Rumah Pram berada tepat di atas rumahku, lebih tepatnya rumah ibu angkatku. Di sana ia tinggal bersama istrinya, Alina. Kata Mr. Arief, Alina adalah gadis yang ditaksir Mr. Arief saat muda.
Perempuan itu memang manis, cantik dan senyumnya sangat sopan menyapa penglihatan.
Waktu penelitian di pulau terpencil itu hanya 20 hari dengan jumlah anggota satu tim berjumlah 31 orang. Ya, waktu yang singkat dan orang yang banyak.
Dari 30 orang itu, tidak semua adalah peneliti dengan latar belakang yang sama, ada yang ahli biologi tumbuhan seperti Pram, ada ahli fauna, ahli mikroorganisme, ahli geologi dan geofisika, fisikawan, peneliti antropologi dan ada sebagian orang ahli dokumentasi.
Pak Leo adalah kameramen yang handal untuk bagian dokumentasi, meskipun ia adalah orang teknik. Satu tim ini melakukan ekspedisi selama satu tahun dengan berkeliling Indonesia, menjangkau daerah yang memiliki keunikan baik dari segi alam, budaya dan manusianya.
Kata Pak Leo, “Aku ingat sekali hari di mana Pram menghilang, dan itu peristiwa yang sama sekali tidak kami duga sebelumnya. Kabar meletusnya aksi demonstrasi di ibu kota meminta penguasa turun tahta memang sudah menyebar semenjak aku dan para peneliti datang ke pulau itu. Namun misi kami saat itu tidak ada kepentingan politik sama sekali, tempatnya pun jauh dari hiruk pikuk kota dan hasrat kekuasaan, sangat kecil kemungkinan orang-orang penting dalam ekspedisi ini menjadi sasaran. Kepergian tim pun sudah lebih dari enam bulan sejak keberangkatan pertama di pulau bagian timur Indonesia, selama itu kami hidup dengan aman dan terlindungi di daerah-daerah yang kebanyakan terkungkung hutan dan ladang, meskipun beberapa tempat singgah penelitian ada yang letaknya di dekat kota tapi itu jarang sekali.
“Yang biasa menyerang para peneliti itu hanya ular, serangga, lintah dan hewan-hewan yang pada dasarnya ingin melindungi diri karena tidak biasa dengan keberadaan manusia. Terlebih memang kadang peneliti menangkap burung, mengambil sampel lumut, mencari moluska dan lain sebagainya untuk tujuan riset, beberapa hewan juga pasti dikembalikan lagi ke alam. Tentu serangan hewan sudah jadi resiko nyata sejak awal. Namun hari itu berbeda, entah dari mana asalnya dan kapan datangnya, ada sekelompok polisi berbaju preman menyinggahi desa-desa di sekitar tempat mereka tinggal. Warga desa yang geger dengan kedatangan mereka memberi kabar pada tim bahwa mereka mencari 10 orang peneliti senior yang turut dalam ekspedisi, salah satunya adalah si Pram itu. Para polisi ini bahkan memberi imbalan pada warga yang mau menyerahkan atau menunjukkan jalan agar mereka bisa menemukan orang-orang incarannya.” Pak Leo menghentikan sejenak ceritanya, sedang mengingat kejadian yang sudah sangat lampau.
“Waktu itu aku tengah merekam gambar dari aktivitas peneliti tumbuhan, Pram dengan satu asisten dan dua rekannya baru saja bersorak-sorai karena berhasil menemukan tumbuhan purba yang bentuknya mirip jamur. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena dari HT kami mengabarkan kalau Pram dicari dan ditetapkan sebagai musuh negara karena berusaha menyebarkan paham anti nasionalisme. Kurang lebih begitu.
“Aku tentu merasa terkejut, selama ini aku mengenal Pram adalah sebagai kawan yang tangannya ringan dalam membantu orang lain. Tak terhitung berapa kali ia menyelamatkanku dari infeksi, keracunan, bahkan kelaparan selama ekspedisi karena kecerdikannya dalam masalah tumbuh-tumbuhan. Aku juga bingung bagaimana bisa ia disebut sebagai musuh negara. Begitu mendengar kabar tersebut, kami semua berpencar, tidak ada peneliti ataupun crew yang pulang ke rumah singgah. Aku dan pram juga memutuskan untuk saling berpisah untuk menghindari jejak, hari itu adalah hari di mana aku terakhir kali melihatnya. Semua alat komunikasi dimatikan supaya tidak ada sinyal-sinyal yang menunjukan persembunyian masing-masing. Selama seminggu lebih kami bersembunyi di hutan-hutan dan saling bertukar kabar melalui warga desa yang waktu itu berada di pihak kami. Itu benar-benar masa yang sulit. Aku dan Mr. Arief berada di tempat yang berbeda, kami tidak mengetahui keadaan satu sama lain.”
Mr. Arief menyambung cerita “Sepengetahuanku, ia dicari karena terbongkarnya nama samaran dalam artikelnya di koran ternama yang mengkritik penguasa dan pejabat korup. Keadaan kami waktu itu benar-benar buruk, pulau indah itu jadi mencekam untuk waktu yang cukup lama. Kami kelaparan berhari-hari, seperti bermain petak umpet namun jika tertangkap, resikonya adalah nyawa. Luka itu cukup membekas bagi seluruh anggota tim, pasalnya hampir seluruh dari kami terserang penyakit aneh, satu orang meninggal dihadapan kawan-kawan dan ada lima orang yang tidak pulang. Salah satu yang tidak pulang itu adalah Pram dan asisten risetnya.
“Ada yang bilang kalau mereka yang tidak pulang meninggal di tengah hutan karena pulau itu masih dihuni oleh banyak spesies berbahaya seperti Ular viper hijau yang anti bisanya belum ada di Indonesia. Selain itu, bertahan hidup di sana memang sangat susah karena wilayah perairan tawarnya terbatas dan hutannya bertanah kering. Banyak dugaan mengapa kawan kami ada yang tidak pulang, dan yang terburuk adalah ditangkap oleh preman-preman tadi. Dan sepertinya itu yang paling memungkinkan, karena aku rasa untuk urusan bertahan hidup Pram adalah salah satu yang paling ahli, tak hanya Pak Leo, aku juga merasa berhutang budi dengan Pram. Sebenarnya ada dua orang dari kami yang ditangkap untuk kemudian dibebaskan. Namun sebelum dilepas mereka bilang ada siksaan tidak manusiawi yang mereka alami. Salah satu jari mereka sampai putus dan satu yang lain kembali dalam keadaan babak belur seperti habis diserang lebah. Alasan mereka disiksa tidak lebih dari sekedar pertanyaan di mana Pram dan koleganya?” Mr. Arief telah mengatakan yang sebenarnya.
~~~
Disaksikan langit semesta yang sudah ditinggalkan matahari, aku terbujur kaku mendengar kisah yang dituturkan tiga orang dari tempat yang amat jauh dari sini. Air mataku jatuh dan batinku kebas bukan main.
Beruntung alam yang gelap menyamarkan gerak tubuhku yang sedang sesenggukan.
Sungguh ingin sekali aku berteriak atas apa yang aku dengar dan aku rasa. Mengapa perjalanan hidup seseorang bisa sampai sesulit itu, terlebih, jika benar, ia adalah ayahku, seseorang yang amat sangat aku cari selama lima tahun terakhir ini.
Ibu angkatku selalu bilang, “ketika jatuh, maka kembalilah pada hal-hal yang membuatmu hidup.”
Namun kali ini aku tidah tahu kemana jalan kembali itu, orang-orang yang bisa merengkuhku ketika jatuh berada ditempat yang amat jauh dalam jangkauan, bahkan ketika aku ceritakan keluhku kali ini dengan ambisi-ambisi bodohku, aku tidak tahu apakah mereka akan tetap melakukannya.
Manusia diciptakan penuh dengan sudut pandang dan hati yang selalu berubah-ubah, termasuk juga aku.
Sampai langit gelap sempurna, saat aku rasa hanya aku sendiri yang ada di bukit itu, tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan halus menyentuh punggungku, mengusap kepalaku dan seseorang yang melakukannya bertanya, “Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Sontak wajahku menoleh, sebelum aku menjawab dengan sebuah kata, ia sudah lebih dulu meraih kepalaku dan mendekapnya, “Aku mendengar semuanya.” Bisiknya lirih yang jadi terdengar semakin lirih sebab diganggu hembusan angin selepas senja berpamitan.