Anehnya malam itu diskusi dilakukan bukan di rumah Pak Kadus seperti biasa, namun di basecamp putri, dan di sana hanya ada Pak Wicak, Mas Aji, Pak Wijaya, Bu Dhena, Bu Nada, Pak Subhan, Eoni dan beberapa arkeolog senior lain. Tidak seperti diskusi biasanya, yang isi forumnya adalah semua anggota tim dan juga relawan ekskavasi yang paham studi kasus.
Tanda tanya di kepalaku semakin besar karena hanya aku dan Eoni yang diikutkan dalam diskusi tertutup ini, maksudku mengapa yang lain tidak diajak, seperti Sabang atau Gembi, atau rekan sesama arkeolog walaupun masih junior, sama sepertiku.
“Aku terus terang tidak mengerti, mengapa hal ini terjadi pada penelitian kali ini. Tak ada bencana, tak ada huru-hara, tapi situs kita porak poranda.” Pak Wicak membuka kata.
Aku masih menerka-nerka kemana arah pembicaraan malan ini, aku tak ingin terlalu terbawa suasana hingga kehilangan diri sendiri.
Aku pun menebak-nebak, mengapa Eoni yang bukan seorang arkeolog ikut serta kemari? Apa mungkin dia mengetahui sesuatu? Atau mungkin ia diajak karena ia cukup tahu dan mungkin lebih banyak tahu mengenai situs ini dari pada aku? maklum, karena Eoni sudah terjun lebih dulu, tepatnya sejak tahun lalu di ekskavasi yang pertama.
Ya, mungkin karena itu.
Eoni mengambil duduk disebelahku, jika saja keadaan lebih baik, hal itu jelas membuat dadaku mengembang bukan main, tapi sayangnya kami kemari bukan untuk bersenang-senang.
“Aku sedikit menaruh curiga dengan salah satu rekan satu tim kita.” Jelas Pak Wicak.
Otakku segera mengeluh, sepertinya aku mengerti mengapa aku ada di sini.
“Kita tahu, penjarahan mengenai barang peninggalan purbakala bukan satu dua kali saja terjadi, tapi masyarakat luas belum banyak yang tahu atau peduli. Belum lagi pasar-pasar gelap yang memperjual-belikan barang semacam ini sangat menggiurkan. Masyarakat yang menemukan benda-benda sejenis secara tidak sengaja juga tidak mau melaporkannya kepada pihak yang berhak karena alasan pribadi dan lain sebagainya. Hal ini tentu sangat memprihatinkan dan semakin mempersulit pekerjaan kita-kita ini. Belum lagi kenyataan bahwa banyak barang sejarah kita yang banyak dibawa oleh bangsa asing saat penjajahan dulu.” Pak Wicak menghentikan bicaranya, seolah ia memang lelah dengan kata-katanya sendiri.
Aku paham betul, Pak Wicak sudah terjun ke bidang ini selama 26 tahun, tentu sudah banyak asam garam yang ia lalui.
“Dan kita kembali direpotkan oleh permasalahan pelik semacam ini. Hari ini bolder terakhir sudah berhasil diangkat dari lubang galian yang menimpa candi, tapi beberapa masih ada yang tersisa di bagian tengah tubuhnya, ada lubang besar di sana dan jika diangkat begitu saja ditakutkan akan merusak struktur bagunan candi yang pada dasarnya sudah hilang atapnya. Asumsiku, aksi penimbunan kemarin itu pasti ada tujuannya, tidak mungkin pelaku seniat itu memindahkan batu-batu besar dar tempat lain ke dalam situs galian hanya sekedar iseng-iseng saja. Pasti ada tujuan besar yang mereka sedang jalankan. Kemungkinan… kemungkinan mereka mengincar sesuatu yang berharga dan satu-satunya. Benda itu adalah intan berlian yang ada di dalam tubuh candi…”
“Tunggu, tapi dari mana mereka tahu? Maksudku pelaku penjarahan bagaimana bisa tahu? Ini situs baru, dan belum lama ditemukan. Kabar di kalangan sesama arkeolog pun belum semua dengar, bagaimana orang luar seperti mafia atau gembong penjarah bisa tahu dan bahkan mengerti tentang harta candi?” Mas Aji memotong kalimat Pak Wicak yang belum selesai.
Perlahan aku juga memikirkan hal yang sama, aku saja tidak tahu kalau di dalam candi itu ada hartanya.
“Sebentar, biar aku menyelesaikan kalimatku,” Pak Wicak seperti sudah biasa dengan sanggahan tiba-tiba seperti ini, “Sebuah candi baru yang masih belum tersentuh pemugaran selalu misterius, mulai dari siapa pendirinya, untuk apa tujuan dibuatnya dan pernah ada kejadian apa sehingga ia bisa hilang dari muka bumi, terpendam. Tidak semuanya, tapi beberapa candi memang memiliki ‘isian’ berupa harta benda untuk menghidupkan candi di masa lalu. Pembuatnya memasukkan tujuan tertentu ke dalam tubuh si candi itu. Seperti nyawa baginya. Artinya jika harta benda yang masih terpendam kemudian diambil, maka hilanglah nyawa candi dan matilah sudah.”