“Ayo semuaa, udah jam enam!” Setelah seruan itu terdengar, semua anak kompak berdiri dan berlalu. Berhamburan entah ke mana. Menyisakan Lana dan Irena yang saling tutup mulut. Keduanya berlagak menyibukkan diri: Irena menidurkan hulu atas meja; sedang Lana membatu pada bangku, memandanginya.
Apa saat minta maaf yang tepat itu ... sekarang?
Dengan sekelumit bimbang, Lana bangun dari duduknya. Mendatangi gadis yang tengah menguap kecil tersebut. Mendengar langkah kaki lirih dari sepatu Lana, gadis tadi lekas mengangkat kepalanya. Berbalik dan menoleh tajam.
“Ren, gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue bener-bener gak tahu lo suka sama dia!” Lana cepat-cepat menggigit bibirnya. Mengumpat dalam hati karena ucapannya barusan sangat ambigu dan membuatnya seolah benar-benar punya hubungan dengan Varen.
“Trus kalau sebenernya gue gak suka sama siapapun, lo tetep sama Varen?” Irena terkekeh sinis, “Lo mikir gak, sih? Candra tuh nunggu lo buka hati buat dia! Kenapa lo gak pernah hargai keberadaan dia?!” sentak Irena gusar.
“Astaga, enggak. Gue gak suka sama Varen,” sangkal Lana cepat.
“Kalau gitu ... kenapa lo jelek-jelekin gue di depan Iris?!
" Kontan Lana melotot. "IYA! Gue tahu kalau dia musuh gue dari SMP. Gue juga tahu kalian lumayan deket waktu SMP. Tapi ... salah gue apa, Lan, sampe lo jadi gini?! Lo ungkap semua aib gue! Semua masalah keluarga gue!”
“Jelek-jelekin?!” Lana jelas menggeleng kuat, “gue gak pernah, Ren!”
“Oh ya?” Irena tersenyum getir, mengusap lelehan air matanya. “Terus ini apa?” Irena menyodorkan ponselnya ke arah Lana, membuat wanodya itu memicingkan matanya segera. Menatap 'bukti' screenshoot percakapan Iris dengannya. Meski nomor tersebut memasang foto profilnya, meski di sana nama Lana tercetak jelas—Lana jelas tahu itu bukan dirinya.
“Lo ... lebih percaya sama Iris dibanding gue?” cicit Lana. Pupilnya bergetar samar, senantiasa memandangi Irena yang beringsut bangkit dari kursinya. Dara tersebut berpijak tepat di muka Lana, membalas tatapan itu tanpa keraguan.
Sorotan mata Irena penuh ... kebencian.
“Dia jahat sama gue. Tapi dia gak pernah ambil orang tersayang gue!” tekan Irena tajam.
“Gue harus gimana biar lo percaya sama gue?! Gue gak suka Varen! Gue juga gak ungkap aib lo ke Iris!” Lana ikut menekankan ucapannya.
“Bohong! Bohong aja terus, Lan! BOHONGIN GUE SAMPE LO BERHASIL HANCURIN GUE NANTI!”
Lana menggeleng, berupaya tetap sabar dan memejamkan netranya erat-erat. “Apa pun itu gue minta maaf.”
Gelak hambar Irena pecah seketika, menertawakan Lana yang masih berdiri tegap menghadapnya. “Karena gue selalu maafin lo, bukan berarti gue pemaaf, Lan. Gue udah tahu seluruh kebusukan lo ... dan gue minta lo jangan pernah temuin gue lagi!”
Lana kembali menggeleng, dua tangannya menahan raga Irena yang akan berlalu, “Gue—“ Irena buru-buru menghempas lengan Lana sampai gadis bersurai cokelat itu terjerembap pada permukaan lantai.
“Gue gak pernah mikir sekalipun: kalau kita bakal putusin persahabatan cuma karna keegoisan diri lo sendiri, Lan.” Lana merintih samar. Keramik abu-abu itu menghantam seliranya dengan keras. Namun, meski ia campakkan dan terus dicaci, Lana tetap belum ingin menyerah.
“Dan juga, lebih baik lo lepasin Varen. Lo bakal bawa pengaruh buruk ke dia, kalaupun dia beneran suka sama lo,” imbuh Irena sebelum sungguh berlalu.
Seperti kesetanan, Lana kembali bangkit berdiri. Menyusul Irena ke luar kelas, bahkan turut menuruni anak tangga menuju lantai terdasar.
“Ren! Iris bukan orang yang bisa dipercaya! Coba lo renungkan lagi baik-ba—akh!” Lagi-lagi Irena mendorong tubuh Lana yang terus menarik lengannya, yang mencoba membuatnya mengerti. Tenaga yang lebih besar itu sukses membanting tubuh Lana kedua kali dengan rampus.
Sialnya, gadis bersurai pendek itu tak mendarat dengan baik. Hulu bagian belakangnya terbentur pinggiran tangga, membuahkan luka benturan. Tidak seperti sebelumnya, Lana tak lagi membayangi Irena.
Menyadari kejanggalan itu, spontan Irena memutar tubuhnya—mengabaikan gengsinya sejenak. Arkian, ketika mendapati kondisi memilukan itu, netranya mendelik sempurna. Rasa bersalah serta-merta memeluknya erat. Kendati dirinya tengah membenci wanodya itu; jauh dalam sanubari, ia masih amat-sangat menyayangi Lana. Menyaksikan Lana yang terluka memperdalam rasa nestapa dalam relung hatinya.
“Lana!” Sesosok laki-laki bergaya rambut undercut layered tersebut berlari. Menghampiri Lana yang menutup rapat kedua netra, melantas merintih pedih. “Gue minta maaf, gue telat Lan!” desis Candra prihatin.
“Bukan salah lo,” balas Lana dengan suara parau. Pening mulai memenuhi kepalanya yang ringkih, jadi ia sedikit kehilangan keseimbangan. Kala gadis itu meraba permukaan kepalanya dengan hati-hati, darah kental-lah yang kali pertama menyapanya.
“Ren, lo kenapa, sih?!” berang Candra tak terima.
Irena terperanjat. Bibir juga badannya bergetar kecil, “Gu-gue...”
Kedua lengan Candra merangkul dan membopong tubuh Lana, bermaksud melarikan Lana ke UKS yang syukurnya tak begitu jauh. Lantas sebelum sepenuhnya beranjak, pemuda itu mendesis tajam, “Lo egois Ren. Lo selalu lihat posisi lo tanpa mau mikirin posisi Lana.”
Jepretan demi jepretan terdengar dari para Seksi Jurnalistik yang sembunyi di berbagai tempat. Entah semak-semak, belakang tempat sampah, atau juga dari balik pilar bangunan. Mereka mengabadikan momen barusan kemudian menulis keterangan yang sungguh berbalik dari realitas. Maklum, mereka sama sekali tidak menyimak apa yang diucapkan Candra, Lana, ataupun Irena.
Dan lagi, sejak awal niat mereka hanya ingin mengarang cerita agar beritanya 'meledak' dan mendapat perhatian dari Kepala Sekolah. Dan kiranya, mereka juga dalang yang membuat siasat mengosongkan seluruh kelas; menjadikan hampir seluruh murid sebagai saksi; mengadu Lana-Irena, kemudian memotretnya.
Tatkala Iris mendengar Lana terluka, gadis licik itu makin bersuka cita. Sampai kapan pun, ia tak akan berhenti sampai Lana dan Irena benar-benar hancur suatu ketika.
🌻
“Ris!”
Mendapati Varen yang tengah berlari mendatangi, Iris lekas melesat menghindari. Sayangnya, berhubung Varen ini lumayan unggul dalam perihal berlari, ia berhasil mendahului langkah Iris yang memaku di tempat dengan gentar.
“Lo ngapain lari? Rilex, gue bukan utusan Pak Bledek yang bakal nyita make up lo.”
Iris mengatur napasnya. Lebih memilih untuk terus memandang keramik putih di bawah kakinya banding menatap kedua netra Varen yang akan mengintimidasinya.
“Gue bisa buat penawaran untuk lo.”
“Maksud lo?!”
“Gue gak akan laporin lo mengenai masalah semalem. Tapi itu asal lo gak ganggu Lana juga Irena,” urai Varen pada kesepakatannya.
“Lah!? Untungnya bagi gue apa?”
Varen mencebik cepat, ingin mencubit ginjal gadis yang ada dalam cekalannya ini. “Lo tuh udah gue kasih kesempatan!” dengkusnya.
“G-gue gak yakin.”
Varen mengembuskan napas kasar-kasar, “Lo bisa janji gak ganggu Lana lagi?”
Iris berdiam diri, menggigiti ibu jarinya kuat-kuat. Kebiasaan ketika panik.
Tidak! Tidak mungkin dia akan berhenti saat sudah berada sejauh ini dalam perjalanan menghancurkan dua oknum paling menyebalkan versinya—Irena-Lana! Hanya orang bodoh yang memutuskan mundur begitu saja! Ini tinggal menunggu waktu tepatnya!
“Ehm ... eh, Ren! Mending lo kunjungin Lana, deh. Dia lagi sakit di UKS!” seru Iris. Berlagak memasang wajah khawatir dan panik di saat yang bersamaan. "Kepalanya berdarah banyak banget, tau!"
“UKS?” beo Varen.
Tanpa menimbang apa pun, lelaki itu buru-buru berlari dari koridor sekolah menuju UKS yang jaraknya tak bisa dikatakan dekat. Dia tentu mengkhawatirkan Lana kendati Iris sangat mungkin bisa mengada-ada. Setidaknya ia periksa dulu keadaan gadisnya.
'Gue datang, Lan,' batinnya.
🌻
“Udah, kak?” tanya Candra pada anggota PMR yang sedang sibuk membereskan kotak medisnya.
“Iya, udah. Tinggal—AKH YA TUHAN!” Anggota PMR itu mendelik. Tubuhnya bergetar tatkala menentang iras Candra yang terus menatapnya. Pemuda tersebut tengah menunggu kepastian dari seniornya yang harusnya bisa dipercaya.
“A-anu... U-u-udah k—“
“Gagap mulu! Udah minum obat belum?” potong gadis lain dengan headset yang tersampir di leher pendeknya.
“Sembarangan lo!” ketus Anggota PMR itu, memecahkan gelak gadis tadi yang berambut sependek daun telinganya.
“Udah lo boleh pergi. Gue bakal beli kain kasa lagi.”
Anggota PMR itu merengut, jelas ia tak suka. Padahal baru saja lima detik ia menikmati tatapan candu dari Candra yang masih memasang mimik datarnya. Ya, Candra lah penyebab anggota PMR sekaligus seniornya tadi begitu heboh dan histeris.
“SANA!”
Tanpa menolak, perempuan manis tadi beringsut pergi. Meninggalkan Candra dan perempuan tomboi tadi yang mendadak mengubah atmosfer di sekitar mereka menjadi satu rasa. Canggung.
“O-oh, kalau lo langsung temuin Lana aja.”
Candra mengangguk cepat, gegas mengegah dan menyibakkan tirai UKS yang membatasi pandangannya dari Lana yang terbaring. Melamun.
Lelaki itu menghela napas selega mungkin. Berasak terduduk di sebelah ranjang Lana yang masih tidak berkutik akan kehadirannya. Candra tak berniat menyapa gadis itu, inginnya hanya menjaga dan memastikan Lana baik-baik saja. Itu prioritasnya.
“Kemarin ....” Lana menjeda ucapannya, “kata Bunda, gue perempuan yang baik. Pasti banyak yang suka sama gue.” Candra mencondongkan tubuhnya ke depan, berupaya menajamkan rungu agar dapat mendengar suara Lana yang sangat lirih. “Tapi kenapa justru banyak yang benci gue, Can? Gue salah apaa?” cicitnya. Kembali berkaca-kaca.
“Lo gak perlu mikirin kata orang-orang bodoh.”
Lana memalingkan wajahnya di mana Candra terduduk dan juga menatapnya. “Gue gak mikirin itu.”
Candra menggeleng, “Tetep aja. Gak baik buat kesehatan lo. Sekarang tidur, ya?”
Lana menyengguk kecil. Merebahkan diri dan membiarkan Candra menyelimuti sebagian tubuhnya dengan telaten. Gadis itu sengap dan pandangannya kosong, membuatnya terlihat seperti sebuah boneka.
“Gue harus balik ke kelas. Tapi lo mesti tidur, ya?”
Lana kembali menyengguk. Namun, secepat mungkin lengannya menahan gerakan laki-laki itu. Cekalan itu tercipta lantaran satu hal yang terus mengganjal pikirannya, terutama setelah semua ini.
“Can ... lo kecewa, ya, sama gue?”
Candra menggeleng cepat,
“Enggak. Gue justru bangga sama lo yang berani minta maaf.”
“Gue—“ Lagi-lagi ucapan Lana harus terhenti akibat pintu UKS yang terbuka kasar secara mendadak. Kalakian muncullah Varen di hadapan mereka dengan napas terengah-engah dan netra yang jelalatan.
“Lan, lo nggak apa-apa, ‘kan?!” jeritnya panik. Varen menghampiri Lana dengan cepat. Panik itu bukan bualan semata. “Bener Irena yang ngelakuin ini?!” tanyanya lagi, masih sama terkejutnya.
“Kalau lo cuma mau nambah masalah, mending keluar!” usir Candra menginterupsi.