Paul berujar, “Yah, begitulah David, susah sekali menemukan kamu. Ditambah lagi Ibu Rozida terus saja bicara bohong, dia bilang kalau anaknya sudah mati.”
“Iya Mister Arnold ... Eh, Mister Paul, maapin mamih saya.”
“Justru Vicky yang akhirnya menemukan kamu.”
Vicky tersenyum mendengar ucapan Paul. “Selama ini aku mencari kamu, David. Setiap kenal dengan orang yang bernama David, aku pandangi terus, karena siapa tahu orang itu adalah David my cousin. Tapi sampai menjelang akhir study di Jakarta, aku gak temukan my cousin. Suddenly, kita ketemu di panti werdha.”
David hanya memandangi Vicky.
Paul bicara lagi, “Saya sudah pernah bilang pada Vicky, mungkin saja David itu sudah tidak ada, seperti kata Ibu Rozida, bahwa anaknya sudah mati. Tapi Vicky tidak percaya kalau sepupunya sudah mati. Dia bilang pernah bertemu dengan seorang siswa pakai seragam SMK bernama David, berwajah Indo Eropa. Hanya saja Vicky masih ragu. Terus kalian bilang mau ikut turnamen sepak bola. Jadi Vicky datang ke lapangan pertandingan untuk menonton sepak bola.”
Vicky bicara lagi, “Aku ikut cheerleader untuk bisa melihat tim-tim sepak bola yang bertanding. Finally, I found you.”
“Pencarian yang sulit, ya kan Vicky?” Paul tersenyum.
David menjawab, “Maafkan mamih saya. Mamih bilang saya sudah mati, karena takut saya dibawa pergi ke Amerika.”
“Tidak begitu David.” tukas Paul, “Grandma Smith hanya ingin ketemu kamu, ingin memastikan bahwa cucu laki-lakinya masih ada, dan bisa hidup secara layak. Dia ingin membantu biaya sekolah kamu. Dia tentu senang kalau kamu mau sekolah di Amerika, dan tinggal bersamanya di sana. Tapi kalau kamu lebih suka di sini, dia harap kamu mau menemui dia sebelum dia pulang ke Amerika. Dia harap antara dirinya dan kamu tidak kehilangan kontak lagi, tetap berhubungan. Dia ingin kasih kamu uang buat biaya sekolah kamu, buat masa depan kamu. Karena kamu punya hak menerima materi dari Grandma Smith.”
“Bukankah Vicky juga berhak atas warisan dari neneknya?” tanya David,
Vicky menjawab, “Don’t worry about me. Aku sudah punya bagian, from my parent. Grandma sangat penting buat aku. Dia sudah tua, dia hanya ingin ketemu grandson. Aku ingin grandma merasa senang.”
“Baiklah, aku juga pengin ketemu nenek ... grandma. Biarpun sebelumnya sudah pernah ketemu, di panti werdha, waktu jemput Coach Pieters.” ujar David.
***
Pertemuan itu sangat mengharukan. Grandma yang sudah tiga tahun tinggal di panti werdha, sudah bisa sedikit-sedikit berbahasa Indonesia. Grandma Smith melihat kemiripan yang sangat banyak antara David dengan Greg. David tak mengira sebesar itu tekad grandma untuk menemukan cucunya. Sampai-sampai grandma rela tinggal di panti, di negara yang sebelumnya tak pernah dia datangi.
Andai saja dulu mamih Rosyidah tidak salah paham akan maksud baik keluarga Smith, tentu mamih tak perlu berpindah-pindah tempat untuk menghindari utusan dari keluarga Smith. Mungkin sudah sejak dulu David bisa bertemu grandma dan grandpa. Bahkan saat itu pamannya, yaitu Samuel, masih hidup. Namun waktu tak bisa diputar ulang.
David kembali ke Marunda, di pasar tak ada lagi mamihnya. Kata Mpok Siti, mamih sudah pulang. David menuju rumahnya, menemukan mamihnya sedang duduk di depan TV yang menyala, namun tatapannya menerawang, tampak begitu sedih.
“David, sudah ketemu dengan nenekmu?” tanya mamih.
“Iya Mih.”
“Kamu setuju, mau sekolah di Amerika?”
“Tanggung Mih, David sudah kelas dua SMK, sebentar lagi selesai.”
Rosyidah menyeka air matanya, lalu dia bicara, “Maapin mamih selama ini sudah bohong, sampai kamu kagak bisa mengenal keluarga papih kamu. Padahal mereka mau ngasih biaya buat kamu. Tapi mamih terlalu takut kehilangan kamu. Sampai-sampai mamih membawa kamu hidup keblangsak kayak gini. Padahal kamu bisa dapat hidup yang lebih baik kalau dulu mamih serahkan kamu ke nenekmu.”
“David bahagia kok, hidup dengan Mamih. David merasa hidup lebih barokah, kalau bisa menemani Mamih.” Air mata David menetes.
“Kasihan kamu David, gara-gara mamih egois, mamih sudah menutup peluang kamu untuk hidup lebih layak dan bisa sekolah di tempat yang lebih bagus.”
“Sekolah di SMK Marunda juga bagus.” David menyeka matanya, dia tidak mau menangis lagi. Dia ingin memperlihatkan pada mamihnya, bahwa tak masalah bagi dirinya tinggal di kampung Betawi, di rumah kontrakan, harus bantuin mamihnya jualan gorengan demi bisa bertahan hidup. Semua itu ikhlas dilakoninya, asal mamihnya bahagia. David tidak ingin mamihnya merasa bersalah atas semua itu.
David mengambil kantong plastik dari ranselnya, diberikan pada mamihnya. Rosyidah melihat isinya, lalu dia menatap David dengan heran.
“David, kamu beli kosmetik? Kamu sekarang mau dandan? Ketularan Maryadi?”
“Itu kosmetik buat Mamih. David beli dari uang hadiah turnamen sepak bola. Kebetulan dikasih hadiah uang pembinaan sebesar 30 juta sama PSSI DKI Jakarta. Sama Bang Toyib sebagian dibagikan untuk semua pemain, ada bagian untuk Bang Toyib dan Coach Pieters juga. Sisanya masuk kas sebagai dana cadangan buat Marunda United. David kebagian sejuta, yang lain juga dapat segitu. Terus David belikan kosmetik itu. Tapi sisa uang punya David masih banyak kok Mih. Bisa buat beli baju, tas dan selop, buat Mamih kondangan.”
“Kok uangnya dikasih ke mamih semua? Kamu juga butuh kan?”
“David sudah dikasih uang sama grandma, nanti mau dibelikan baju, sepatu sama ransel. Biarlah uang hadiah sepak bola itu buat Mamih, supaya David merasa bangga dikit, bisa ngasi hasil jerih payah ke Mamih.”
Rosyidah terharu sekali dengan perhatian anaknya. Dilihatnya kosmetik yang masih terbungkus. “Ya ampun David, kamu beli pemutih wajah, pelembab, masker, bedak, lipstik. Gimana kamu tahu yang kayak begini?”
“Nitip beli sama Maryadi, dia lebih tahu urusan kosmetik. Katanya itu kagak mengandung mercury, aman buat kulit, dan dijamin bisa membersihkan bintik-bintik hitam. Supaya Mamih bisa cantik lagi kayak dulu.”
“David, kalau mamih dandan, entar disangka mau cari laki-laki ....”
“Kata Maryadi, wanita berdandan itu tidak selalu untuk memikat laki-laki. Tapi dandan itu untuk kerapihan, kenyamanan, dan rasa percaya diri. Maryadi tahu banyak urusan perempuan, karena banyak pelanggan salonnya yang suka curhat sama dia. Pelanggan salonnya kan, perempuan.”
“David, jangan main melulu sama Maryadi, entar kamu jadi kayak dia!”
“Eh, justru sekarang ini Maryadi sudah berangsur-angsur jadi cowok beneran. Mungkin pengaruh main bola saban hari, dan kita memperlakukan dia seperti memperlakukan cowok. Kalau teman-temannya yang di salon itu memperlakukan Maryadi seperti memperlakukan cewek, makanya Maryadi jadi ganjen. Tapi lama-lama ganjennya mulai hilang. Mungkin juga berkat nasehat dan doa enyak sama babenya. Maryadi juga lagi ngumpulin modal, katanya entar dia mau keluar kerja dari salon itu, dia mau buka usaha pangkas rambut, buat laki-laki.”
“Syukurlah.” Rosyidah menatap kosmetik yang dibelikan anaknya, terharu, karena begitu mendapat uang cukup banyak, David lebih memikirkan kebutuhan mamihnya daripada kebutuhannya sendiri.
David bicara agak ragu-ragu, “David juga ikhlas, kalau suatu saat Mamih mau punya suami lagi ....”
“Mamih pernah dengar kamu ngomong sama Udin, kamu bilang kagak sudi kalau mamih nikah lagi!”
“Kagak sudi kalau Mamih nikahnya sama Bang Aderoy yang rese itu! Tapi ... sekarang mah David ikhlas kok, kalau Mamih mau nikah lagi.”
“Benar nih, kamu ikhlas kalau ... mamih nikah sama Bang Aderoy?”
David terhenyak. Dilihatnya wajah mamihnya tampak sumringah.
“Benar Nak, kamu setuju mamih nikah sama Bang Aderoy?”
Oh ya ampun, plis deh Mamih, memangnya kagak ada laki yang lain? Kenapa memilih jagal pasar itu? David membatin dengan rasa kecewa. Namun mulutnya bicara lain.
“Mamih yakin mau sama Bang Aderoy? Dia itu kan ... kata orang mah, preman pasar.”
“Dulunya mungkin begitu. Tapi sekarang dia benar-benar bekerja menjaga keamanan dan ketertiban pasar. Bang Aderoy nggak semata-mata dapat penghasilan dari retribusi pasar, dia juga punya kios di pasar, jualan bahan makanan kering. Dulu kios itu ditungguin istrinya. Setelah istrinya meninggal, sekarang kios itu dijagain sama adiknya.”
“Tapi Mih ... siapa tahu kan, ada laki-laki lain yang mau sama mamih. Laki-laki yang punya pekerjaan lebih baik, misalnya kerja kantoran gitu. Apakah Mamih kagak mau punya suami yang kerja kantoran?”
Rosyidah menatap anaknya. “Dulu juga papi kamu ngakunya kerja kantoran. Kelihatanya kayak yang kerja kantoran. Saban hari dia pergi kerja pakai kemeja dan celana panjang, dia pergi pagi pulang sore. Kalau pulang malam katanya lembur. Nyatanya ... ah, mamih nggak mau mengungkit lagi masa lalu. Mamih pengin nikah sama laki-laki yang kerjaan aslinya jelas kelihatan sama mamih. Walaupun misalnya ... kerjanya hanya jualan cilok di depan SD Marunda, tapi memang jelas itu kerjanya, dia dapat duit dari kerjaan itu.”
“Tapi ... kalau suami Mamih duitnya kurang ... nanti Mamih tetap kudu jualan gorengan, gimana? Masak sih, Mamih sudah punya laki, masih tetap jualan dari pagi sampai sore? David kan, nggak rela Mih.”
“Kalaupun mamih kudu tetap jualan gorengan, itu masih lebih baik. Kamu bisa mengerti kan, Nak, bagaimana rasanya ... saat mamih didatangi polisi, diberitahu bahwa ... pabrik tempat kerja papi dikepung polisi, semua yang ada di pabrik itu ditembak mati!” Air mata Rosyidah menetes. Lekas David menyekanya pakai jari-jari tangannya.
Rosyidah lanjut bicara. “Dulu mamih sama sekali nggak tahu, nggak mau tahu apa kerja papimu, yang penting dia pulang bawa duit banyak. Tapi sekarang mamih nggak bisa bersikap seperti itu. Biarlah mamih dapat suami yang duitnya nggak banyak, yang penting halal. Dan mamih tahu apa yang dia kerjakan saban hari. Duit mah bisa dicari bareng-bareng.”
David menundukkan wajah sembari manggut-manggut. Sekarang dia bisa memahami, ibunya hanya ingin ketenangan batin jika kelak berumah tangga lagi.
“Iya Mih ... David bahagia kalau Mamih berumah tangga lagi. Mamih masih muda, umur Mamih baru juga 35 tahun. Insya Allah, Mamih masih bisa punya anak lagi. Berarti David punya adik, punya saudara kandung. David nggak sendirian lagi.”
Rosyidah mencium kepala anaknya dengan bahagia.