“Kalau lo cuma mau nambah masalah, mending keluar!"
“Apa bertanya bisa menyebabkan masalah?” sarkasme Varen seraya tersenyum simpul, berusaha sabar. “Alay lo!” maki Varen kemudian.
“Tolong keluar! Gue juga harus pergi!”
“Ck, ya kalau lo keluar, keluar aja. Gue masih mau di sini, kok!” ketus Varen tak terima.
Candra tak sudi membiarkan Varen berada di sini, khawatir akan mengusik kenyamanan Lana; Varen pun bersikeras untuk tetap berada di UKS. Keduanya sama saja. Mereka hanya takut—kehilangan Lana.
“HEH, HEH! Cukup! Bel masuk udah bunyi beberapa menit lalu!” lerai seorang dara yang baru saja tiba di sana. Dara yang menyampirkan headset di lehernya, bersurai pendek sedaun telinga. Dara itu bertubuh pendek, tetapi suaranya sungguh nyaring. Ia memandang dua insan itu—Varen serta Candra— dengan sinis.
“Sapa lo?!” Berbeda dengan Varen yang kontan bertanya, Candra hanya membisu dan memandangi sosoknya.
“Gue? Dienka,” balas Gadis itu.
“Siapa, siapa?” tanya Varen lagi.
Dienka mengembuskan napasnya kasar-kasar, “Di-en-ka!” ulangnya.
“Namanya freak,” maki Varen lirih.
“Eh, apa?! Baru ketemu udah ngatain freak! Sakit lo!” pekik Dienka dengan ain mendelik.
“Lah lo? Baru dateng teriak-teriak gak jelas. Emang lo kenal gue?” Varen terkekeh sesaat, “Oh, sorry gue lupa kalau gue popular,” ocehnya lagi.
“Tolong kecilin suara kalian, ya?" titah Lana yang merasa kian gayang kala mereka malah berdebat sendiri. Gadis cantik itu bertenggang untuk terduduk lantas menyandarkan punggungnya pada dinding UKS di belakang ranjang.
“Dienka, ya? Kenapa?” ucap Lana lagi.
Dienka yang membawa baki kecil dengan teh hangat di atasnya itu bergetar kecil ketika benar-benar bertatap mata dengan Callia Lana Galatea. Nyalinya menciut seketika.
“Dienka?” Lana mengerutkan glabelanya dalam-dalam, “Kenapa?” ulangnya jauh lebih lembut.
“H-hai, Lan!” Dienka maju mendekat, meletakkan gelas berisi teh manis itu di atas nakas hitam yang bertepatan pada sebelah ranjang yang kini Lana duduki.
“Lo siapa, sih? Lo yang aneh! Ngapain coba ke sini cuma buat ngomong, 'Hai, Lan!' Gaje!” ketus Varen dingin.
“Udah, udah. Kita keluar aja.” Candra buka suara.
“Ehm ... kalian aja, ya? Gue mesti bicara sama Lana. Penting, kok!”
Candra mengangguk. Lebih lagi dia paham selama apa pun berdebat dengan perempuan, tidak akan ada habisnya. Akhirnya pasti akan sama—Dienka yang menang, dan dialah yang harus mengalah. Yang terjadi setelahnya adalah lelaki itu menarik Varen nan masih mencomel dengan paksa, lebih-lebih sempat meronta lantaran bersikeras untuk tinggal. Namun tak butuh waktu lama, keduanya menghilang di balik pintu UKS yang memuat jendela mungil pada sisi atasnya.
Mengikuti perintah Lana, Dienka beralih terduduk di bangku tadi—bersamaan dengan pintu UKS yang sukses tertutup. Ruangan itu kembali menggelap, temaram sebab tiga lampu yang ada dibiarkan tak menyala.
“Oke ... lo mau bilang apa?” Lana membenarkan posisi duduknya. Menghargai apa pun itu yang akan dilontarkan Dienka, maka ia menghadap gadis itu sepenuhnya.
“Gue ....” Dienka berdecak singkat. Mematikan gawainya lantas menanggalkan headset yang terus-menerus mengalungi lehernya. Alat itu berhasil membuyarkan kefokusannya kausa alunan nada lirih yang bersumber dari sana.
“Huftt ... Dienka Anindita. Anak kelas XI IPS 3. Sekelas sama Iris. Lo pasti tahu dia siapa.” Lana mangut-mangut, masih fokus memandangi Dienka lurus-lurus. “Gue ... minta maaf karna gak bilang yang sejujurnya.”
Jelas kedua alis Lana bertaut temu.
“Sorry ... gue tahu apa yang terjadi sesungguhnya,” lirih Dienka dengan hulu yang menunduk dalam.
Mendengar itu, Lana segera mengganti posisi duduknya. Berasak menentang manik mata Dienka dengan intens. “Maksudnya?”
“Jadi ... gue denger obrolan kalian di rooftop—kalian bertiga; gue di rooftop waktu itu. Tapi, gue berlagak gak tahu karena gak nyangka masalahnya bakal sebesar ini. Dan waktu berita itu di publish ... gue ... gak jelasin ke 'netizen' sekolah akan apa yang terjadi sesungguhnya." Dienka mengumpat lirih. “Gue akui gue tak acuh, gue pengecut. Maka dari itu ... gue minta maaf.”
Lana menghela napas samar, memalingkan iras. Ia sangka, Dienka akan mengatakan bahwa dialah dalang perubahan sikap Irena secara drastis—atau mungkin hal lain. Namun rupanya, Dienka termasuk tokoh protagonis dalam hidupnya.
“Gue percaya sama lo, kok! Gue tahu ini semua rencana Iris! Gue juga ngerti sebusuk apa semua rencana dia. Udah tiga semester gue lalui untuk sekelas sama dia, jadi gue bener-bener paham,” racau Dienka. Berusaha meyakinkan gadis dengan ratusan stok kesabaran itu jikalau ia sungguh ada di sisi Lana.
Lana menyengguk kecil. “Gue tahu. Gue juga gak nyangka keadaannya bakal seserius ini.”
“G-gue mau, kok, jadi sahabat lo! Gue bersedia nemenin lo walau lo dibenci banyak orang sekarang.” Dienka mengumpat lirih. Dia menampar pipinya sendiri dengan keras, “Maaf, Lan. Bukan gitu maksud gue!”
“Nggak apa-apa. Emang kenyataannya sekarang gitu, ‘kan?” Lana tersenyum getir, mengimbuhkan rasa sesal dalam hati Dienka. Wanodya tomboi tersebut jadi merasa jika semua kecelakaan ini merupakan kesalahannya sebab sekala berdiam diri dan tak berani bersaksi.
Ia tahu pasti beragam perjuangan Lana untuk hidup di tengah-tengah orang yang mencintainya. Belajar tiap saat, mengejar nilai, mempertahankan beasiswa ... Intinya, Lana dapat terbilang berjuang mati-matian demi mendapat gelar 'Murid Unggulan Tercantik' di Glare High School ini. Rengsa, semua perjuangan gadis itu dilupakan begitu saja kausa gunjingan yang bahkan tidak akurat.
“Bicara soal sahabat ... gak perlu. Nanti lo malah ikut dirundung.”
“Oh? Makasih, tapi gak perlu khawatirin gue. Lagi pula apa pun risikonya, itu harus gue terima. Gue ambil andil cukup besar juga dalam kesalahpahaman ini.”
Lana tersenyum tulus, menganggut. “Terserah lo. Gue selalu seneng punya temen baru.”
“Eh, kepala lo gimana? Masih sakit?”
Lana meraba hulunya yang tertambal kain kasa, beberapa senti di atas telinga kanan. Sebenarnya ia sedikit khawatir luka itu akan membuatnya petak, entah sementara atau permanen. Semoga saja itu sebatas kekhawatirannya.
“Enggak, udah membaik banget. Makasih sebelumnya, ya?” Lana mengembangkan senyuman lain, kali ini jauh lebih manis dan mukhlis; pemicu senyum samar dari durja Dienka.
“Mau minum sesuatu, nggak? Lo mesti haus, ‘kan?”
Lana menggeleng, menahan kekehan. “Kayaknya lo lupa udah bawain gue teh hangat,” tunjuk Lana dengan dagunya.
Mendapati segelas teh atas nakas, tawa Dienka pecah—terkial-kial. Kenyataan itu meluruskan pernyataan di mana Lana sungguh gadis unik nan ajaib; rasa canggung dan geletar Dienka—akan dilabrak habis-habisan—menguap seketika, terganti oleh rasa nyaman yang teramat.
“Jangan pernah sungkan sama gue. Santai aja. Bahkan sebenernya kalau lo mau benci gue, gue juga gak masalah. Gue gak suka kepalsuan, jadi lebih baik lo reveal dari awal.”
Dienka mengangguk berulang kali, netranya berbinar.
Kendati terlihat apatis dan dingin, rupanya Lana terlampau baik—amat baik dengan pola pikir yang unik. Boleh jadi gadis itu tak mengenal 'kasam' atau ‘antipati’, bahkan tak terlihat sorot amarah untuknya meski setitik. Maka dari itu, Dienka sungguh mengagumi sosok Lana yang amat-sangat sempurna—baginya.
🌻
Mendapati pintu yang melangah bertepatan dengan datangnya seorang pemuda; perempuan paruh baya itu lekas berdiri dengan terbata-bata, melekati salah satu anak emasnya. “Kamu dari mana saja, Candra?!” seru Guru Bahasa Inggris tersebut, Miss Any.
“UKS, Miss. Lana sakit,” terang Candra murung.
“SAKIT?!” pekiknya asan tak asan, “Lalu ba—“
“Miss tidak perlu khawatir. Miss bisa menjenguknya nanti.”
Miss Any menghembuskan napas dengan lembut, merasa lega. “Alright. You can sit right now.”
Candra mengangguk taat, mengiyakan. Namun bukannya lekas berlalu, justru ia menjatuhkan atensi ke Wakil Ketua XI MIPA 02. Kaya. “Ya,” tegur Candra cepat.
“Hm?” Cuai, gadis itu lebih memilih memandangi buku catatannya banding Candra yang berpijak di ambang kelas.
“Gue undur diri dari Ketua Kelas,” balas Candra to the point—sekaligus mengumumkan.
“HAH?!” beo seantero kelas, tak terkecuali Kaya yang misterius dan pendiam itu. Mungkin bagi Candra itu bukan hal yang besar, tetapi bagi mereka ini merupakan bencana yang nyata adanya.
“Kenapa?!” pekik satu siswi setelah menggebrak mejanya. Kericuhan pun tercipta gamblang, terlebih pada para siswi yang masih menaruh hati pada si lelaki.
Berbeda dengan seisi kelas nan gempita, Candra sekadar tersenyum singkat—kentara tak peduli sama sekali. “Tugas Ketua Kelas terlalu banyak dan menyita banyak perhatian gue selama ini. Gue harus jagain seseorang yang semestinya emang harus gue jaga.”
Di sela huru-hara yang tercipta, Irena hanya bisa merunduk. Gundah akan kenyataan di mana Candra sungguh menolak untuk bertukar tatapan dengannya. Kegusaran dalam bias netra itu jelas kentara, dan tentu itu menyiksanya—Irena.
Lalu sebetulnya, bagaimana keadaan Lana? Apakah terlampau buruk sampai Candra semarah itu? Apa seharusnya ia merasa malu?
“Ren, Iren!” panggil Citra setengah memekik. Perempuan yang dikelompokkan Lana sebagai 'Orang Musiman'. Tingkahnya—lebih tepatnya seluruh Orang Musiman— kerap kali memuakkan. Mereka sekala sanggup mencari celah untuk datang, tetapi lekas berlalu saat dibutuhkan. Menjijikkan!
“Ren!” Irena melongok ke Citra tanpa gairah, melempar tatapan bermakna 'Apa?' yang disampaikan lewat dua netranya.
“Ponsel lo bunyi dari tadi!”
Lekas ia melirik ponsel pada meja yang senantiasa berdering serta bergetar. Sampai kemudian dengan buru-buru, gadis bersurai panjang itu mengacungkan lengan kanannya tinggi-tinggi, “Miss ... may I pick up the call?”
Miss Any mengizinkannya. Sehingga setelah guru berusia empat puluh dua itu menyengguk, ia berlari kecil keluar kelas. Mendatangi toilet.
Entah lah; Izin ke toilet adalah metode yang sering digunakan untuk mengangkat telepon, atau kabur dari guru sesaat. Mungkin opsi lainnya untuk modus mencuri pandang pada gebetan—seperti yang diterapkan mayoritas perempuan di sana.
Irena sukses menjerit lelah tatkala mengetahui nada dering tadi adalah notifikasi dari Alika—kakak kandungnya. Semenjak pulang dari Inggris, Alika memang diberi tanggung jawab untuk menjaganya; namun bukannya senang, Irena justru gusar akan kenyataan itu.
“Halo?” ujar Irena pelan. Berharap telepon ini menyangkut satu hal yang terlampau darurat.
‘Gimana?’
“Gimana apanya?”
‘Balas dendam,' cicit Alika, terdengar bersemangat.
“Ya Tuhan, Al! Lo kenapa, sih?! Gue lagi sekolah sekarang! Harusnya lo paham!”
‘Ck respons lo kok gitu?! Si Lana gimana? Lo udah jauhin dia? Olok-olok dia? Dorong dia?’
Irena mendesis berang. Mengejapkan netra dalam-dalam, berusaha menahan diri untuk tidak mengumpat.
“... Kepala Lana bocor.”
‘Wuihh Irenaaa ... kakak gak nyangka lo beneran mau dorong dia—‘
“Gue gak sengaja! Dan gue mau berhenti.”
‘Berhenti jadi sahabat dia?’ terka Alika sangsi.
“Berhenti bales dendam!”
'Oh Gosh ... why? Paling ntar lo juga ngerengek kalau lo pengen bales perbu—‘ Irena memutus paksa sambungan telepon itu, muak. Arkian dengan sejumput rasa gayang, lengannya mendorong pintu bilik toilet. Beralih mencuci bersih kedua tangannya.
Ia mematung sesaat kala mendongak dan memandang cermin jernih di atas wastafel. Objek itu berhasil membuatnya menentang seluruh detail dari iras bayangannya. Netranya itu menyorotkan kekecewaan, menyesal. Tak menyangka sanggup sekasar itu terhadap Lana—orang terbaik dalam kehidupannya.
Berupaya membuang semua pikiran jauh-jauh, Irena gegas berlalu dari kakus khusus perempuan dengan langkah lenyai; yang segera dikejutkan oleh eksistensi Candra yang terlalu tiba-tiba itu. Pemuda itu berdiri tepat di sandingnya, bersandar pada penyekat berangkal—perbatasan toilet perempuan dan laki-laki.
“Jadi ... akar masalah ini Varen?”
Irena kehabisan kata-kata. Mau menyangkal, membela diri, mengiyakan; ia tak bisa.
“Bodoh kalau lo udah ambil keputusan ini. Lo picik.”
Irena menggeram kesal. Beranggapan bila Candra terlalu memihak Lana dan justru memojokkan, atau bahkan terkesan menjauhinya—jijik padanya. Dan lagi-lagi pernyataan itu akibat Callia Lana Galatea.
“Lo juga! Lo kenapa terus perjuangin cewek sundal itu? Lo tuh kayak anjing tau, nggak? Lo setia banget nungguin dia. Tapi dia? Dia bahkan gak pernah menganggap keberadaan lo!" Irena termakan emosinya. “Lo sadar gak sih, gelar emas lo dimanfaatkan Lana?!”
Mendengar seruan penuh penekanan itu, Candra hanya terkekeh. Merasa teramat geli.
“Gue beda sama lo. Gue percaya akan cinta yang nggak bisa dipaksakan," ujar Candra. “Lana bukan cewek sundal. Lo sendiri yang terlalu dramatis tanggapin berita abal-abal itu. Bisa-bisanya lo lebih percaya sama Iris banding Lana—sahabat lama lo.”
“Apa tujuan lo nemuin gue?” serunya dingin, bertenggang tak termakan ucapan Candra.
“Untuk mengajukan pertanyaan.”
“Pertanyaan—“
“Kenapa lo milih untuk lebih percaya sama kata orang lain banding kata hati lo sendiri?”
Irena terpaku sempurna, tak sanggup lagi menanggapi ujaran Candra yang merunjam tepat ke relung hati. Kalakian dengan kerising, lelaki itu serius meninggalkannya; berlalu dari Irena nan terbungkam.
Mendadak hati dara itu merasa masygul. Benaknya sendiri mulai beranggar pikiran. 'Mereka' sibuk berpikir dan memutuskan akan siapa yang Irena pilih. Mendengarkan Iris, Alika, Candra, atau juga membenakan kata sanubarinya sendiri.