Lampu di tiang bambu semakin terlihat terang seiring malam yang semakin larut. Kepak kelelawar dan suara burung hantu di kejauhan juga ikut meramaikan malam, seperti sepi sebenarnya tidak pernah membiarkan kita benar-benar sendiri.
Pak Wicak dan para seniorku masih dengan perdebatannya, saling melempar tanya dan dalih satu sama lain. Dan kali ini jatahku untuk mendapat lemparannya.
“Aku setuju dengan pertanyaan Mas Aji tadi, bagaimana orang lain tahu tentang situs baru ini sampai-sampai menjarahnya, bahkan kita sesama arkeolog pun tidak saling tahu. Mungkin jawabannya adalah, pelaku penjarahan mungkin seorang arkeolog atau sejarawan yang tahu, paham dan mengerti secara detail tentang situs ini. Dan kemungkinan salah satu dalangnya adalah kawan kita sendiri.” Pak Wicak sudah sangat menyiapkan hati dan pikirannya sekali untuk menyampaikan argument tersebut di forum kecil ini.
Mas Aji, Bu Dhena dan Bu Nada terlihat mengangguk, setuju, apa yang diucapkan Pak Wicak memang masuk akal. Sangat masuk akal. Aku sempat melirik Eoni yang sedikit terkantuk-kantuk duduk di sebelahku.
“Nadif, kau adalah orang baru namun sangat aku percaya,” Pak Wicak menghentikan bicaranya agar mendapatkan perhatianku secara penuh, “Kurasa kau dekat dengan beberapa rekanmu yang juga masih baru untuk ikut andil di sini, mungkin kau bisa sedikit menceritakan tentang mereka padaku.”
Hatiku mengeluh, dugaanku benar, sekarang aku tahu mengapa hanya aku yang ada di sini. “Maaf, Ndan,” aku merasa ada yang menyangkut di tenggorokanku, dan demi mendengar dua kata keluar dari mulutku Eoni yang kesadarannya tinggal 15 persen, kini jadi penuh kembali.
Aku melanjutkan, “Maaf tapi saya rasa, saya mempercayai rekan-rekan baru saya itu meskipun baru kenal dan bekerja bersama selama beberapa bulan, tepatnya sejak kami dipertemukan dalam training untuk projek penelitian ini.” Aku mencoba berhati-hati dengan setiap kata-kataku dan berusaha mati-matian untuk jadi senetral mungkin dan tidak mau menimbulkan duga dan sangka yang macam-macam, aku ingin tetap jadi rata-rata air.
Aku kembali melanjutkan bicaraku, seluruh orang yang ada di ruangan ini terlihat menunggunya, “Aku satu kamar dengan ahli forensik yang tidak terlalu tertarik dengan kajian sejarah dan arkeologi semacam ini, namun ia adalah seorang forensik yang handal. Di kopernya ada beberapa buku tentang fosil dan semacamnya yang menandakan ia fokus dengan tugas dan tidak memikirkan hal lain di luar pekerjaannya. Ia juga kadang tidak ikut forum diskusi jika tidak diwajibkan untuknya karena ia antusias dengan bidangnya sendiri.” Saat aku bicara ini, Eoni benar-benar memperhatikanku sampai aku gugup.
“Untuk dua kawan lain yang berada di kamar sebelah, mereka adalah orang yang loyal. Sejauh yang aku ketahui, keduanya sama-sama pintar dan paham betul dengan apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi. Kami sering melakukan diskusi-diskusi tentang penelitian ini yang dapat dibilang projek resmi pertama kami. Keduanya sama-sama terbuka dan solutif jika membahas mengenai sesuatu. Tapi dari sekian banyak diskusi kami yang panjang, aku belum pernah membahas mengenai harta atau nyawa candi di dalam situs ekskavasi ini. Terus terang aku pribadi pun tidak berfikir sampai ke sana. Diskusi kami juga tidak melulu membahas mengenai sejarah dan projek saja, sesekali kami juga bicara tentang makanan, film, lagu, tipe perempuan yang kami suka dan lain masih banyak lagi.” Kali ini aku sempat melirik Eoni sebentar.
Aku juga menyebutkan pandangan pribadiku tentang rekan lain yang perempuan.
“Tapi aku sedikit menaruh curiga dengan kawanmu yang berbadan tinggi, berhidung mancung dan selalu memakai smartwatch itu, ia sangat cakap dan terlihat paling cerdas di antara kalian, ia juga sangat pendiam. Waktu test masuk ke projek ini, hasil ujian miliknya mendapat nilai yang paling tinggi, bahkan sepanjang aku jadi tim penyeleksi baru kali ini ada peserta yang mendapat nilai sempurna.” Yang Pak Jayadi maksud adalah Sabang, “Ia juga terlihat santai dan sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya, aku tak pernah berinteraksi dengannya secara langsung, hanya sekedar saling mengangguk jika bertemu. Itu aneh sekali, sebagai anak baru seharusnya ia lebih bisa menghormatiku dan para kawan sesama arkeolog lain yang sudah lebih dulu terjun dibanding dia.”
“Maaf tapi itu sangat subjektif, Pak Jayadi. Mungkin anda belum cukup dekat dan mengenalnya sehingga bapak berkata demikian.” Aku mulai terbawa suasana.
“Tapi ada benarnya dari perkataan Pak Jayadi tadi,” Mas Aji menatapku, “Ia terlalu diam dan tertutup. Saat diskusi ia juga seperti tidak tertarik, padahal saat ditanya ia ternyata tahu banyak hal.”
“Aku tidak bisa menolak atau membenarkan dugaan mas, bapak dan ibu di sini. Aku hanya memberikan gambaran sesuai dengan permintaan Pak Wicak padaku di awal yaitu untuk menceritakan sedikit tentang beberapa kawan di tim ekskavasi ini. Dan itu lah yang aku tahu dan yang aku bisa ceritakan. Aku tidak bisa mengatakan hal yang sifatnya baru hipotesis apalagi menyangkut nama baik seseorang untuk menyimpulkan sesuatu terlebih dalam hal krusial seperti ini, namun yang membuat aku yakin jika kawan-kawanku itu adalah orang yang tidak terlibat sebagai pelaku adalah karena mereka ikut terluka, sedih dan susah payah waktu tahu kabar situs rusak dan acara pengangkatan bolder. Kami ada di lapangan untuk membantu, agaknya aneh jika ia membetulkan sesuatu yang telah sengaja ia rusak.”
“Aku setuju dengan Nadif,” Bu Nada membelaku, “Kita tidak bisa mencurigai satu dua orang tanpa bukti dan dasar-dasar yang jelas untuk hal se-urgent ini. Bisa berurusan dengan hukum.”
“Iya benar, lagi pula sebelum menebak-nebak dan menuduh orang lain, mungkin ada perlunya kita melihat diri sendiri dulu. Jangan-jangan salah satu bagian dari forum inilah orang yang sebenarnya kita cari. Jangan dulu merambah kemana-mana hingga mengira yang jauh-jauh.” Bu Dhena mengeluarkan unek-uneknya yang mungkin selama ini sudah dipikirkan olehnya.
Pak Jayadi tidak terima dengan perkataan Bu Dhena barusan, yang lain juga sepertinya sama. Tapi semua yang mereka ucapkan sifatnya hanya duga-menduga tanpa ada kejelasan dan bukti nyatanya.
Debat kusir itu berlangsung hingga tengah malam. Dan aku jujur sudah lelah sekali mendengar lempar tangkap pendapat semacam ini, aku habis berlarian di tengah hutan dan saat pulang bukannya beristirahan malah gentian pikiranku yang dipaksa untuk berlari-lari tanpa tahu kapan sampainya.
Eoni sempat menepuk punggungku beberapa kali dan terlihat mencemaskanku saat aku berbicara, meskipun dalam obrolan sebelumnya, kami membicarakan hal dengan topik yang sama, dan ia pun mencurigai Sabang juga.
Tapi kali ini ia terlihat tidak mengeluarkan pendapatnya se-terus terang tadi saat bicara bersamaku. Ia seperti melindungi Sabang meskipun ia juga menaruh dugaan yang sama padanya.