Beberapa hari kemudian, David mengantar mamihnya mengunjungi grandma di panti werdha. Tiada lagi kesalahpahaman, yang ada hanya percakapan layaknya antara mertua dengan menantu. Selama grandma ada di Jakarta, Rosyidah janji akan sering menjenguknya, kalau dia tak sempat maka David yang akan datang.
Buat David, kunjungan ke panti werdha itu sudah jadi rutinitas, mengunjungi grandma, sekalian mengunjungi Coach Pieters. Anak-anak Marunda United sudah terlanjur sayang sama Coach Pieters, seperti sama engkong sendiri. Mereka kerap datang menjenguk, dan menemani Coach Pieters jalan-jalan. Apalagi Coach Pieters masih tercatat sebagai pelatih kepala Marunda United.
Yang rutin menjenguk setiap hari Minggu pagi adalah Christiano, sekalian mengajak Coach Pieters ke gereja. Vicky juga selalu datang setiap Minggu pagi, mengajak grandma-nya ke gereja. Mereka pergi bersama. Setelah dari gereja, mereka mengantarkan kedua orang tua kembali ke panti werdha. Kemudian, biasanya Vicky ikut Christiano pergi ke sebuah kafe bernuansa Batavia tempo doeloe di kawasan kota tua. Di situ, Christiano biasa main band dengan grup keroncong papanya.
David juga terkadang jalan-jalan bersama Vicky, di hari Minggu. Paling sering jalan-jalan ke Museum Fatahillah. Di halaman museum itu selalu ramai oleh pengunjung. Terkadang ada pertunjukkan kabaret yang mengisahkan tentang kehidupan Batavia masa lalu. Yang paling asyik adalah menyewa sepeda, dan berkeliling kawasan sekitar museum itu dengan mengayuh sepeda. Jika Christiano ikut, Vicky lebih suka dibonceng sepeda oleh Chris.
David berusaha ikhlas melihat kedekatan Vicky dengan Christiano, melihat mereka makan ketoprak sepiring berdua, minum es cendol segelas berdua. Bahkan tak jarang, David melihat Vicky menyandarkan kepalanya ke punggung Christiano, kalau lagi boncengan sepeda keliling Museum Fatahillah. Oalah! David masih merasakan cemburu, saat Vicky lebih memilih diantar sama Christiano untuk ke dokter gigi, membuka kawat giginya.
David berusaha memikirkan Vicky sebagai seorang adik. Cuma adik, yang patut dikasihani dan diperhatikan. Vicky sudah sangat terpuruk oleh kematian tragis kedua orang tua berikut kedua adiknya. Selama ini Vicky berusaha menahan kesedihannya di hadapan grandma, supaya grandma tidak banyak pikiran. Sekarang ini, tampaknya Vicky merasa terhibur hatinya dengan mendengarkan musik jadul, apalagi kalau Christiano yang nyanyi. Jadi sudahlah, tak ada lagi rasa cemburu. Lagipula, kedekatan mereka untuk saat ini, memang cuma sebatas teman, belum lebih dari teman.
Bulan-bulan berlalu. Vicky akhirnya lulus dari high school, dan akan segera pulang ke Amerika, karena dia akan kuliah di sana. Dengan mobil rental, David mengantar Vicky dan grandma ke bandara. Christiano dan Udin turut mengantar.
“Chris, thank’s to your attention for me, and your beautiful song in valentine’s day.” tutur Vicky.
Christiano mesem-mesem, kagak ngarti apa yang diomongkan Vicky. Akhirnya dia menjawab asbun, “Yes I do, thank you very much.”
“What did you say?” tanya grandma, heran. Vicky hanya tersenyum geli.
“Chris, nanti kamu kursus English Conversation ya?” pinta Vicky.
“Yes I do.”
“Apanya yang yes I do?” tanya Udin sambil nyengir.
“Gue mau kursus Bahasa Inggris. Siapa tau, entar gue punya kesempatan ke Amrik.” jawab Christiano, lantas dia beralih lagi pada Vicky, “Kamu masih mau temenan sama aku, kan? Biarpun nanti kamu udah kuliah di Amerika.”
“Ye I do.” jawab Vicky sambil tersenyum lebar, lalu dia menutup mulutnya, “Aku malah kelihatan jelek tanpa kawat gigi?”
“Ye I do.” jawab Christiano.
Vicky cemberut, “Kamu juga jelek! Norak! Jadul! Rese!” Vicky meninju bahu Christiano. Sementara Christiano malah tertawa-tawa.
David memeluk grandma, dan grandma mencium David dengan rasa sayang. Lalu David memeluk bahu Vicky, rasanya seperti memeluk seorang adik. Ini bukanlah perpisahan. Jarak yang terbentang bisa dijembatani dengan komunikasi lewat internet. Akhirnya Vicky dan grandma-nya naik pesawat.
David dan kedua temannya keluar dari bandara. Mereka kembali naik mobil rental yang sebelumnya dipakai mengantar grandma ke bandara. Tanpa rasa khawatir tak bisa bayar ongkos. Sekarang ada cukup uang di dompet David.
David tak pernah mengira, saat ini banyak pilihan buat masa depannya. Padahal beberapa bulan lalu, dirinya begitu pesimis akan masa depan. Sekarang dia bisa merancang di mana akan kuliah, apakah di Indonesia atau di Amerika, grandma mau ngasih biaya. Dulu kuliah tak pernah ada dalam angannya, mengingat mamihnya tak akan sanggup membiayai.
Selain kuliah, masih ada pilihan lain, jadi pemain sepak bola. Tim Persija mengajak para pemain Marunda United yang nota bene anak-anak asli Jakarta Utara, untuk ikut seleksi pembentukan Tim Persija Junior. Bagi pemain yang direkrut masuk tim Persija, akan ada salary. David bersyukur pada Tuhan. Hidup memang tak bisa ditebak ke mana arahnya. Asal jangan putus asa, selalu ada jalan keluar yang bakal diberikan oleh Tuhan.
Udin bicara, “Kalau suatu saat lo pengin sekolah di Amerika, jangan khawatir soal Mamih Rosyidah, gue bakal ngebantuin mamih, selama mamih tinggal di Marunda.”
“Bro, lo kagak pengin pergi dari Marunda?” tanya David.
“Marunda tempat gue lahir, tempat kuburan babe dan enyak. Gue mau di Marunda aja. Kalau entar gue jadi main buat Persija, mungkin gue pindah ke asrama Persija. Kalau gue sudah main di klub, mungkin nanti ada panggilan dari timnas. Amin.” Udin tertawa. “Tapi jika semua itu kagak terwujud ... ya kagak apa-apa. Gue kagak bakal setres. Masih banyak jalan untuk ngelanjutin hidup. Gue bantuin Babe Kodier di toko material bangunan, sambil nunggu jodoh.”
“Nunggu dijodohin dengan anaknya Babe Kodier.” Christiano nimbrung.
“Ya siapa tau, suatu saat Babe Kodier kepikiran untuk ambil gue jadi mantu. Anak-anak perempuan Babe Kodier kan, shalehah. Wajar dong kalau gue berharap salah satunya jadi permaisuri hatiku, he he he.”
David bertanya, “Gimana kalau lo kagak diminati jadi mantu Babe Kodier?”
“Ya kagak apa-apa, gue kagak bakalan setres ... paling juga gue nangis Bombay.” jawab Udin sembari pura-pura terisak. Kedua rekannya tertawa-tawa.
“Nah, lo sendiri gimana Chris? Kalau Persija merekrut lo, mau masuk tim itu? Atau masih berat sama boysband punya papa lo?” tanya David.
Christiano tertawa mendengar grup keroncong papanya dibilang boysband. Grup itu memang laki-laki semua, sudah tua-tua.
Christiano menjawab, “Kalau ada kesempatan masuk tim sepak bola, apakah itu Persija, atau tim lainnya, gue siap. Kayaknya sih, untuk saat ini, peluang gue bisa dapat uang banyak, ya dari sepak bola. Gaji pemain sepak bola zaman sekarang kan, lumayan.”
“Boysband gimana dong?” tanya David.
“Kalau soal boysband, itu sudah jadi tradisi keluarga gue, ciri khas Kampung Tugu. Nggak bakalan gue tinggalin itu boysband, ngebentuknya susah, bow! Mau cari personelnya, gimana caranya? Kagak ada yang mau ikutan audisi buat boysband Kampung Tugu. Anak zaman now, mana ada yang hapal lagu keroncong? Mereka lebih hapal K-Pop.”
David dan Udin tertawa, bukan tawa meledek, melainkan tanda salut pada Christiano yang multi talenta, tidak pernah melepas identitas sebagai anak Kampung Tugu. Sejadul apapun musik keroncong Tugu, seminim apapun peluang musik keroncong bisa tampil di muka publik, sesedikit apapun materi yang dihasilkan dari musik keroncong, kayaknya Christiano bakal jalan terus dengan boysbandnya itu.
Christiano turun di Kampung Tugu. Mobil rental terus melaju menuju Marunda. Membawa dua sahabat, David Bastion dan Udin Djeko, yang selalu merasa bahagia walau dalam kekurangan dan kesulitan hidup. Kini, mereka berdua optimis menatap masa depan. (TAMAT)