-mana tidak tahu tuannya sudah lelah untuk berpikir.
Dari cerita yang aku dengar dari Pak Bah, Mr. Arief dan Pak Leo. Pram ~yang mereka kira ayah kandungku~ adalah rekan kerja sewaktu mereka masih bekerja di sebuah pulau yang luasnya hanya sekitar 10,710 km2.
Mereka adalah sekelompok peneliti yang sedang menyelami keanekaragaman hayati dan potensi-potensi alam yang ada di sana. Menurut Pak Bah, pulau itu adalah sekumpulan tanah bergelombang yang dipenuhi oleh padang rumput dan ringkinan kuda, teriakan para penggembala juga ramai memenuhi langit-langit yang biru, merah dan coklat jika senja.
Kalau malam, bau daging dan lenguhan sapi kerap membuat ia terjaga karena sering muncul tiba-tiba.
Selain karena Pram diduga ayah kandungku, Pram juga adalah salah satu rekan mereka yang hilang sekitar 25 tahun yang lalu dalam sebuah perjalanan ekspedisi. Keberadaannya secara tiba-tiba tidak bisa diketahui karena sebab yang misterius. Untuk ini, mereka juga merasa perlu mencari tahu lebih jauh tentang siapa sebenarnya Pram.
Lelaki berbadan tegap, dengan kumis tipis yang mengias atas bibirnya, serta sebuah topi bucket yang selalu ia pakai kemana-mana adalah ciri khasnya waktu itu. Pram adalah seorang ahli biologi yang khatam masalah tumbuhan dan hal-hal yang bersangkutan dengannya.
Entah berapa artikel koran, buku fiksi dan non-fiksi yang telah ia ciptakan berkaitan dengan kegemarannya itu, terkadang ia juga jadi kritikus sosial yang terselubung. Meskipun masih muda, Pram adalah peneliti senior dan salah satu orang yang dekat dengan orang-orang penghuni gedung kementrian.
Ia juga sering diundang ke istana dalam acara-acara tertentu sebagai perwakilan dari kaum peneliti. Suaranya memang cukup berpengaruh dan didengar oleh orang banyak.
Pram juga digadang-gadang menjadi pemegang tongkat ekstavet kementrian riset dan teknologi untuk periode selanjutnya pada masa itu.
Namun nampaknya ia tidak tertarik untuk terjun langsung dalam dunia politik meskipun dunia itu amat dekat dengannya, ia tidak ada minat untuk menjadi orang terpandang dengan penghasilan milyaran perbulan dan tinggal di gedung-gedung mewah.
Tapi kenyataannya memang begitu, ia lebih senang tinggal di desa dan memilih Nara sebagai kota kecil pilihannya.